10. Mencoba

1059 Words
"Teman kamu? " Tanya Hengky. "Sepertinya kalian saling kenal." "Dia-" Dipta ragu mengatakan hubungannya dengan Gista. "Teman." Dipta memilih menjawab seperti itu. Setelah lima tahun berlalu akhirnya dia bisa melihat Gista lagi. Gista tampak berbeda. Tubuhnya lebih kurus, rambutnya lebih panjang. Masih cantik, sama seperti yang ia ingat namun yang mengganggunya adalah cara berjalan Gista. Jalannya pincang. Seingatnya Gista dulu jalannya normal atau sesuatu terjadi padanya. Tak berselang lama ia ingat cerita Yoseph jika Gista pernah mengalami kecelakaan. Apakah kecelakaan itu yang membuat Gista menjadi seperti itu? Dipta butuh seseorang untuk menjawab pertanyaannya. *** Seminggu berlalu setelah kejadian di pesta Jean. Hari ini Dipta bertemu dengan Jean. Meski sebelumnya harus menunggu beberapa hari untuk bertemu top model itu. Teman SD-nya itu terlalu sibuk sehingga bertemu pun harus membuat janji terlebih dulu. Serasa seperti bertemu orang penting. Sebenarnya Dipta bisa saja meminta bantuan Hengky untuk mengorek informasi tentang Gista dari Jean, ataupun menelfon Jean secara langsung. Namun Dipta tidak akan puas jika tidak mendapatkan jawabannya sendiri. Melalui Jean, dia akan mengetahui informasi tentang Gista. Jean pastinya mengenal Gista sebab wanita itu mengundang Gista ke pesta ulang tahunnya. "Hai, sorry telat, " Kata Jean setelah duduk di kursi yang ada didepan Dipta. Dipta mengajak Jean bertemu di restoran milik Hengky. "It's okay, " Jawab Dipta. "Sudah lama? " "Ten minutes." "Sorry, udah bikin nunggu. Tadi jalan macet banget." Dipta mengerti sebab tadi ia juga mengalaminya. Kemudian ia pun memanggil seorang waiters. "Mau pesan apa? " Dipta kembali bertanya. "Orange juice, " Jawab Jean. "Nggak sekalian pesan makan? " "No. I am diet." Sebagai seorang model tentu saja Jean harus menjaga berat badannya agar tetap proporsional. "By the way, ada apa? Jujur aja aku agak kaget waktu kamu hubungi aku dan ngajak buat ketemu." Jean dan Dipta bukan teman dekat. Hanya sekedar teman. "Aku mau tanya sesuatu sama kamu." Dipta langsung to the point. "Soal? " "Gista." "Ah, Gista. Kenapa kamu tanya tentang Gista? Apa ini ada sangkut pautnya dengan kejadian di pesta aku kemarin?" "Bukan itu. " "Jadi...? Atau... Kamu tertarik sama dia? " Canda Jean. Dipta tersenyum kecil. "Aku mau tau bagaimana kamu bisa mengenal Gista? " "Eemmm, awalnya aku kenal sama Gista karena pekerjaan." "Kalian dekat? " "Aku nggak terlalu dekat sama dia. Kita pernah beberapa kali terlibat dalam project. Aku lebih akrab sama temannya, Zalfa. Memangnya ada apa? " "Aku hanya ingin tau soal dia." "Kamu kenal Gista? " Dipta mengangguk. "Aku kenal Gista sekitar satu tahun yang lalu. Kami beberapa kali terlibat project pemotretan. Dia temannya Zalfa. Kadang-kadang nongkrong bareng juga." Jean mulai bercerita. "Gista seorang fotografer." Jean menghentikan ceritanya karena ada waiters yang mengantarkan pesanan mereka. Dipta sedikit kaget karena tahu Gista menjadi seorang fotografer. Setahunnya dari dulu wanita itu tidak pernah bersentuhan dengan kamera. "Fotografer." Ulang Dipta. "Iya." Jean mengaduk minumannya lalu meminumnya. "Zalfa juga pernah cerita kalau sebelum tinggal di Jakarta, Gista tinggal di Singapura." Sejak Dipta mengakhiri hubungan mereka, dia tidak tahu dimana Gista tinggal. Kabar terakhir yang ia tahu jika Gista menemani ibunya berobat ke luar negeri. Setelah hubungan mereka berakhir, Dipta pernah mendatangi rumah Gista dan yang membuatnya terkejut adalah rumah itu ternyata sudah di jual. Jadi selama ini Gista tinggal di Singapura. Pasti mantan kekasihnya itu tinggal bersama kakaknya, Galang. "Apa kamu sedang mencari fotografer? Makanya tanya soal Gista. " "Eee.... " Dipta terlalu banyak memikirkan tentang Gista sampai binggung harus menjawab apa untuk pertanyaan Jean. "Dia kerjanya bagus, kok." Tambah Jean. "Apa kamu tau kenapa Gista jalanya seperti itu? Maksud aku jalannya pincang." Jean mengernyit dengan pertanyaan Dipta. "Mungkin dia habis jatuh, kakinya terluka atau apa begitu. " Lanjut Dipta. "Kakinya memang sakit. Dulu Zalfa juga pernah cerita kalau Gista pernah kecelakaan. Itu sudah lama, sih, udah bertahun-tahun yang lalu." Mendengar itu rasa bersalah Dipta langsung menyeruak. *** Keinginan untuk bertemu Gista semakin kuat. Dipta ingin melihat wanita itu, menanyakan kabarnya, meski ia tahu respon Gista tidak akan baik padanya. Ia juga ingin tahu kenapa Gista sampai mengalami kecelakaan hingga kakinya tidak bisa berjalan normal seperti dulu. Dipta sudah menyuruh sekretarisnya untuk membuat janji dengan Gista. Tentu saja dengan alasan pekerjaan. Tidak mungkin juga ia menemui wanita itu secara langsung, seperti tidak ada apa-apa diantara mereka. Dipta datang lebih awal di tempat janjian mereka. Di sebuah restoran yang mempunyai gaya retro. tetapi ia memilih menunggu di halaman parkir, didalam mobil sampai Gista datang. Ia tidak mau menunggu terlebih dulu didalam cafe. Takutnya wanita itu akan langsung pergi saat melihatnya. Lima menit setelah Gista masuk kedalam cafe, Dipta baru masuk. Dengan tenang Dipta melangkah mendekati Gista yang duduk di salah satu meja. Tempat agak pojok di sudut cafe itu. Pandangan Gista yang tadinya berfokus pada layar ponsel langsung mendongak saat mendengar suara kursi di geser. Matanya melebar saat yang duduk di hadapannya adalah Dipta. Bukan laki-laki yang ingin bertemu dengannya yang bernama Fikri. "Kamu." Gumam Gista. "Hai, Ta, " Kata Dipta. "Maaf, tapi aku sedang menunggu seseorang." Wajah terkejut Gista kini berubah menjadi datar. "Aku yang ingin ketemu sama kamu. Bukan Fikri. " Jujur Dipta. Gista merasa di tipu. Jadi orang yang menghubunginya mengatasnamakan pekerjaan ternyata orang suruhan Dipta. b******k! Tidak ingin bertemu Dipta, Gista berniat bangkit dari tempat duduknya. "Gista, tunggu." Cegah Dipta yang sudah bisa membaca gerak gerik Gista. "Aku ingin bicara sama kamu." "Sepertinya nggak ada yang perlu kita bicarakan. " Gista tidak mau bicara ataupun bersinggungan dengan Dipta. Meski sudah lama ia sudah menyiapkan diri untuk bertemu Dipta. Nyatanya dia belum bisa menghadapi laki-laki itu secara langsung. Rasa sakit itu masih ada dan luka yang ia coba kubur sedalam mungkin kini menyeruak ke permukaan. "Aku ada." "Tapi aku enggak." Tolak Gista tegas. Ia berusaha mengontrol emosinya agar tidak meledak. Sudah Dipta duga, Gista akan menolaknya. Meski begitu dia tidak boleh menyerah. Ada banyak hal yang ingin Dipta sampaikan. Terutama maaf. "Aku tau kamu benci sama aku. " Gista memilih diam. "Aku sudah melukai kamu terlalu dalam." Lanjutnya. Gista memandang Dipta. Berusaha menguatkan diri. Dia tidak boleh terlihat lemah apalagi menangis. Laki-laki di hadapannya telah menyakitinya begitu dalam. Hingga saat ini pun sakitnya masih terasa sakit jika mengingat masa lalu. Beratus ratus hari telah ia lalui untuk bangkit, menyembuhkan diri baik fisik maupun mental, serta menata hidupnya kembali meski tidak seperti dulu lagi. "Nggak ada yang harus kita bicarakan. " Putus Gista. "Tata, aku mohon... " Gista benci panggilan itu. "Permisi." Gista pergi meninggalkan Dipta begitu saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD