Bab 9. Mengobati Asa

1395 Words
"Kamu sakit, kan, gara-gara tadi?" tanya Bumi. Ia tak lupa dengan rekaman CCTV di supermarket tadi. Ia yakin Asa sudah menahan sakit dari tadi. "Ehm, iya, sih," jawab Asa canggung. Ia menurunkan tangannya yang semula saling menyilang di depan dadanya. Ia lalu mengangkat tangan kanannya ke tengkuk. "Aku cuma khawatir," kata Bumi yang melihat gestur gelisah Asa. "Kamu nggak mau ke rumah sakit, jadi aku aja yang obati kamu. Apa itu memar?" Asa mengangguk. Ia baru saja becermin di kamar mandi dan terkejut dengan dengan bahunya yang kebiruan akibat tertimpa kaleng s**u tadi. Punggungnya mungkin juga, ia belum selesai mengecek karena mendengar pintu kamar terbuka. "Aku carikan salep," kata Bumi. Ia hampir membalik badan, tetapi kemudian ia menunjuk Asa. "Kamu mau makan siang apa? Biar aku pesen. Kamu nggak usah masak kalau sakit." "Tapi ...." "Ehm, kamu pikirin dulu mau makan apa. Nanti kita order," kata Bumi. Asa mengangguk. Dan ketika Bumi telah meninggalkan kamarnya, ia langsung membuang napas panjang. Asa meraih kemeja dari lemari dan memakainya dengan posisi terbalik—bagian punggung ia taruh di depan—untuk menutupi dadanya. Tak lama, Bumi mengetuk pintu kamar Asa. Ia lalu masuk dengan membawa salep memar dan juga ponsel. Ia sendiri gugup karena berduaan di dalam kamar yang sepi bersama seorang gadis. Ia takut jika setan dalam dirinya bangkit. Namun, Bumi sudah belajar mengendalikan diri. Ia tak ingin membuat kesalahan yang sama seperti dulu. "Kamu udah kepikiran mau makan apa?" tanya Bumi seraya membuka aplikasi pemesanan makanan. "Bakso mungkin," jawab Asa. Ia bertemu tatap dengan Bumi lalu nyengir. "Mas suka bakso, nggak?" "Suka. Ini ada banyak pilihan. Kamu mau bakso biasa atau apa?" tanya Bumi lagi. "Ehm, yang pedes," jawab Asa. Bumi mengangguk. "Bakso mercon?" "Ya, boleh." "Oke." Bumi mengetik pesanannya dengan cepat. Ia lalu menyimpan ponselnya. "Sambil nunggu makanan datang, aku obati dulu kamu " "Aku bisa sendiri, Mas," tolak Asa. Sebenarnya ia tidak bisa karena memarnya berada di belakang tubuh. "Pasti susah. Bentar aja, cuma dioles," kata Bumi meyakinkan. "Ya, udah." Asa duduk membelakangi Bumi. Ia berdehem canggung karena malu jika Bumi melihat tubuhnya. Ia menoleh sedikit ketika Bumi duduk di belakangnya. Lalu tak lama, jari Bumi mendarat di tali tank topnya yang tipis. Asa bisa merasakan Bumi menurunkan tali itu. "Ya ampun, nyampe kayak gini. Harusnya kita ke rumah sakit tadi," kata Bumi. Ia berdecak cemas lalu mulai membuka salep. Asa mencebik. Ia tak terlalu suka ke rumah sakit. Ketika ayahnya sakit keras, ia sudah sering bolak-balik ke rumah sakit. Begitu juga ketika ibunya sakit. "Cuma memar doang, Mas. Nanti juga sembuh." "Iya, tapi ini nyampe biru gini. Kepala kamu gimana? Ada yang benjol, nggak?" Bumi hendak membelai kepala Asa, tetapi ia mengurungkan niatnya. "Nggak, sih. Semoga," sahut Asa. Ia mengusap kepalanya di bagian belakang. "Nyeri dikit, Mas." Bumi membuang napas panjang. Ia baru saja selesai mengoleskan salep di bahu Asa. Ia lalu menyibak rambut pendek Asa. "Memar juga. Ya, ampun. Gimana kalau kamu gegar otak?" "Nggak mungkin, Mas." Asa tertawa kecil karena Bumi yang terlalu khawatir. "Nggak berdarah, kan?" "Ya, nggak. Tapi ... duh, kamu berkorban kayak gini, tapi malah kena omel sama Tantri," gerutu Bumi. Ia mendadak sangat jengkel dengan drama Tantri. Asa merengut. Yah, ia juga kesal dengan Tantri. Dan kini, karena Bumi mulai menyebut nama Tantri, ia jadi penasaran. Seharian tadi ia sudah menyimpan banyak pertanyaan untuk Bumi. "Ehm, aku boleh lihat punggung kamu?" tanya Bumi membuyarkan pikiran Asa. "Ya," lirih Asa. Ia menahan rasa malunya ketika Bumi menaikkan tank top yang ia kenakan. Kedua matanya melebar dan ia langsung meremang karena sentuhan lembut Bumi di sana. Sama seperti tadi, ia mendengar Bumi berdecak cemas. "Punggung kamu juga memar, Sa," kata Bumi. Asa mengangguk pelan. "Mas, aku boleh tanya sesuatu, nggak?" tanyanya ragu. "Ya. Tanya aja," jawab Bumi. Asa membuang napas panjang. "Kapan Mas sama mbak Tantri cerai?" Bumi mengangkat tatapannya sedikit. Ia bahkan berhenti mengoleskan salep. "Maaf kalau udah bikin Mas tersinggung. Tapi, Mas masih muda, jadi aku agak penasaran," kata Asa. "Mas nggak harus jawab kalau nggak mau." "Lima tahun lalu. Aku pisah sama Tantri udah lima tahun ini," jawab Bumi. Ia kembali menatap punggung Asa yang memiliki beberapa memar tipis dan mengoleskan salep. "Ehm, gitu. Terus Aldo tadi? Apa dia anak Mas?" tanya Asa lagi. Ia menggigit bibirnya, takut Bumi akan lebih tersinggung. "Bukan. Dia bukan anak aku," jawab Bumi. "Oh. Tapi umurnya mungkin sekitar lima tahun. Apa mbak Tantri langsung nikah lagi?" "Nggak. Tantri belum nikah lagi. Anak itu ... hasil hubungan gelap Tantri," jawab Bumi dengan getir. "Kami bercerai karena itu." Asa menoleh sedikit kali ini. Ia tidak menyangka pria setampan Bumi bisa diselingkuhi. Apalagi Bumi kaya, entah apa yang kurang dari Bumi, Asa tak bisa menebaknya. Dan ia tak ingin bertanya lebih lanjut karena kini, Bumi baru saja menurunkan tank topnya kembali. Ia menegakkan diri, agak gugup karena hal itu. "Ponsel baru kamu udah di-unboxing belum?" tanya Bumi untuk mengalihkan obrolan. "Oh, belum." Asa baru saja membalik kemejanya ke posisi yang benar. Tak lupa ia memasang beberapa anak kancingnya dengan cepat. "Aku bisa bantu kamu mindahin datanya," kata Bumi lagi. Ia melirik ponsel buluk Asa yang baru saja menyala. Ia terkesiap karena melihat foto Asa bersama seorang pria di sana. "Aku bisa sendiri, Mas." Asa buru-buru mengambil ponselnya. Ia membaca sekilas pesan dari Jimmy. Jimmy Sayang: Kamu lagi ngapain, Yank? Udah makan? Bumi menatap Asa. Ia memang belum mengenal detail sosok istrinya itu. Namun, kini ia dibuat penasaran dengan foto mesra Asa di wallpaper ponselnya. "Itu siapa?" "Ini ... ini Jimmy, pacar aku," jawab Asa. Agak malu karena Bumi terlihat sangat kaget sekarang. "Kamu punya pacar?" Asa mengangguk. "Kami LDR. Dia kuliah di Semarang." "Dan dia nggak tahu kamu nikah kemarin?" Bumi semakin terpana. "Nggak tahu. Aku nggak bilang. Makanya aku nggak mau ada pesta di rumah paman, aku takut Jimmy bakalan tahu," kata Asa. Bumi mengepalkan tangannya. Ia tidak menyangka Asa punya pacar dan menyimpan pernikahannya begini. "Jadi, kenapa kamu mau menikah?" "Karena aku butuh uang," jawab Asa. Ia mengangkat bahunya. "Mas udah tahu aku mau dinikahkan sama pria tua. Aku punya utang banyak ... itu utang peninggalan kedua orang tua aku. Jadi, aku terpaksa menikah. Yah, semua ini karena kesepakatan. Aku butuh uang dan Mas butuh pembuktian ke mantan Mas." Bumi mengangguk. Yah, apa yang bisa ia harapkan dari pernikahan sementara? Pernikahan ini hanya pura-pura. Hanya setahun ke depan. Bumi segera berdiri. Ia berusaha bersikap biasa saja, tetapi entah kenapa ada rasa kecewa di hatinya. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak kecewa karena Asa punya pacar. Ia hanya kecewa lantaran ia tidak tahu ini sedari awal. Yah, ia tidak heran. Gadis semanis Asa pasti punya pacar. Namun, Bumi juga penasaran akan keberanian Asa untuk menikah dengannya. "Kamu nggak takut pacar kamu marah kalau tahu kamu nikah?" "Jimmy baik. Dia pengertian," jawab Asa cepat. Bibir Bumi membola. Ia yakin Jimmy akan mengira Asa telah mengkhianati cintanya. Dan mungkin Jimmy akan menyebutnya sebagai perebut pacar orang. Ini sangat memusingkan. "Kalau ketahuan, aku bisa beri penjelasan. Dia tahu aku emang butuh uang. Lagian ... ini cuma nikah pura-pura. Aku bisa kasih lihat dia surat kontrak kita sebagai bukti kalau ini bukan pernikahan sungguhan," kata Asa sambil tersenyum. Bumi mengangkat alisnya. "Oh, begitu." "Ya. Dan dia nggak mungkin tahu. Dia di Semarang, aku di Jakarta. Temen-temen aku nggak ada yang tahu kalau aku nikah," ujar Asa yakin. "Dan juga ... aku cuma perlu pura-pura menikah di depan keluarga Mas. Jadi, aku yakin Jimmy nggak bakalan tahu." "Kamu pinter banget akting kayaknya," tebak Bumi. Asa mengangguk saja. "Ya, aku kuliah di jurusan seni peran." Pantas saja! Bumi kembali mengepalkan tangannya. Mendadak, ia merasa disadarkan dengan situasi. Gadis yang ia nikahi sangat pandai bersandiwara dan ia yakin Asa bersikap baik hanya karena uang. Asa bahkan punya pacar. "Aku ngerti," tukas Bumi. Rasa senangnya ketika bersama Asa seolah sirna. Ia tahu ini semua tidak nyata. "Kalau kamu udah lebih baik, aku mau keluar." "Ehm, ya. Makasih udah obati aku," tukas Asa. Bumi mengangguk tipis. Ia membalik badan dengan rasa kecewa di hatinya. Entah apa yang ia harapkan, ia menyesal sudah berharap. Ia melangkah menuju pintu lebih cepat. "Mas nggak apa-apa?" tanya Asa. Entah bagaimana, ia merasa atmosfer ruangan menjadi berbeda. Bumi seolah menjadi Bumi yang dingin seperti ia temui di kantornya. "Ya. Aku nggak apa-apa." Bumi menjawab dari depan pintu. "Bakso kita kayaknya udah datang. Aku mau keluar ambil." Dan Bumi kembali menggerakkan tungkainya menjauhi kamar Asa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD