"Ih, dok, kok dimasukin gitu sih jarinya?" protes Saras saat melihat apa yang dokter Danar lakukan, tapi dokter Danar malah tertawa geli melihat ekspresi wajah wanita itu.
"Ya nggak apa-apa Mbak Saras emang harus gini yang penting kan tangan kita udah bersih," jawab dokter Danar, Saras yang berdiri di sebelahnya diam sambil memperhatikan dengan seksama, "ayo sini Mbak Saras coba masukin juga jarinya."
Awalnya masih terlihat ragu dari raut wajahnya yang sedikit mengernyit aneh tapi akhirnya Saras mengikuti apa yang dokter Danar perintahkan, saat dokter Danar menarik jarinya keluar Saras memasukkan jarinya ke dalam sebuah wadah yang dokter Danar pegang.
"Gini?" tanya Saras sambil menatap wajah dokter Danar yang ada di sebelahnya.
"Bukan gitu jarinya jangan dimasukin terlalu dalam, ngambang aja di atas berasnya terus ingat airnya itu harus ada di ruas jari teratas. ingat ya Mbak Saras, satu ruas jari jangan satu jari nanti nasinya jadi bubur," kata dokter Danar Sambil tertawa kecil membuat Saras merasa malu.
Wanita itu benar-benar tidak mengetahui caranya memasak, bahkan memasak nasi pun wanita itu tidak menggunakan takaran air yang semestinya hingga nasi yang dia buat lebih mirip bubur seperti apa yang dokter Danar katakan tadi.
"Oh iya iya aku tau, begini kan?" tanya Saras memastikan apa yang dia lakukan sudah benar, dokter Danar yang melihatnya lalu menganggukkan kepala.
"Iya bener," jawab dokter Danar sambil tersenyum, Saras langsung memasukkan panci penanak nasi yang pegang ke dalam alatnya, menyolokkan kabel lalu menekan beberapa tombol yang sudah Saras ketahui sebelumnya.
"Sambil nunggu nasinya matang kita masak telur dadar dulu ya," kata dokter Danar, laki-laki itu lalu mengambil daun bawang cabai dan tiga butir telur dari dalam lemari es.
"Biar aku aja Mas, eh, dok." Saras merubah panggilannya saat menyadari dirinya salah memanggil dokter Danar dengan sebutan Mas.
"Kenapa diganti?" tanya Dokter Danar membuat Saras yang akan mengambil alih daun bawang yang laki-laki itu pegang menatapnya.
"Apanya yang diganti?" tanya Saras tidak mengerti.
"Panggilannya, panggil Mas aja kalau kamu lebih nyaman," jawab dokter Danar membuat Saras menjadi canggung menyadari kesalahannya tadi, "Sebenarnya aku juga lebih nyaman dipanggil Mas sih, bahkan kalau bisa orang-orang di rumah sakit juga nggak perlu panggil aku dengan sebutan 'dok'."
"Ya nggak bisa begitu kan dokter Danar emang dokter di sana. kalau dokter Danar dipanggil Mas Nanti kayak manggil mas-mas cleaning service lagi," jawab Saras Sambil tertawa kecil untuk menghilangkan rasa canggungnya membuat dokter Danar juga tertawa kecil membenarkan.
Wanita itu lalu mengambil alih daun bawang dan cabai yang tadi dokter Danar ambil dari lemari es.
"Mbak Saras sudah bisa?" tanya Dokter Danar seolah khawatir Saras tidak bisa menyiangi daun bawang, Saras jadi merengut merasa begitu diremehkan.
"Ya bisa lah dok masak ngupas daun bawang sama motong-motong aja nggak bisa, aku kan biasanya bantuin Mak Sri bagian kayak gini kalau bagian bikin bumbu-bumbu aku nggak bisa takarannya," jawab Saras sambil menyiangi daun bawang lalu mencucinya.
dokter Danar tersenyum mendengar apa yang wanita itu katakan, memang benar Saras belum mengerti tentang takaran memasak hingga makanan yang dia buat rasanya tidak karuan.
"bukan nggak bisa tapi belum bisa, nanti kalau Mbak Saras sudah belajar pasti juga Mbak Saras jadi jago masak," sahut dokter Danar, laki-laki itu lalu duduk di kursi yang ada di dekat dapur membiarkan Saras lebih leluasa mencuci dan memotong-motong daun bawang dan cabai yang ia pegang.
"Iya itu emang cita-citaku," jawab Saras dengan senyum ceria di wajahnya.
"Cita-cita Mbak Saras jadi pintar masak?" tanya Dokter Danar dengan cepat Saras menganggukan kepalanya, "sederhana sekali cita-citanya."
Saras hanya tersenyum mendengar apa yang dokter Danar katakan sambil memotong daun bawang.
"Oh aku tahu sebenarnya cita-cita Mbak Saras itu bukan cuma jago masak, tapi Mbak Saras pengen jadi chef di sebuah restoran ya," sambung dokter Danar membuat Saras tertawa kecil.
"Enggak, mana bisa punya cita-cita muluk-muluk begitu orang masak nasi aja aku nggak tahu caranya," jawab Saras sambil terkekeh menertawakan dirinya sendiri.
"Oh kalau gitu berarti cita-cita Mbak Saras itu pengen jadi ibu rumah tangga yang baik dan pintar masak buat suami dan anak-anaknya, iya kan," kata dokter Danar cepat sambil menatap Mbak Saras yang tiba-tiba terdiam, wanita itu menghentikan gerakan tangannya yang memegang pisau dan memotong daun bawang.
"itu lebih nggak mungkin lagi," jawab Saras ringan lalu kembali memotong daun bawang yang hanya tinggal tersisa sedikit.
"Kenapa lebih nggak mungkin lagi?" tanya Dokter Danar dengan serius.
"karena cita-cita aku cuma kerja di sini, bantuin dokter Danar ngurusin rumah dan dan biar dokter Danar nggak makan pakai telur dadar terus. terus dapat duit buat beliin hadiah temen-temen di rumah sakit," jawab Saras juga dengan begitu serius dokter Danar tersenyum mendengarnya.
Memang Saras betul-betul belum ingin memikirkan kehidupannya sendiri, tapi dokter Danar senang setidaknya wanita itu sudah bisa hidup dengan baik.
"Cabenya mau pakai berapa dok?" tanya Saras sebelum memulai memotong cabai merah yang ada di tangannya.
"Dua aja deh biar nggak terlalu pedes," jawab dokter Danar, Saras lalu menganggukan kepala menuruti permintaan laki-laki itu.
Setelahnya dokter Danar dengan begitu telaten mengajari Saras, memberitahu berapa takaran garam, penyedap dan lada yang harus wanita itu masukkan ke dalam tiga butir telur yang akan dia dadar. dokter Danar tahu jika Saras adalah perempuan yang cerdas dan pasti akan dengan begitu cepat bisa mempelajari apapun.
Sembari makan berdua dokter Danar memberikan sesuatu yang Saras minta, beberapa buku resep masakan sederhana. Alih-alih menggunakan ponsel, Saras lebih meminta dibelikan buku resep wanita itu menolak saat dokter Danar memberikan sebuah Ponsel pintar padanya seolah Saras memang begitu ingin menutup diri dari dunia luar.
***
Entah pukul berapa sekarang, yang jelas Saras sudah tertidur di dalam kamarnya saat dia mendengar suara-suara di dapur. kamarnya yang memang bersebelahan dengan dapur membuat wanita itu bisa mendengar jika ada seseorang di sana.
Saras memutuskan untuk keluar dari kamarnya karena memang tidak biasanya dokter Danar keluar malam-malam dan membuat keributan di dapur.
"Jangan-jangan ada maling tapi masa iya maling berisik," kata Saras di dalam hati wanita itu lalu mengendap-endap keluar dari kamarnya dan melihat dokter Danar sedang berada di dapur entah apa yang sedang laki-laki itu lakukan.
"Dok."
"Aaakkkhhhh."
"Aaaakkkhhh."
keduanya sama-sama terpekik kaget berdiri berhadapan dengan jarak sekitar satu meter, di bawah temaram lampu dapur yang tidak terlalu terang.
"Mbak Saras ngagetin aja!" kata dokter Danar yang memang begitu terkejut akan panggilan Saras yang tiba-tiba terdengar ketika dirinya sedang serius dalam keheningan.
"Dokter Danar yang ngagetin aku tiba-tiba teriak, lagian ngapain malam-malam di dapur?" kata Saras tidak terima disalahkan oleh laki-laki itu tapi dokter Danar tiba-tiba memegangi perutnya dan mengerutkan kening.
"Aku diare," ucap dokter Danar sambil berlari memasuki kamar mandi yang ada di sebelah kamar Saras, Saras hanya Diam mengerutkan kening menatap kelakuan laki-laki itu yang terlihat lucu lari sambil memegangi perutnya.
"dokter Danar Mau bikin apa sih?" gumam Saras saat melihat sebuah Tumbler kaca ada di atas meja dapur.
"dok, dokter Danar," panggil Saras dari depan pintu kamar mandi.
"Iya," jawab dokter Danar dengan suara aneh laki-laki itu menjawab sambil menahan rasa melilit di dalam perutnya.
"dokter Danar Mau bikin apa? teh? biar aku bikinin ya," tanya Saras dari luar, wanita itu berinisiatif untuk menolong dokter Danar membuat minuman.
"Enggak aku mau bikin cairan oralit, bikinnya pakai air hangat satu Tumbler itu dikasih garam setengah sendok teh sama gula dua sendok teh," kata dokter Danar dari dalam kamar mandi, Saras manggut-manggut mengerti.
"Oke, aku bikinin ya!" Dengan cekatan Saras meracik apa yang dokter Danar katakan tadi, wanita itu menggunakan air panas yang ada di termos dan mengisi Tumbler dengan air dingin dan air panas tersebut lalu memasukkan gula dan garam ke dalamnya.
Saras menunggu dokter Danar keluar dari kamar mandi sambil duduk di meja makan yang ada di dekat dapur, minuman oralit yang tadi dia buat ada di hadapannya.
Tidak begitu lama dokter Danar keluar dari kamar mandi sambil memegang perutnya lalu duduk di kursi meja makan yang ada di hadapan Saras.
"Dokter Danar nggak apa-apa?" tanya Saras dengan raut wajah yang terlihat khawatir menatap laki-laki itu.
"Perut aku sakit banget apa karena makan telur dadar banyak cabenya ya," jawab dokter Danar sambil sedikit meringis merasakan perutnya masih sedikit melilit.
"Kan dokter Danar sendiri yang minta telur dadarnya pakai cabe," jawab Saras sambil menatap wajah dokter Danar takut-takut wanita itu juga merasa bersalah takut dokter Danar menyalahkannya.
"Iya tapi cabe dua kan untuk kita berdua tapi Mbak Saras malah kasih cabenya semua buat aku," jawab dokter Danar Sambil tertawa kecil apalagi saat melihat wajah Saras seperti seorang yang sedang merasa bersalah.
"iya maaf soalnya aku kan juga nggak suka pedes, Ya udah kalau gitu nanti kalau bikin telur dadar nggak usah dikasih cabe lagi," sahut Saras, dokter Danar mengangguk setuju, laki itu lalu mengambil Tumbler yang ada di atas meja untuk meminum cairan oralit nya.
"Pegang dulu masih panas atau enggak, takutnya itu kepanasan," kata Saras sambil menatap dokter Danar yang lalu memegang tumblernya merasa jika cairan oralit itu sudah cukup hangat.
Dokter Danar langsung membuka tutup Tumbler dan meneguk cairan oralit untuk mengganti cairan tubuhnya yang hilang akibat diare yang ia alami.
Saras masih menatap dokter Danar dan terkejut ketika tiba-tiba laki-laki itu menyemburkan minuman yang baru saja memasuki mulutnya bahkan hingga beberapa percikan mengenai wajahnya.
"Dok, kenapa?" tanya Saras tidak mengerti mengapa dokter Danar melakukan hal itu.
"Ini asin banget Mbak, ini oralit apa air laut," tanya Dokter Danarz laki-laki itu lalu bangun dari duduknya untuk mengambil air putih dan membasuh rasa asin yang memenuhi mulutnya.
"Kan aku ngikutin resepnya dokter Danar tadi, kok aku yang disalahin," jawab Saras datar wanita itu sedikit mengernyit menatap tingkah dokter Danar.
"gimana resepnya?" tanya Dokter Danar sambil menatap wanita itu, dokter Danar menahan tawa.
Saras memang tidak bisa memasak tapi apa iya membuat cairan oralit saja dia tidak bisa.
"Air satu Tumbler gula setengah sendok teh garam dua sendok makan," jawab Saras memberitahu resep yang tadi dia dengar dari dokter Danar, dokter Danar malah menyemburkan tawa mendengarnya.
"Mbak yang setengah sendok teh itu garamnya, Lagian gulanya juga dua sendok teh bukan dua sendok makan. ini malah kamu kasih garam dua sendok makan pantesan rasanya kayak air laut," ucap dokter Danar Sambil tertawa, Saras pun ikut tertawa geli mendengarnya.
"Hah, iya kah, aku dengernya garam dua sendok makan. Maaf ya," jawab Saras juga sambil tertawa tapi wanita itu terlihat merasa bersalah.
"Ya udah deh nggak apa-apa," sahut dokter Danar ringan agar wanita itu mengetahui jika yang dia lakukan bukanlah sebuah kesalahan, "aduh perut aku mules lagi!"
Dokter Danar segera berlari memasuki kamar mandi, Saras tertawa kecil melihatnya lalu kembali ke dapur untuk membuatkan cairan oralit itu untuk laki-laki itu.
Kali ini dokter Saras yakin bisa melakukannya dengan benar.