Bab 7. Neraka Pribadi

2068 Words
Elaine tersenyum puas saat dia mendapatkan pesan yang berisi bahwa Eliza telah berada di tempat Ronald. Dia yang sedang selonjoran di sofa. Senyuman indah, sinis, dan penuh kepuasan itu telah terkembang dengan sempurna di bibirnya. Pikirannya mulai melayang. Segala macam rencana yang sudah dia susun sedemikian rupa akan bisa segera dia nikmati. Sebuah pembalasan paling sempurna sudah dia persiapkan. “Bersiaplah masuk ke dunia baru yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya!” ucapnya pelan. Senyuman tipis itu terus terkembang. Dia beranjak berdiri. Merapikan pakaian dan rambutnya yang sedikit berantakan. Sudah saatnya dia pergi untuk mengecek persiapan. Sayangnya, baru saja dia akan mengambil tas. Ponselnya berdering. Nama ronald tertera di layarnya. Elaine mengernyitkan keningnya. “Kenapa dia menelepon?” gumamnya. Segera dia angkat telepon itu. Karena dia sudah tidak sabar mendengar kabar dari temannya tersbut. “Ya? ada apa?” jawabnya. “Aku hanya ingin memberitahu, bahwa semuanya sudah siap. Tapi, apa boleh aku memberikan saran padamu?” balasnya. Ronald yang sedang berada di seberang ponsel sedikit mengernyitkan keningnya. Dia selalu merasa cemas. Setiap kali rencana yang dia siapkan dengan Elaine memiliki kendala. Karena dia tahu betul, seperti apa watak perempuan cantik tersebut. Elaine mengibaskan rambutnya. Kembali duduk di sofa. Netranya menatap kuku-kukunya yang lentik. Sangat cantik, dan sangat siap untuk digunakan mencakar wajah seseorang hingga membekas dalam. Helaan napasnya panjang. hal itu membuat Ronald sedikit ketar-ketir menunggu jawaban darinya. “Oke, baiklah. Saran apa?” suara Elaine berubah. Tidak lagi terdengar riang seperti sebelumnya. Dia kini merasa kesal. Dia bisa menebak, apa yang akan dikatakan oleh ronald kenapanya. Pasti itu sesuatu hal yang tidak dia sukai. “Jadi begini, kami masih memerlukan waktu untuk meninggalkan jejaknya. Sinyal dari ponselnya tentu akan mudah dilacak kalau tidak segera dialihkan ke tempat lain. Aku yakin, kamu bahkan tidak akan suka jika lokasi ini terlacak oleh orang lain bukan?” ronald adalah seorang dokter yang berpengalaman. Dia mempunyai lisesnsi dalam merawat dan menyembuhkan. Termasuk para pasien yang membutuhkan bantuan spikologis. Mengutarakan kalimat dengan nada bicara rendah, memberikan ketenangan dan juga rasaa percaya dalam setiap kata yang dia ucapkan. Terlalu mudah baginya. ya, mudah jika itu dilakukan pada orang lain. Tapi, tidak dengan Elaine. “Jadi, kamu mau bilang kalau aku tidak bisa ke sana sekarang? Berapa lama lagi aku harus menunggu?” rengeknya. Dia memang sudah tidak sabar untuk bisa segera melakukan balas dendam. Kalau saja ini bukan untuk keamanan dan kerahasiaan tempat tersebut. Tentu Elaine akan menolaknya. Tapi, dia harus bersabar kali ini. Dia harus bisa menahan diri dan menerima saran yang disampaikan oleh Ronald. Agar semua rencanya bisa berjalan dengan lancar. “Tenanglah, aku akan menyelesaikannya dalam waktu tercepat. Aku akan segera menghubungi kamu kembali jika semua urusannya selesai. Jangan ke mana-mana! Oke?” tutup Ronald. Dia tahu, Elaine akan menuruti ucapannya kali ini. Ya, rahasia harus tetap menjadi rahasia. *** Maddie baru saja selesai dengan segala berkas yang harus dia tandatangani. Sang paman tidak akan tinggal diam dengan kelakukannya saat ini. Dia harus membuat semua menjadi jelas. Agar tidak ada hal yang akan menyulitkan mereka di kemudian hari. Sementara itu, gadis bernama Hazel itu masih duduk diam di tempatnya. Dia tidak tahu, nasib apa yang akan menimpanya. Sedari tadi dia duduk sambil meremas jemarinya sendiri. Kepalanya menunduk, memikirkan banyak hal. Dia merutuki dirinya dalam hati. Kenapa dia dengan bodohnya pernah melakukan hal yang membuat dirinya terjebak, hingga harus berurusan dengan seorang Nona muda dari keluarga kaya raya seperti saat ini. Harry merapikan berkasnya. Mengentakkannya ke meja dengan keras. Dia melirik sekilas pada ekponakannya. Sementara gadis itu membalas dengan senyuman yang menuru dirinya sangat menjengkelkan itu. Bagaimana tidak, gadis itu selalu saja membuat dia kewalahan. Membuat dia mengurus banyak hal. Segala macam kontrak yang harus diubah dan dinegosiasikan dengan para klien. Entah sudah ke berapa kalinya. Dia terus saja melakukan hal itu. Karena, kalau bukan dia. siapa lagi yang bisa mengurus keponakannya satu-satunya itu. “Kapan kamu akan pergi?” tanya Harry pada Maddie yang asyik dengan ponselnya. “Tenang saja Paman, aku akan mengabari kalau harinya sudah tiba. Tidak sekarang. Mungkin minggu depan, atau bahkan bulan depan!” jawabnya enteng. Dia sama sekali tidak merasa bersalah atas apa yang sudah dia perbuat. Ia sudah membuat pamannya kewalahan. Mencari Hazel, menemui klien, mengurus berkas dan juga pergantian kontrak. Bahkan dia juga harus mengurus uang penalti yang harus dibayarkan atas kelakukan Maddie tersebut. Dan sekarang, gadis itu mengatakan dengan santainya dia mungkin saja bulan depan baru akan pergi. “Hah? Tidak sekarang? Bisa saja bulan depan katamu? Lalu, semua ini untuk apa? Kamu sedang bercanda atau memang sengaja membuat paman susah, hah?” Harry meradang. Dia berkacak pinggang di depan Maddie. Tapi, seperti biasa. Maddie berdiri dari tempat dia duduk. Berlari kecil dan memeluk pamannya dari belakang. Sambil menunjukkan wajah yang menggemaskan. Hal itu adalah penawar kekesalan Harry. Dia pasti akan luluh setiap kali maddie melakukan hal itu padanya. “Sudah-sudah, jangan lakukan itu. Baiklah-baiklah, aku tidak akan marah. Percuma, aku juga tidak pernah bisa marah padamu.” Harry melepaskan pelukan keponakannya. “Tapi, ingat, ini adalah yang terakhir kalinya! Aku tidak akan melakukan hal ini lagi. Kamu harus bertanggungjawab dengan apa yang akan kamu lakukan ke depannya. Paman tidak akan membantu kamu lagi.” Harry mengatakannya dengan tegas. Walau pada akhirnya bisa saja dia berubah pikiran dan tetap membantu Maddie. Karena. Dia juga pernah mengtaakan hal itu sebelumnya. Tapi, dia malah membantu gadis itu sekarang. “Siap! Paman tenang saja. Aku tidak akan mengacau lagi. Janji ini yang terakhir!” ucapnya penuh semangat. Sehgera dia berbalik dan kembali memeluk Harry. “Terima kasih banyak paman!” ucapnya dengan nada manja “Lepaskan!” Maddie menjulurkan lidah, lalu kembali duduk dan sibuk dengan ponselnya. “Tanda tangani di setiap bagian dengan tanda ini!” Harry memberikan berkas pada Hazel. Gadis itu tak banyak bicara sejak tadi. Tapi, dia juga tidak bodoh. Dia memeriksa lembar demi lembar berkas yang harus dia tandatangani. Lalu, dia berhenti, mendongak pada Harry yang sedang berdiri di depannya. “Kenapa? Ada yang kurang?” tanya harry. Dia bisa membaca raut tidak suka di wajah Hazel. Gadis cantik itu sedang menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Ya, kenapa ini isinya begini? Bisa digantikan sewaktu-waktu dia datang? Apa memang bisa begini?” pertanyaan itu akhirnya keluar dari bibirnya yang berwarna peach. Tampak begitu segar dan menggiurkan. “Kalau dia mau melakukannya sampai kontrak selesai, biarkan saja Paman! Aku suka itu. Jadi, aku bisa punya lebih banyak waktu untuk liburan!” sahut Maddie. Gadis itu mengucapkannya tepat sebelum Harry membuka mulutnya. Membuat harry menoleh dan mengernyitkan kening padanya. Tidak biasanya dia melakukan itu. “Seberapa lama kau berencana untuk pergi kali ini? Ini tidak seperti perjanjian-perjanjian yang pernah kita buat sebelumnya. Kamu yakin?” kali ini suara Harry terdengar serius. Raut di wajahnya sedikit lebih garang dari sebelumnya. Tatapan netranya pada Maddie cukup tajam. Sehingga cukup membuat maddie sedikit merasa takut pada pamannya itu. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Kali ini dia tidak akan bisa menggunakan jurus lama untuk membuat pamannya luluh. “Em....” dia bergumam. Dia masih memilih kata-kata yang pas untuk dikatakan pada pamannya. “Em apa?” balas Harry. Masih dengan tatapan yang sama. “Karenaa kali ini, aku akan pergi ke tempat yang jauh, jadi, aku tidak bisa memastikan kapan akan pulang. Tak apa, kontrak akan tetap aman. Seperti baisanya, jadi aku tidak perlu buru-buru pulang untuk melanjutkan kontrak. Dan paman juga tidak perlu susah payah membuat kontrak salinan untuk itu bukan? Ayolah paman. Biarkan saja dia lakukan kontrak kali ini hingga selesai. Dan berikan aku waktu luang yang lebih lama.” Maddi mendekat ke arah pamannya. Dia beriap untuk membisikkan sesuatu padanya. “Masalah kali ini, rasanya akan rumit. Boleh ya? paman tahu sedniri bagaimana Ayah dan juga Ibu,” bisiknya. Sebuah alasan paling manjur yang bisa dia gunakan saat ini. “Baiklah-baiklah! Selesaikan liburanmu. Dan jangan membuat aku susah seperti sekarang lagi!” tukasnya. “Kamu bisa melakukannya sampai akhir kontrak. Berikan saja catatan di sana. Aku akan mencetak berkas yang baru nanti!” Harry menyetujui ucapan Maddie. Begitu juga dengan pertanyaan Hazel. Akhirnya terjawab juga. Dia akan mendapatkan kontrak sebagai model hingga masa kerja mereka selesai. Dan dia juga menuntut beberapa hal pada Maddie. Seperti model-model lain yang pernah menggantikan dirinya. Bukan masalah besar bagi maddie jika dia harus mengeluarkan uang tutup mulut untuk mereka. Bagi harry, hal itu juga tidak terlalu bermasalah. Selama mereka saling merasa diuntungkan. Semuanya akan aman. “Bekerjalah dengan baik! Kalau tidak kau lakukan dengan baik. Aku sendiri yang akan menarik rambutmu dan keluar dari frame!” bisik maddie pada Hazel. Setelah mengucapkan itu, dia menatap kedua netra gadis cantik tersebut. Dalam dan tajam. Gadis cantik itu cukup terkejut mendengarnya. Begitu juga dengan tatapan tajam darinya. Dia yakin, tidak akan ada orang yang tidak gemetar setelah mendapatkan tatapan mata seperti itu. Sehingga membuat gadis itu sedikit gemetar. Tangannya terlihat bergetar saat menuliskan catatan pada lembaran berkas tersebut. “Dah Paman, sampai jumpa cantik!” pamitnya pada keduanya. Dengan langkah ringan dia keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan sang paman dengan gadis penggantinya di dalam sana. Sementara itu, dia masih bertanya-tanya. Apakah keputusannya ini benar? Mengambil langkah untuk liburan di saat Ibunya masih dalam masalah. Dia merasa berat sebelah. Karenanya dia menunggu. Satu minggu, atau bahkan satu bulan lagi. *** Kabar yang ditunggu-tunggu oleh Elaine akhirnya dia dapatkan. Persetujuan dari Ronald untuk segera datang sudah mendarat di ponselnya. Tak perlu menunggu lama. Dia segera bergegas pergi. Ini adalah sebuah kesempatan emas. Maddie tak ada di rumah. jadi, dia bisa leluasa pergi tanpa ada gangguan dari siapa pun. Apalagi, dia telah mendapatkan izin dan juga dukungan dari Eddy. Mobilnnya sudah siap, segera dia masuk dan melajukannya. Lili juga sudah diberitahu olehnya. Bahwa dia akan pulang larut malam. Sebuah pesan untuk Maddie juga sudah dia siapkan. Dia menyempatkan diri untuk masuk ke dalam kamar anaknya sebelum dia pergi. Menaruh secarik kertas bertuliskan tangannya. Berisi tentang ke mana dia pergi dan jam berapa dia akan pulang. Dia tidak ingin mebuat anaknya mengacaukan rencana yang sudah dia pertimbangkan masak-masak. Mobil melaju dengan lembut. Sebuah peta di ponselnya dia buka. Agar bisa menuntunnya untuk segera tiba di tempat yang sudah dia rencanakan dengan Ronald. Mobil itu terus memcah jalanan. Dari jalanan yang ramai hingga mulai memasuki pedesaan. Sesekali Elaine berhenti. Membeli minuman sekadar untuk menghilangkan rasa haus di tenggorokannya. Kemudian, dia akan melanjutkan perjalanannya lagi. Hingga akhirnya peta di ponselnya itu telah berkedip biru di titik merah yang dia tuju. Dia telah sampai, di sebuah tempat terpencil. Berada di tengah hutan lebat. Area itu jauh dari jangkauan masyarakat. Sama sekali hening. Sama sekali tidak akan ada orang yang melintas di sana. Selain orang yang memang bekerja di sana. Atau orang yang nyasar. Gerbang terbuka dengan perlahan. Dia dipersilakan masuk oleh sang penjaga. Mobil yang dia kkendarai meluncur cepat. Wajah riang dengan senyuman penuh kepuasan itu terhias sempurna. Dia mengehntikan mobilnya, saat dia telah melihat mobil Ronald berada di sana. Segera dia merapikan riasannya. Kembali memoleskan lisptik berwarna merah ke bibirnya. Dia merapikan dengan uuung-ujung jari telunjuknya. “Sempurna!” gumamnya. Segera dia turun dan melangkah menuju seorang pria yang sedang berdiri di seberang sana. Dengan jas berwarna putih yang melekat di badannya. Pria itu melambai dan dibalas dengan lambaian yang sangat anggun darinya. Wanita iitu sangat bersemangat. Ia bahkan berlari kecil agar bis segera sampai di tempat Ronald. “Untung kau tidak nyasar!” ucap Ronald sambil terkekeh pelan. “Mana mungkin aku tersasar. Padahal aku yang telah menyiapkan tempat ini untuk keperluan kita!” balasnya. Senyuman menyeramkan mendadak muncul di bibirnya. Ronald bisa merasakan aura kengerian itu semakin dekat. “Aku akan mengantarkan kamu ke tempat dia.” Mereka berdua berjalan beriringan. saling diam. Hanya suara langkah mereka yang memenuhi lorong. Bangunan serba putih itu cukup menyeramkan. Begitu sunyi, sepi, dan sepertii tidak berpenghuni. Siapa yang dengan sengaja menempatkan seseorang di dalam sana. Tentunya adalah seseorang yang telah mati rasa. Tidak lagi mempunyai rasa belas kasih sama sekali di dalam hatinya. Mereka akhirnya sampai di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Ventilasi berada di ujung. Pintunya digembok dari luar. Tak ada tempat yang bisa membuat orang lain bisa melihat keberadaannya di dalam sana. Wanita itu mengetuk pintu ruangan. Hingga akhirnya dia bisa mendengar ada langkah terseret yang sedang mencoba mendekat ke arah pintu tempat dia berdiri. “Selamat datang di neraka pribadiku!” ucap Elaine. “Tidaaaak!” teriak seorang perempuan di balik pintu. Sebuah teriakan yang menimbulkan rasa puas dalam diri Elaine.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD