Dipta tidak bisa tidur. Sedari tadi bergerak-gerak gelisah. Dari miring ke kiri, miring ke kanan, tengkurap, sampai terlentang. Ingatannya tertuju pada wanita yang mirip dengan Gista.
Apakah wanita itu benar-benar Gista ataukah hanya mirip?
Dipta tidak tahu jawabannya.
Tidak bisa tidur akhirnya Dipta bangkit dari posisi tidurnya lalu menuju balkon yang ada di kamarnya. Langit sudah gelap gulita. Yang tampak hanya lampu penerangan di jalan. Rumah-rumah yang satu komplek dengannya lampunya sudah terlihat padam karena jam sudah menunjukkan hampir jam dua belas malam.
Di waktu dan tempat yang berbeda seorang wanita berdiri dibelakang pagar pembatas balkon apartemennya. Pandangannya tertuju ke depan. Ke hamparan pemandangan malam kota jakarta. Cantik. Lampu-lampu yang tersebar di setiap bangunan bagaikan taburan bintang. Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Sunyi, sepi, kosong, seperti hatinya.
***
Dipta dan Fikri berada dalam lift setelah melakukan meeting dengan klien di sebuah hotel. Ketika dentingan lift terdengar kedua laki-laki itu melangkah keluar.
"Kita makan siang dulu. " Ajak Dipta.
"Baik, pak. " Balas Fikri.
Fikri mengikuti kemana bosnya mengajaknya makan siang. Ia pun tidak banyak bicara sebab atasannya itu tidak banyak bicara. Bicara pun hanya seperlunya saja.
Yang Fikri tahu bosnya itu tertutup. Tidak banyak bicara, dingin, dan menjaga jarak dengan orang lain. Baru setahun Fikri menjadi sekertaris Pradipta Bagaskara. Ia pernah mendengar dari orang-orang kantor jika bosnya itu dulunya tidak seperti itu. Dulunya Dipta adalah orang yang ramah, baik, murah senyum. Sampai sesuatu terjadi padanya.
Ada yang bilang Dipta menjadi seperti itu karena gagal dalam pernikahannya. Ada juga yang bilang Dipta kasar sampai istrinya meninggalkannya. Ada juga yang bilang jika istrinya selingkuh dengan laki-laki lain.
Fikri pernah bertemu dengan Siska, mantan istri bosnya dan anak mereka. Gadis berusia empat tahun yang cantik nan lucu. Tapi anehnya bocah itu tidak ada mirip-miripnya dengan sang bos. Dengan ibunya pun tidak. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupan sang atasan.
"Kita ke restoran Admi. " Perintah Dipta pada sang supir setelah mobil mulai berjalan meninggal hotel.
"Baik, pak. " Balas sang supir dari balik kemudi.
Mendengar nama restoran Admi, dalam hati Fikri senang. Makan siang ini akan banyak pilihan menu daging. Dari soup daging, iga bakar, rawon, sate, gulai, steak, dan menu daging lainnya.
***
Dipta dan Fikri berada di meja yang sama sedangkan sang supir memilih makan di meja yang terpisah. Tadinya Dipta mengajaknya makan satu meja tetapi lelaki berkulit sawo matang itu menolak.
"Dipta." Sapa seorang laki-laki berseragam.
Dipta mendongak dan melihat laki-laki berambut cepak itu. Dari seragamnya sudah tampak jelas dia adalah seorang Abdi negara.
"Yoseph." Dipta tidak yakin dengan tebakannya. Semoga saja dia tidak salah orang.
"Ya, aku Yoseph. Kirain sudah lupa. Boleh gabung? "
"Iya, silahkan." Dipta mempersilahkan.
"Terima kasih. " Yoseph menarik salah satu kursi yang ada di sana.
Tidak mau menganggu antara bos dan temannya, Fikri menyingkir dari meja itu. Bergabung bersama supir sang bos, pak Malik. Dipta hanya meliriknya sekilas.
"Sudah lama, ya, kita nggak ketemu," Kata Yoseph. "Kamu apa kabar?"
"Aku baik." Balas Dipta. "Kamu sendiri gimana kabarnya?" Seingat Dipta terakhir kali bertemu Yoseph sudah beberapa tahun yang lalu saat reuni sekolah.
"Aku juga baik. Kamu habis meeting? " Yang di ketahui Yoseph, Dipta adalah pengusaha sukses. Anak pemilik perusahaan Gold-G yang bisnisnya menggurita di mana-mana. Dari perusahaan advertising, TV, kontruksi, hingga tambang.
"Iya. Kalau kamu? "
"Tadinya ada janji sama temen tapi tiba-tiba dibatalin soalnya dia ada keperluan yang lebih penting."
"Oh."
Mereka terus mengobrol membicarakan banyak hal. Saat makan pun mereka masih sesekali berbincang. Tentu saja Yoseph yang lebih banyak bicara.
"Gimana kabar Gista? "
Mendengar nama Gista membuat Dipta menghentikan gerakan tangannya diatas piring.
"Aku nggak tau kabar Gista, " Jawab Dipta jujur. Setelah keputusannya meninggalkan wanita itu, Dipta tidak pernah tahu kabar Gista.
"Kalian, putus? " Ada nada ragu saat Yoseph mengatakan hal itu.
"Iya."
"Ah, aku pikir kalian masih sama-sama." Semua orang di SMA tahu jika Gista dan Dipta adalah pasangan kekasih. "Sorry, aku nggak tau."
Dipta hanya tersenyum kecil.
"Aku kira kalian masih sama-sama. Secara kalian dulu pasangan yang goals banget."
Dulu memang iya. Dipta tidak menampik hal itu.
"Kalian putus kapan? Sorry kalau aku banyak tanya tapi jujur aja kepo." Yoseph terkekeh.
"Sekitar lima tahun yang lalu." Dipta tidak begitu yakin dengan jawabannya. Kalau di hitung secara rinci mungkin ada lima tahun lebih.
"Wah, lama juga, ya. Kalau sekitar lima tahun berarti kamu nggak tau kalau Gista pernah kecelakaan."
Mendengar kata kecelakaan membuat Dipta kaget. Selama lima tahun ini dia tidak pernah mendengar kabar tentang mantan kekasihnya itu. Sendok dan garpu yang tadinya berada di tangan Dipta pun terlepas begitu saja, seolah tidak ada kekuatan untuk memegangnya.
"Kecelakaan. Maksud kamu? "
"Kamu nggak tau? "
Dipta menggelengkan kepala. "Enggak."
"Tahun lalu aku ketemu sama Alma. Dia kerja di salah satu rumah sakit, dia jadi perawat di sana. Alma cerita sekitar lima tahun yang lalu Gista kecelakaan. Ketabrak mobil, katanya."
Tertabrak mobil. Kabar itu tentu saja mengejutkan Dipta. "Terus... Gimana keadaan Gista? " Tampak kekhawatiran di wajah Dipta. Sampai membuat Yoseph mengernyitkan dahi.
"Kata Alma lumayan parah."
"Terus... "
"Nggak ada yang tau. Kata Alma pihak keluarga Gista memindahkannya ke rumah sakit lain."
Rasa takut, khawatir, bersalah, langsung menyelubungi Dipta. Dan kata andai terus bermunculan di benaknya. Andai dulu - andai tidak - serta andai yang lainnya.