"begini Mbak Saras, duduk dulu yuk, biar enak kita ngobrolnya." dokter Danar mempersilakan Saras untuk duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya meskipun agak ragu tapi akhirnya Saras duduk di kursi itu.
wanita itu benar-benar terlihat canggung bahkan terkesan tidak nyaman berada di ruangan itu tapi dokter Danar dengan begitu tenang tersenyum lalu duduk di hadapannya.
"aku udah perhatiin pekerjaan Mbak Saras di belakang beberapa hari ini, aku senang dengan cara kerja Mbak Saras yang rapi dan cekatan, jadi maksud aku mau minta tolong mbak Saras buat tinggal di rumah aku dan bantu-bantu di sana," kata dokter Danar dengan begitu hati-hati, mendengar apa yang dokter Danar katakan Saras hanya diam seperti sedang menimbang sesuatu di dalam hatinya.
"aku harap Mbak Saras nggak tersinggung dengan permintaan ini, maksud aku Mbak Saras bisa kan bantu-bantu aku di rumah, kerjaannya nggak berat kok karena aku hanya tinggal sendiri dan jarang di rumah paling di rumah cuma buat istirahat," sambung dokter Danar, Saras masih saja diam mendengarnya.
"Gimana Mbak Saras? Mbak Saras bisa?" tanya dokter Danar sambil menatap wanita itu sebenarnya niat dokter Danar bukan hanya meminta Saras tinggal di rumahnya menjadi asisten rumah tangganya karena laki-laki itu membutuhkan bantuan saja, tetapi dokter Danar juga ingin membawa Saras keluar dari rumah sakit. membuat wanita itu menjalani kehidupan dalam lingkup yang lebih luas dan berinteraksi dengan masyarakat dunia luar.
dokter Danar tidak mempermasalahkan Saras yang tidak ingin melanjutkan hidup yang sudah wanita itu jalani selama ini, tidak masalah jika Saras memang ingin memulai hidup baru sejak saat ini hanya saja dokter Danar merasa kehidupan wanita itu tidak bisa hanya berlingkup di dalam rumah sakit saja.
itulah alasan mengapa dokter Danar ingin membawanya keluar, dokter Danar yakin jika Saras bisa memiliki kehidupan yang lebih baik walaupun dengan identitas barunya dan melupakan identitas lamanya.
"aku suka di sini dokter," jawab Saras singkat memang Wanita itu sudah bisa berkomunikasi dengan baik tapi memang terasa sekali jika Saras membatasi interaksinya dengan orang lain.
"kamu masih bisa ke sini, misalkan kalau aku berangkat kerja Mbak Saras bisa ikut ke sini, Mbak Saras bisa kumpul sama temen-temen di sini atau bantu-bantu Mak Sri juga, nanti kalau aku pulang Mbak Saras bisa ikut dan bantu-bantu aku di rumah. Gimana?" tanya dokter Danar sambil menatap wajah Saras laki-laki itu sudah melihat jika ada ketertarikan di wajah Saras.
"Mbak Saras ada butuh sesuatu atau pengen beli sesuatu? nanti kan hasil kerja Mbak Saras itu bisa mbak Saras pakai untuk membeli keperluan Mbak Saras, Mungkin memang tidak terlalu banyak tapi setidaknya Mbak Saras punya pemasukan," kata dokter Danar laki-laki itu ingin tahu apakah masih ada keinginan berjuang di dalam hati Saras untuk mendapatkan sesuatu.
"aku nggak pengen apa-apa," gumam Saras tapi kedua mata wanita itu tiba-tiba berbinar saat mengingat sesuatu.
"aku pengen beli sesuatu, Bu Nunik katanya pengen beli sepatu kalau aku punya uang aku bisa beliin sepatu buat Bu Nunik, kata Saras sambil tersenyum penuh harap sepertinya itu kali pertamanya dokter Danar melihat ekspresi Saras seperti itu, ekspresi jika memang ada kehidupan di dalam jiwanya dan ada sebuah keinginan dan harapan yang ingin dia wujudkan.
namun sesuatu yang membuat dokter Danar lebih takjub adalah keinginan Saras adalah untuk membahagiakan temannya bukan untuk dirinya sendiri, bu Nunik adalah seorang odgj yang dibawa oleh dinas sosial dan ditaruh di rumah sakit itu.
"Iya nggak apa-apa kalau Mbak Saras mau kasih sesuatu buat Bu Nunik atau teman teman lainnya di sini, jadi Mbak Saras mau kan kerja sama aku di rumah?" tanya dokter Danar lagi meskipun masih terlihat agak ragu akhirnya Saras menganggukkan kepalanya.
"Ya udah kalau gitu, Mbak Saras bisa siap-siap atau berpamitan sama teman-teman di sini sementara aku mau ngurus surat-surat buat Mbak Saras keluar," kata dokter Danar, Saras tersenyum tipis lalu menganggukkan kepalanya.
dokter Danar mempersilahkan Saras untuk keluar dari ruangannya mengatakan pada wanita itu jika dirinya akan menjemput Saras di kamarnya setelah wanita itu diperbolehkan keluar, waktu itu dokter Danar gunakan untuk menghubungi Pak Wibowo dan Bu Sukma selaku wali dari Karin mengatakan jika dia akan membawa Saras ke rumahnya dan mengajaknya tinggal bersama tentu saja dokter Danar menjelaskan semua maksud baiknya.
baik Pak Wibowo bu Widya maupun Adrian setuju dokter Danar mengurus Karin secara pribadi karena bagi mereka yang terpenting adalah kesembuhan mental Karin, baik sebagai Karin ataupun sebagai Saras mereka hanya ingin wanita itu bisa hidup dengan baik, sehat dan berbahagia.
***
langit yang ditetap Saras memang sama dengan langit yang selalu ia tatap setiap harinya, hanya saja selama hampir dua tahun belakangan ini wanita itu menatap langit dari dalam pagar tinggi Rumah sakit jiwa tempatnya berada dan kali ini wanita itu menatap langit di dunia luar dunia yang rasanya benar-benar baru untuk wanita itu.
dokter Danar tersenyum menatap Saras yang masih mendongak menatap langit lalu perlahan dagu yang agak terbelah itu turun membuat kedua mata indah Saras lurus menatap ke depan, dokter Danar masih menatapnya saat Saras menoleh ke kiri mengedarkan pandangan ke sekitar lalu menoleh ke kanan hingga pandangan mereka saling bertabrakan Saras tersenyum tipis lalu menundukkan kepalanya terkesan begitu segan dan malu-malu.
"kamu masih ingat tempat ini? tanya dokter Danar kepada Saras wanita itu hanya diam, "kamu masih ingat waktu itu kamu ngamuk-ngamuk sampai cakar tangan aku waktu aku mau bawa kamu ke rumah sakit?"
saat pertama kali warga desa memanggil dokter Danar mengatakan jika ada seorang wanita mengamuk di pos kamling, pagi harinya Saras kembali mengamuk karena tidak mau didekati oleh dokter Danar wanita itu bahkan berteriak histeris dan mengamuk saat dokter Danar akan memasukkannya ke dalam mobil hingga terpaksa laki-laki itu kembali memberikan obat penenang pada Saras.
"bekasnya masih ada loh," kata dokter Danar sambil menunjukkan lengannya yang terdapat bekas luka, rupanya luka itu memang begitu dalam hingga bekasnya terlihat jelas. Saras terlihat begitu merasa bersalah menatap lengan dokter Danar yang terdapat tiga bekas cakaran kukunya.
"itu karena aku?" tanya Saras lirih sambil menatap lengan kekar dokter Danar.
"Iya karena waktu itu nggak ada yang bantuin. kalau di rumah sakit kan ada para suster yang bantuin pegangin pasien tapi karena waktu itu Kita di rumah cuma berdua jadi gini deh, jawab dokter Danar, laki-laki itu tertawa kecil sambil mengelus bekas luka di lengannya.
"maafin aku dong," pinta Saras lirih penuh rasa bersalah dokter, Danar tersenyum manis mendengarnya.
"Udah nggak sakit cuma bekasnya aja yang masih terlihat, tapi melihat Mbak Saras bisa sehat dan ada di sini dengan kondisi yang jauh lebih baik adalah sebuah hal yang membuat aku senang memiliki bekas luka ini," jawab dokter Danar, Saras hanya tersenyum mendengarnya.
"ayo masuk mbak Saras, nggak usah sungkan anggap aja rumah sendiri yang harus Mbak rawat sepenuh hati," kata dokter Danar sambil mempersilakan Saras untuk memasuki rumahnya Mereka berdiri di teras sejak tadi sambil menatap ke sekeliling.
pintu rumah dokter Danar tidak terkunci laki-laki itu masuk sambil mengucapkan salam dan dijawab oleh seorang wanita dari dalam sana Sarah sedikit mengerutkan kening karena sejak saat di rumah sakit hingga sepanjang perjalanan tadi dokter Danar mengatakan jika dia hanya tinggal seorang diri di rumah.
"eh, kamu udah pulang nak, ibu baru aja mau masak buat makan malam kamu,* kata seorang wanita paruh baya yang memiliki postur tubuh tinggi dan agak gemuk wanita itu menatap bingung ke arah Saras yang berdiri di belakang dokter Danar.
"Ibu seharusnya nggak usah repot-repot, buat makan Danar kan gampang bisa pesan, Danar tuh nggak mau loh ngerepotin Ibu kayak gini," ucap Danar sebelum mencium punggung tangan wanita itu sedangkan Saras hanya diam menatapnya.
"itu siapa Nak?" tanya wanita itu sambil melirik Saras, ia agak berbisik seolah-olah tidak ingin Saras mendengar pertanyaan itu, lirikan matanya terlihat teduh sama seperti mata yang dimiliki oleh dokter Danar tapi tetap saja Saras merasa canggung dan malu.
"kenalin Bu ini Mbak Saras, dia yang akan bantu-bantu Danar merawat dan membersihkan rumah ini. mulai sekarang dia akan tinggal di sini," kata dokter Danar memperkenalkan Saras kepada wanita itu wanita itu terlihat sedikit terkejut tapi kemudian tersenyum menatap senyum yang ada di wajah dokter Danar seolah mereka berdua dapat saling berkomunikasi hanya lewat senyuman.
"Mbak Saras ini Ibu aku, Mbak Saras bisa manggil ibu dengan sebutan Bu Ida kayak tetangga-tetangga sini manggil ibu. Ibu memang nggak tinggal di sini Ibu tinggal sama adikku di desa sebelah tapi Ibu sering ke sini buat bantuin rapihin rumah atau masakin buat aku, karena aku nggak mau Ibu terlalu repot makanya aku minta tolong mbak Saras untuk tinggal di sini," kata dokter Danar memperkenalkan wanita yang saat ini sedang dirangkul olehnya, Saras memberikan Senyum manisnya pada Bu Ida.
"nama saya Saras Bu," kata Saras memperkenalkan diri dan menjabat tangan Bu Ida penuh hormat.
"suara kamu kok tipis banget toh Nduk ndak ada logat jawa-jawanya sama sekali kamu nih asli mana?" tanya Bu Ida sambil menatap heran wajah Saras.
memang, penduduk kota itu banyak yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari tapi tetap saja dengan logat Jawa yang kental hingga bisa dengan mudah dikenali mana warga asli dan mana warga pendatang.
Saras terdiam mendengar pertanyaan Bu Ida melalui melirik dokter Danar sekilas dan kemudian terdiam sambil kembali menundukkan kepalanya.
"Mbak Saras ayo aku antar ke kamar Mbak Saras di belakang, biar Mbak Saras bisa istirahat sebentar sambil merapikan barang bawaan Mbak Saras," kata dokter Danar seolah tidak ingin Bu Ida terus memberikan pertanyaan pada wanita itu Bu Ida tersenyum menyadari apa yang putranya.
"Iya Ibu sampai lupa nyuruh kamu istirahat saking semangatnya Ibu nyambut kamu, sana kamu istirahat dulu ke kamar nanti kalau Ibu masaknya udah selesai kita ngobrol-ngobrol lagi ya," ucap Bu Ida dengan begitu ramah, Saras hanya tersenyum menganggukan kepala lalu mengikuti dokter Danar yang akan mengantarkannya ke kamar yang ada di belakang.
dokter Danar mengantarkan wanita itu sampai ke depan pintu kamarnya lalu membuka pintu itu mempersilakan Saras untuk masuk, kamar itu memang berada di belakang dekat dengan dapur dan ruang laundry, Mungkin memang kamar itu dikhususkan untuk para asisten rumah tangga.
"silakan Mbak Sarah istirahat dulu, kamar mandinya ada di sebelah barangkali Mbak Saras mau mandi. aku ke depan dulu ya, mau bantuin ibu masak," kata dokter Danar dengan senyum manisnya.
"Iya dok terima kasih," jawab Saras sambil mengangguk sopan wanita itu lalu memasuki kamar yang berukuran tidak terlalu luas, ada sebuah ranjang kecil yang hanya bisa ditiduri satu orang sebuah lemari dan sebuah meja di dalamnya Saras langsung duduk di tepi ranjang sambil menatap langit-langit berwarna biru cerah dan dinding kamar yang berwarna putih itu.
wanita itu menghela nafas panjang lalu berusaha menyunggingkan senyum seolah sedang bersiap untuk menerima dan memulai kehidupan barunya.
sementara itu dokter Danar benar-benar berada di dapur bersih yang ada di depan membantu sang ibu yang sedang menyiapkan makanan sederhana untuk dirinya dokter Danar meminta sang Ibu menambah porsi masakannya karena ada Saras di rumah itu.
"Jadi wanita itu kamu dibawa dari rumah sakit jiwa?" tanya Bu Ida saat Sang putra mengatakan dari mana asal Saras.
"Iya bu tapi dia udah sehat kok atau mungkin memang sejak awal dia nggak sakit, hanya sedikit terguncang saja," Jawab dokter Danar mereka berdua mengobrol dengan suara yang begitu lirih menjaga kemungkinan Saras akan mendengarnya.
"Nggak sakit kok dirawat di rumah sakit jiwa sih Nak, keluarganya emang gimana?" tanya Bu Ida dengan nada yang terkesan prihatin.
"Saras itu punya masa lalu yang buruk Bu dia menikah dengan seorang laki-laki Tanpa Cinta hanya karena dijodohkan oleh keluarga mereka, lalu Saras bertemu dengan mantan kekasihnya yang dulu meninggalkan dia, ceritanya mereka CLBK tapi ternyata mantan pacarnya tuh jahat dia ninggalin Saras lagi padahal Saras lagi hamil," kata dokter Danar, laki-laki itu merasa perlu menceritakan latar belakang Saras kepada ibunya.
"dia hamil sama pacarnya padahal dia masih punya suami? wah nggak bener dong kalau gitu," kata Bu Ida sambil berbisik pada Sang putra.
"siapa sih Bu yang nggak pernah berbuat kesalahan, lagipula waktu itu Saras sama suaminya memang sudah sepakat bercerai. Saras pergi, pulang ke rumah orang tuanya sambil membawa kandungannya tapi ternyata orang tuanya juga nggak mau menerima Saras akhirnya dia terlunta-lunta dan nggak tahu gimana ceritanya bisa sampai ada di sini, waktu itu tetangga manggil aku katanya ada perempuan ngamuk ternyata dia mau diperkosa sama preman-preman jalanan," ucap dokter Danar pada sang ibu.
"oh jadi dia yang waktu itu kamu pernah ceritain, pantesan aja mau diperkosa wong dia cantik gitu," ucap Bu Ida sambil menatap Sang putra.
"terus gimana sekarang nasib anaknya?" Saras tanya Bu Ida penasaran.
"ya dirawat sama keluarga mantan suaminya Bu untuk mereka sayang banget sama Saras walaupun keluarga Saras sendiri nggak mau menerima Saras. tapi ya itu, Saras nggak mau nerima mereka bahkan menerima anaknya sendiri. Saras itu kayak pengen punya kehidupan baru dan melupakan masa lalunya gitu, Bu," terang dokter Danar Bu Ida manggut-manggut mendengarkan dan mulai mengerti keadaan Saras saat ini.
"makanya Danar bawa dia ke sini selain memang untuk bantu-bantu di rumah biar Mbak Saras juga bisa memulai hidup barunya nggak melulu di dalam rumah sakit, sayang kehidupan dia kalau cuma di sana, Bu, Saras itu wanita hebat dia harus punya kehidupan yang lebih baik di luar," ucap dokter Danar mungkin memang tidak kembali menjadi seorang pengacara hebat seperti sebelumnya tapi setidaknya Saras bisa memiliki kehidupan yang baik ke depannya.
"tapi emang apa nggak apa-apa kalau dia tinggal di sini Nak? Kalian kan laki-laki dan perempuan yang sama-sama sudah dewasa," kata Bu Ida sambil menatap Sang putra dokter Danar malah tersenyum geli karena sama sekali tidak memikirkan hal sejauh itu.
"Ya nggak apa-apa dong Bu, selain Mbak Saras di sini buat kerja kan kami juga dokter dan pasien, Danar sedang membantu Mbak Saras untuk memulai hidup barunya yang jauh lebih baik."