Bumi turun ke lantai satu lalu keluar untuk mengambil bakso yang digantungkan di pintu gerbang besi rumahnya. Ia sudah sering memesan makanan dan selalu memberi catatan agar meninggalkan makanannya di sana.
Bumi masih merasa tak keruan hingga ia membawa makanan berkuah panas itu ke dalam. "Astaga, kenapa aku harus kecewa gini. Aku sama Asa nggak ada hubungan apa-apa. Kami cuma pura-pura dan dia ngelakuin itu demi uang."
Bumi tertawa dalam hati. Ia sudah pernah kecewa dengan Tantri yang sangat mencintai uang. Kini, ia merasa resah jika Asa juga adalah gadis yang haus akan uang. Asa belajar seni peran, gadis itu pasti pandai bersandiwara. Bumi mencemaskan hal itu.
"Udah dateng beneran, Mas?" tanya Asa dari bawah anak tangga. Ia baru saja menyusul Bumi turun.
"Ya. Udah." Bumi mengedikkan dagunya ke arah dapur. Ia membuang napas panjang karena merasa ia sudah bersikap konyol. Seharusnya ia biasa saja. Kenapa ia justru sangat kesal dan gelisah?
"Biar aku siapin mangkoknya," kata Asa cepat. Ia berlari kecil menuju dapur, agak terkejut karena semua barang belanjaan sudah bersarang di tempatnya meskipun agak berantakan sedikit. Bumi pasti yang menyimpan semuanya.
Asa membuka kabinet atas. Ia tahu ada mangkok di sana. Namun ternyata, kabinet itu agak ketinggian untuknya. Jadilah ia berjinjit.
"Ah! Mana sih?" Asa hampir menjangkau mangkok itu, tetapi Bumi lebih dulu menjulurkan tangannya melewati tangan Asa.
Asa menoleh kaget karena kini wajah Bumi sangat dekat dengannya dan Bumi terlihat sangat tampan seperti biasa. Karena malu, ia segera memalingkan wajah sembari berhenti berjinjit.
"Ternyata tinggi banget kabinetnya," ujar Asa.
Bumi membuang napas panjang. Ia menatap Asa yang kini terlihat sedikit gugup. "Nanti aku pindah ke rak bawah biar kamu nggak susah ngambilnya."
Asa mengangguk. Ia kembali mengangkat dagunya untuk bertatapan dengan Bumi. Pria itu tersenyum tipis lalu segera menunjuk meja makan dengan jempolnya yang menyeberangi bahu.
Asa mengekor langkah Bumi. Ia menuangkan air putih dari teko ke gelas sementara Bumi membuka plastik bakso. Sembari menunggu Bumi, Asa mengedarkan pandangan lalu melihat ke mesin cuci yang berada tak jauh dari dapur.
"Mas, kalau ada baju kotor nanti aku cuci, ya," kata Asa.
Bumi melirik Asa. Ia menggeser mangkok Asa lalu memberikan plastik berisi sambal, saos dan kecap. Ia juga mengambil gelas berisi air dari hadapan Asa. "Nggak usah nyuci, udah ada tukang cucinya. Biasanya datang hari Senin, Rabu sama Jumat."
Asa mencebik. Ia tak memiliki kegiatan apa pun di rumah ini dan rasanya ia tak enak. "Tapi aku juga bisa nyuci dan beres-beres."
Bumi membuang napas panjang. "Aku menikahi kamu untuk aku jadikan istri, bukan pembantu. Jadi, nggak usah."
Kedua mata Asa membola ketika ia mendengar ucapan Bumi yang sangat tegas. "Aku cuma pengen bantu-bantu."
Bumi menggeleng pelan. "Kamu cuma perlu bersandiwara jadi istri aku. Maksud aku gitu. Jadi, kerjaan rumah ... itu bukan untuk kamu lakukan." Bumi mendorong lagi mangkok Asa. "Buruan dimakan, nanti kalau dingin nggak enak."
Asa menatap bakso di depannya dengan mata berbinar. Baksonya begitu besar dan ketika dibelah, ia langsung bisa melihat lelehan sambal dari sana. "Makan bakso gini sebenarnya lebih enak kalau makan di tempat."
Bumi tersenyum tipis pada Asa. "Iya, kamu bener. Kalau udah dibawa pulang kadang rasanya beda. Mungkin, suasananya juga ngaruh."
"Ehm! Terus di sana juga panas maksimal. Kalau udah dibawa pakai motor pasti agak dingin," kata Asa. Ia menyuapkan satu potongan bakso ke mulutnya. Ia tertawa kecil. "Tapi, dibawa pulang pun tetep enak."
"Ya. Ini nggak terlalu jauh kedainya, Sa. Kapan-kapan kita bisa beli di sana," kata Bumi menawarkan. Ia agak menyesal sudah mengatakan itu. Karena tadi ia sudah sadar bahwa mereka hanya terikat kontrak. Untuk apa ia mengajak Asa makan di luar?
"Beneran nggak jauh, Mas?" Dan pertanyaan dari Asa justru di luar dugaan Bumi karena Bumi mengira Asa tak akan mau makan di luar bersamanya.
"Nggak jauh, cuma beda dua gang," jawab Bumi.
"Ya, boleh kapan-kapan kita ke sana. Aku tuh pecinta bakso!" Asa tertawa kecil.
Bumi ikut tertawa. Ia juga suka dengan bakso. Ternyata ia memiliki beberapa kesamaan dengan Asa. "Ya udah, lanjutin makannya. Nanti dingin."
Asa mengangguk. Ia menyantap makan siangnya dengan cepat lalu meneguk air putih di gelas hingga bersih. Bumi juga sudah selesai makan. Jadi, ia segera menumpuk mangkok mereka dan membawanya ke dapur.
Usai mencuci mangkok, Asa berniat merapikan barang belanjaan mereka tadi. Ia juga mengecek kulkas karena ternyata Bumi hanya memasukkan secara asal semua bahan makanan yang mereka beli.
"Itu kenapa dikeluarin lagi?" tanya Bumi.
"Ehm, biar aku yang tata, Mas. Ini banyak storage box di sini. Bisa dipakailah," kata Asa.
Bumi membulatkan bibirnya. "Itu mama juga yang beli."
Asa hanya nyengir. Kelihatan sekali bahwa Bumi tidak terlalu mengerti dengan urusan domestik. Namun, ia tidak heran. Pria seperti Bumi cukup membayar orang untuk melakukannya.
"Ya udah, biar aku yang beresin," ujar Asa. Ia menoleh ke tumpukan serbet dan apron. Ia segera mengambil salah satu apron lalu mengenakan. Ia memulai dengan daging dan ikan.
Bumi tiba-tiba teringat dengan ibunya yang juga pandai mengatur isi kulkas. Mau tak mau ia pun tersenyum dan mood-nya yang semula memburuk setelah mengetahui Asa memiliki pacar kembali membaik.
"Kamu masih sakit, harusnya kamu istirahat," kata Bumi.
Asa mendesis pelan. Ia jadi ingat adegan di kamarnya yang cukup intim dan ia agak malu karenanya. "Cuma nyeri dikit, nggak masalah, Mas."
"Ehm, ya. Aku mau pindahin mangkok dan perabotan kalau gitu. Takutnya kamu nggak bisa ambil kalau aku pas nggak ada," kata Bumi seraya mendekati kabinet.
Bumi mulai mengeluarkan beberapa alat makan yang tersimpan di atas. Ia memindahkan mereka ke rak bawah yang ada di atas konter lalu menukarnya dengan alat-alat masak yang jarang dipakai. Setelahnya, ia kembali memerhatikan Asa.
"Kenapa dipisah-pisah gitu?" tanya Bumi seraya berdiri di sebelah Asa.
"Iya, biar sekalian diatur mau dimasak apa. Kita kan cuma berdua, jadi nggak usah masak banyak-banyak. Buat sekali apa dua kali makan aja," jawab Asa menerangkan.
Bumi membulatkan bibirnya. Ia agak berdebar mendengar Asa berkata mereka hanya berdua. Dan, yah, itu benar.
"Aku bantuin apa?" tanya Bumi yang masih penasaran sekaligus ingin menonton kegiatan Asa.
Asa menoleh pada Bumi dan tersenyum. "Ehm ... mungkin motong tangkai cabe."
"Oke." Bumi membuka plastik cabai sementara Asa mengeluarkan kotak penyimpanan kecil. Ia meletakkan tisu dapur di bawah kotak itu sebagai alas. Bumi mendengarkan penuturan Asa mengapa harus demikian. Bumi langsung terkesan.
"Kamu tahu banyak soal dapur ternyata. Padahal kamu masih muda," kata Bumi. Ia tidak melirik Asa lagi karena kini sedang sibuk dengan para cabai.
"Ya, dari kecil aku suka bantuin mama dan papa aku. Mereka punya usaha warung makan. Jadi, aku tahu gimana mengatur bahan makanan biar awet," tutur Asa.
"Ah, pantes aja." Bumi menoleh pada Asa. Gadis itu sedang membungkus wortel dengan tisu. Ia semakin terkesan dengan sosok istrinya, bahkan Asa sangat cekatan ketika melakukan kegiatan itu.
"Ya. Dulu rame warung makannya, tapi papa mendadak sakit dan lebih banyak dirawat. Mama jadi nggak bisa buka warung, bisa dibilang kami gulung tikar. Kayaknya dulu papa sakit selama hampir dua tahun, jadi kehidupan aku berubah drastis. Dan kayak yang Mas tahu, mama terpaksa pinjam uang sama paman, rumah dan warung kami dijual juga buat biaya berobat papa.
"Tapi, papa nggak sembuh. Mama sedih banget abis papa meninggal. Mama juga ikut-ikutan sakit dan nggak lama, mama pergi," kata Asa sembari mengurus sayuran hijau.
Bumi merasa terenyuh ketika mendengar cerita Asa. Sungguh kasihan karena Asa masih sangat muda tetapi sudah harus kehilangan kedua orang tuanya.
"Dan kamu tinggal sama paman kamu sejak itu?" tanya Bumi.
Asa mengangguk. "Cuma paman Edo yang mau menampung aku. Ada sih, paman dari keluarga papa. Tapi mereka tinggal di Kalimantan. Aku nggak mau pindah ke sana. Jadi, mau nggak mau aku tinggal sama paman Edo. Tapi, ya, gitu deh. Paman sama bibi ngerasa aku cuma beban. Jadi aku sambil kerja juga sejak SMA."
Bumi yakin kehidupan Asa sangat berat. Ia jadi malu jika ingat dirinya ketika masih muda. Ia lebih banyak bersenang-senang dan ketika ia mulai bekerja, ia justru sering mengeluh karena diberi jabatan yang rendah di perusahaan ayahnya. Seharusnya ia pandai bersyukur.
Obrolan itu terputus karena tiba-tiba Asa tampak terkejut bahkan menoleh ke kanan-kiri.
"Ada apa?" tanya Bumi.
Asa mengecilkan api kompor yang ia gunakan untuk mengungkep ayam. Ia lalu mengacungkan jari di depan bibirnya. "Mas denger itu, nggak?"
"Denger apa?" Bumi mengernyit.
"Suara kucing."
"Kucing?" Bumi mengedarkan matanya dan ia tak melihat apa pun. Namun lamat-lamat, ia mulai mendengar meongan lirih dari luar.
Asa menunjuk ke pintu belakang dan Bumi mengangguk. Gadis itu berjalan cepat menuju pintu lalu membukanya. Ia langsung tersenyum lebar.
"Mas, ada kucing oyen!" Ia memekik pada Bumi.
"Ya, dia kadang ke sini," jawab Bumi yang pernah melihat kucing kecil itu beberapa masuk ke pekarangannya.
"Beneran?" Asa berjongkok lalu mengambil si kucing yang langsung meringkuk manja di lengan Asa. Ia mengusap-usap puncak kepala si kucing dengan lembut. "Ada yang punya, nggak?"
"Nggak tahu, kenapa?" tanya Bumi.
"Mau aku pelihara kalau dia kucing liar," jawab Asa.
Bumi mendengkus pelan. "Kalau kamu mau pelihara, mendingan kita beli yang cantik dan rasnya bagus."
Asa langsung merengut. "Daripada beli, mending kita rawat kucing stray, Mas. Kasihan, mereka juga butuh rumah. Lagian, ini juga cantik. Kumisnya panjang."
Bumi tertawa kecil. "Semua kucing kumisnya juga panjang, kali."
Asa mengangguk. Ia lalu mengangkat si kucing kecil. "Kayaknya dia masih tiga bulanan, Mas. Apa ada induknya? Biasanya kelihatan sama siapa dia?"
Bumi mengangkat bahunya. "Aku nggak tahu, Sa."
"Tapi aku pengen pelihara Baby," kata Asa dengan mata berbinar-binar.
"Ba-Baby?"
Asa mengangguk dua kali. Ia terlihat sangat menggemaskan dengan mata bulatnya yang menatap ke arah Bumi. "Iya, boleh, Mas? Boleh aku pelihara Baby?"
Bumi menelan keras. Ia tak pernah memiliki binatang peliharaan sekarang. Apalagi itu hanya kucing kampung dekil. Namun, tatapan Asa seolah menyihirnya.
"Boleh, ya, Mas?"