Rosa menghampiri Aruna yang baru saja membuka pintu, Aruna menghela napas panjang, ia sudah yakin bahwa Rosa pasti akan menanyakan tentang pertemuan itu, jika ia jujur ia pasti akan mengatakan bahwa pertemuan itu benar-benar menyenangkan membuat hati Aruna bahagia dan terus berdebar tak tentu. Namun, endingnya sangat mengecewakan ternyata Seno memang pria yang baik hati dan akan baik pada semua orang, khususnya wanita cantik.
Rosa menarik lengan sahabatnya yang tinggal bersamanya di rumah kontrakkan ini, dan mendudukkan Aruna di sofa.
Rosa merasa sangat bersalah karena ia sudah memaksa Aruna bertemu dengan temannya, namun temannya itu malah tidak bisa datang. Tentu saja, Rosa tidak ingin membuat Aruna marah dan akan meminta maaf.
“Una, aku minta maaf,” lirih Rosa.
“Maaf? Kenapa?”
“Karena temanku gak bisa dateng,” jawab Rosa. “Aku sudah memaksamu bertemu dengannya, namun ternyata ia tidak bisa datang karena jadwalnya sangat padat.”
“Aku bertemu dengan temanmu kok,” kata Aruna.
“Ha?”
“Aku bertemu dengannya,” jawab Aruna memperjelasnya lagi.
“Ah masa? Beneran?”
“Bener. Aku bertemu dengan temanmu,” jawab Aruna lagi.
Rosa menautkan alis, lalu menggaruk lehernya yang tidak gatal, ia tidak mungkin salah, temannya sendiri yang menelponnya dan mengucap maaf karena tidak bisa datang, lalu siapa pria yang Aruna temui? Tidak mugkin jika seseorang itu temannya.
“Benar kamu bertemu dengannya?” tanya Rosa memperjelasnya lagi. Dan, siapa pun pria itu, pria itu telah menyelamatkan Rosa dari kemarahan Aruna.
“Iya aku bertemu dengannya, atau jangan-jangan …dia bukan temanmu?”
“Dia temanku kok, temanku,” kata Rosa tertawa kecil.
Aruna menganggukkan kepala. “Lain kali … tidak usah mengenalkanku pada seorang pria.”
“Memangnya kenapa? Dia jahat?” tanya Rosa menautkan alis.
“Dia tidak jahat,” jawab Aruna menundukkan kepala.
Aruna menghela napas panjang. [Dia membuat nyaman lalu membuat kecewa.] Aruna membatin.
“Dia kerja dimana?” tanya Aruna menoleh menatap wajah Rosa.
Rosa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia tidak tahu harus menjawab apa, karena yang Aruna temui bukan temannya.
“Dia kerja dimana?”
“Hem? Oh … aku tidak tahu kerja apa, karena kita sudah lama tidak berjumpa.”
“Lalu kalian berteman dan gak tahu dia kerja dimana? Gak masuk akal banget,” kata Aruna menautkan alisnya.
Rosa nyengir dan menganggukkan kepala sekuat tenaga, ia begitu semangat hingga tidak bisa mengatakan apa pun, ia hanya mengiyakan apa yang di katakan Aruna, dan tidak berani menyelah. Karena, ia sudah membuat kesalahan hari ini, menyuruh Aruna duduk berjam-jam hingga akhirnya pulang larut malam. Sungguh sesuatu yang tidak akan Aruna terima, Aruna akan marah dan tidak akan pernah menerima ini.
Rosa tertawa dan menganggukkan kepala, “Kamu gimana? Suka? Sama dia?”
“Dia lumayan tampan sih,” jawab Aruna.
Rosa menautkan alis lalu membayangkan wajah temannya, temannya itu tidak terlalu tampan bahkan ketampanannya di bawa rata-rata, jika dibandingkan ketampanan paling bawah. Temannya itu agak gendut, wajahnya bulat dan tembem, lalu …tinggi tubuhnya tidak bisa di jelaskan. Wkwk.
Namun, Aruna pernah mengatakan kepadanya, Aruna tidak pernah memikirkan tentang apa pun, yang penting lelaki dan mapan, ia bisa menerimanya, karena itu Rosa memperkenalkan temannya pada Aruna, meski wajahnya tidak tampan, tapi temannya itu mapan dan memiliki banyak uang. Mampu membuat Aruna bahagia dan memiliki segalanya.
Aruna menghela napas panjang, dan kembali berkata, “Hanya saja, aku tidak tahu dia orang seperti apa.”
“Kamu jatuh cinta padanya? Pada pandangan pertama?”
“Hem?” Aruna menoleh dan menatap temannya.
“Gak lah, aku gak jatuh hati, dia hanya—”
“Kamu masih mau bohong sama aku? Aku ini temenmu loh, ah kamu,” rengek Rosa membuat Aruna terkekeh dan menganggukkan kepala.
“Kamu memang sahabatku yang terbaik, terima kasih sudah mengenalkan temanmu padaku, meski aku tidak tahu dia orangnya seperti apa, tapi aku seneng hari ini,” jawab Aruna.
“Gimana? Kamu jatuh hati gak?”
“Hem. Kemungkinan aku juga jatuh hati, dia manis banget ngomongnya, dia juga terlalu tampan, dia juga terlalu baik,” kata Aruna seraya membayangkan wajah dan senyuman Seno yang benar-benar membuat hatinya jatuh.
“Jadi beneran kamu udah jatuh cinta sama dia? Wah. Aku seneng banget,” kata Rosa bertepuk tangan. “Kita harus merayakan ini.” Rosa hendak bangkit dari duduknya.
Rosa menoleh dan melihat lengan sahabatnya itu, bertuliskan nomor 12digit dan sebuah nama, Rosa kembali duduk dan menarik lengan sahabatnya.
“Wah ini apa, Runa?” tanya Rosa.
“Hem?”
“Ini di lenganmu. Apa?”
“Oh ini … temanmu yang tulis,” jawab Aruna.
“Temanku? Pria yang kamu temui?”
“Astaga. Iya, Rosa. Ada ya pria yang aku temui bukan temanmu?”
“Oh iya temanku,” kekeh Rosa. “Dia yang tulis ini?”
Aruna menganggukkan kepala penuh semangat, lalu ia berkata, “Aku sudah katakan, temanmu itu menyenangkan dan aku senang bertemu dengannya, meski endingnya mengecewakan, namun aku tetap seneng. Dia yang tulis ini, sikapnya memang kekanak-kanakan, hanya anak-anak yang menulis hal seperti ini, namun … aku menyukainya.”
“Aku bersyukur jika kamu akhirnya sudah move on dari Sigit,” kata Rosa membuat raut wajah Aruna berubah.
Setiap kali mendengar nama Sigit di ucapkan, Aruna jadi mengingat bagaimana pernikahannya berakhir karena orang ketiga, Aruna sudah lama melupakan hal itu, namun mendengar nama Sigit, membuatnya tahu bahwa pria itu pernah menjadi hidupnya dan matinya.
Aruna menundukkan kepala, mendengar nama mantan suaminya yang kini bahagia bersama pilihannya. Aruna tidak masalah melepas segala kenangannya, asalkan mantan suaminya itu bahagia.
Rosa menoleh menatap Aruna, Rosa menekan kepalanya, ia sudah salah bicara. Mereka sudah sepakat untuk tidak menyebut nama itu lagi, namun Rosa melanggarnya.
“Maafkan aku, Aruna,” lirih Rosa.
Aruna menganggukkan kepala dan berkata, “Aku ke kamar dulu,” kata Aruna bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju kamarnya.
Rosa menghela napas panjang dan memukul bibirnya beberapa kali, Rosa sudah salah bicara, harusnya ia tak melakukan hal itu, namun karena terlalu senang akhirnya ia menyebut nama itu tanpa sadar.
“Kamu membuat kesalahan, Rosa,” lirih Rosa pada dirinya sendiri dan menoleh menatap pintu kamar Aruna yang sudah tertutup rapat.
Rosa menghela napas panjang.
Aruna duduk di tepian ranjang lalu membuang tasnya ke atas sofa. Semenjak Rosa menemukan pekerjaan untuknya, akhirnya dengan terpaksa Aruna memilih tinggal bersama Rosa di kontrakkan, untuk menghemat ongkos, karena jika di rumah ibunya, rumah itu sangat jauh dan harus naik angkot beberapa kali.
Mendengar nama Sigit, membuat kenangan dan luka itu kembali, Aruna tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis setiap mendengar nama Sigit di sebut, ia terluka dan ia tersakiti, ia istri yang tidak bisa menjaga suaminya dengan baik hingga suaminya lebih memilih wanita lain dibandingkan dirinya.
***
Keluarga Sigit saat ini sedang makan malam bersama, mereka semuanya makan masakan Hasfina yang kini sudah menjadi istri dari Sigit, pria yang meninggalkan istrinya.
Hasfina adalah wanita yang saleha, namun karena ia pun manusia biasa, yang tidak bisa mencegah perasaan itu datang, akhirnya Hasfina menikah dengan Sigit, pria yang sudah meninggalkan istrinya demi dirinya.
Hasfina memang bukan wanita yang sempurna seperti Aruna, wanita yang lebih cantik dan seksi dibandingkan dirinya, namun ia mampu membuat Sigit jatuh cinta kepadanya.
Awalnya, Hasfina menolak cinta yang ditunjukkan Sigit padanya, namun karena Aruna sendiri yang memintanya untuk menerima lamaran Sigit, akhirnya Hasfina mau menjadi istri dari Sigit, meski ia harus di cap perebut suami orang, namun itu lah yang terjadi, Aruna sendiri yang memintanya.
Hasfina bersyukur ketika Aruna yang memintanya sendiri, setidaknya ia tidak merebut, namun ia diberikan kepercayaan itu.
“Ada apa?” tanya Sigit pada istrinya yang kini terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Hem? Oh Fina gak apa-apa, Mas,” jawab Hasfina.
“Kamu sakit?”
Hasfina menggelengkan kepala. “Tidak sama sekali, Mas. Fina baik-baik aja.”
“Kalau kamu sakit gak usah masak dulu,” kata Sigit.
“Fina baik-baik aja, Mas, beneran deh,” kata Hasfina.
Sigit menganggukkan kepala. Meski Aruna lebih cantik dari dirinya, namun Hasfina adalah seorang guru agama di salah satu sekolah dasar di Jakarta. Jadi, ia memiliki pekerjaan tetap dan memiliki gaji, jadi tidak akan membebani Sigit, namun Aruna berbeda, ia pengangguran dan tidak memiliki pekerjaan, jadi semuanya harus ditanggung oleh Sigit.
Ketika Sigit menyatakan akan melamar Hasfina, orang pertama yang sangat bahagia adalah ibu dan adiknya, karena mereka tahu kehidupan Hasfina lebih baik dibandingkan Aruna.
“Kalau kamu sakit, istirahat saja, biar Maya yang masak,” kata Arisma—Ibu kandung Sigit.
“Tidak apa-apa, Bu.” Hasfina menggelengkan kepala.
“Kamu terlalu memanjakan kita, Kak Fina, padahal Maya bisa masak kok,” sambung Maya.
“Ini sudah menjadi tugasku, Dek, jadi gak apa-apa.”
“Kak Fina kan kerja juga, masa harus masak juga,” kata Maya. “Sedangkan Maya gak ada kerjaan juga di rumah.”
“Dengerin Maya aja, Fina. Dia yang akan masak, kamu istirahat dulu,” kata Sigit.
“Sebenarnya … Fina sakit, Mas,” jawab Hasfina.
Sigit panik dan terlihat antusias, lalu berkata, “Sakit apa, Fina? Kamu gak apa-apa, ‘kan? Apa aku terlalu menyiksamu?”
Hasfina menggelengkan kepala, setidaknya ia bahagia bisa dicintai Sigit, dan ia bahagia ketika harus mengatakan hal membahagiakan seperti ini, karena seluruh keluarga ini sangat menyayanginya dan memerhatikannya.
“Kamu sakit apa, Nak Fina?” tanya Arisma.
“Sebenarnya … Fina lagi hamil, udah dua minggu,” jawab Hasfina.
“APA? KAMU HAMIL?” Sigit membulatkan matanya penuh dengan mulut menganga.
Hasfina menganggukkan kepala.
“Kamu hamil, Nak?” tanya Arisma bangkit dari duduknya.
“Iya, Bu. Sebenarnya … Fina mau ngomong ini sama Mas dan semuanya, pas nanti kalau Mas Sigit ulang tahun, tapi kayaknya Fina gak bisa jaga, hehe,” kata Hasfina.
Sigit lalu memeluknya erat, membuat semuanya tersenyum, akhirnya Sigit menemukan tambatan hatinya yang sebenarnya.