Keisha sedang mengunyah sarapannya seraya menatap Terry yang sedang menelepon seseorang. Sesekali ia melirik ke arah TV, lalu kembali melirik Terry. Keisha penasaran aa yang Terry katakan dan bagaimana akhirnya. Ketika Terry menutup sambungan teleponnya lalu bergabung duduk di hadapan Keisha untuk menikmati sarapannya. Keisha menaruh perhatian penuh pada wanita itu. "Jadii... Aku di pecat?."
Terry melirik Keisha lalu kepalanya mengangguk tanpa suara. Ia sudah mencoba memohon. Tapi tidak berhasil. Kejadian itu cukup membuatnya di depak keluar dari dalam sana, apalagi orang yang Keisha tendang bukanlah pria sembarangan.
"Kau tidak di pecat kan?."tanya Keisha. Hal itu membuatnya teringat pada nasib Terry, sahabatnya itu tidak boleh terkena imbas dari apa yang telah ia lakukan kan. Kni ia takut Terry yang terancam di keluarkan karena ulahnya tadi malam.
Terry menggeleng kan kepalanya lalu bibirnya tersenyum pada Keisha dengan wajah sendu. "Hah. Baguslah. Ku pikir ini akan menjadi begitu buruk karena sikapku tadi malam."
"Kau seharusnya mengontrol emosimu. Jika kau mau membunuhnya setidaknya bawa dia ketempat dimana tidak ada seorang pun yang melihat kalian."omel Terry. Keisha tertawa mengingatnya. Sepertinya ia merasa tadi malam adalah hal yang luar biasa.
“aku rasa aku tidak menyesal. Membunuhnya dengan cara mempermalukannya adalah hal yang terbaik. Biar dia rasakan.. pria itu harus belajar untuk tidak mempermalukan orang lain juga. Kalau bisa aku mau melakukannya di pipi yang satu lagi. Biar blush on nya rata."Keisha mengusap kedua pipinya, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Kau ini."Terry hanya bisa menggelengkan kepalanya terheran. Ia tak habis pikir dengan sahabatnya ini. Tetapi Terry sangat kagum dengan Keisha.
Ia bahkan tidak memiliki keberanian seperti itu sama sekali. Bahkan walau hanya 0,0000001% untuk mencoba. Ia terlalu takut untuk melakukannya. Terry bukanlah wanita yang mau mengambil resiko besar seperti Keisha. Keisha memang terlalu berani, menghadapi pria kaya seperti pria itu mungkin memiliki resiko besar.
Setelah menghabiskan makanan. Keisha yang mencuci piring karena Terry yang memasak. Mereka akan bergantian melakukannya. Jika Keisha yang memasak maka Terry yang akan mencuci piring. Hal itu akan terus terjadi karena sudah menjadi peraturan yang dibuat mereka berdua.
"Berarti ilmu bela dirimu belum pergi. Tendanganmu sepertinya masih kuat."ucap Terry teringat jika Keisha memang memiliki kemampuan bela diri. Wanita ini pemegang sabuk hitam Taekwondo di SMA. Keisha bahkan hampir masuk tingkat nasional jika saja ayahnya tidak masuk rumah sakit waktu itu dan membuatnya tak ikut kejuaraan.
"Tentu saja. Aku akan mematahkan kakinya menjadi dua jika dia macam-macam padaku lagi."ucapan Keisha membuat Terry terkekeh. Terry ingat betul wanita itu pernah menendang mantan kekasihnya yang berselingkuh, banyak pria yang tidak mau macam-macam dengannya karena Keisha tidak akan segan-segan membuat memberi pelajaran.
Bel berbunyi..
Keisha dan Terry menoleh ke arah pintu. Nampak bingung dengan bel Apartemen mereka yang berbunyi, mereka jarang kedatangan tamu selain Postman dan bibi pemilik Apartemen untuk menagih uang sewa. Keisha menaruh piringnya yang baru saja ia basuh dengan air ke dalam rak. Ia mencuci kedua tangannya lalu mengelap tangannya di kain yang tergantung di samping rak.
"Bukannya sudah ku suruh langsung transfer uangnya agar ia tidak kemari dan menagihnya secara langsung."gerutu Keisha. Kedua mata Terry melebar, lalu ketika ia mengerjapkan kedua matanya ia teringat ia sudah membayarnya. Kenapa dia kemari lagi.
"Aku saja yang menemuinya, kau lanjutkan mencuci piring. Lagi pula sudah ku transfer kemarin pagi. Aku juga sudah mengirimnya lewat message. Apa dia belum membaca pesanku."Gerutu Terry. Terry berjalan menuju pintu rumahnya. Ketika ia membuka pintunya ia mendapati seorang pria bersetelan jas. Pria itu terlihat tampan. Tingginya sekitar 188 cm, rambutnya berwarna coklat, matanya berwarna ke abu-abuan, tubuhnya nampak beroto di terlihat dalam balutan kemeja dan jas nya. dia benar-benar tampan.
Kedua mata Terry mengerjap terkejut. Pria itu membuatnya salah tingkah, Terry hanya terdiam seolah terpesona dengan perawakan pria itu. Kini ia hanya diam dan memandangnya tanpa berkedip."Bisa aku bertemu dengan nona Keisha?."
"Ah. Kei...Keisha. Tunggu sebentar."bukannya mempersilahkan nya masuk, Terry malah kembali menutup pintunya dan masuk ke dalam untuk menemui Keisha dan meninggalkan pria itu di luar sana.
"Keisha... Keisha..."panggil Terry heboh. Ia menarik-narik lengan Keisha seraya menunjuk-nunjuk pintu dengan tidak sabaran. Seperti bocah berumur 5 tahun yang berada di Mall menunjuk mainan untuk minta di belikan.
Keisha baru saja selesai mencuci piring. Ia mematikan keran air. Lalu mengibaskan tangannya yang basah dan mencipratkannya ke wajah Terry membuat wanita itu terdiam seraya memejamkan mata.
"Ha! Ada apa.!."
Terry melepaskan tangannya di lengan Keisha. Ia mengusap wajahnya yang terciprat air. Lalu kemudian menatap Keisha protes. "Kau ini. Oh. Ada pria tampan mencarimu di depan. Apa dia kekasihmu?."
Alis Keisha mengernyit bingung mendengarnya. Apanya yang kekasih. Terakhir ada seorang pria yang menguntitnya, bermaksud meminta nomor telepon nya di tempat sepi tapi Keisha sudah keburu menendang nya sampai terjatuh karena dia kira pencopet. Pria darimana. Tidak mungkin pria yang kemarin kan, karena Terry tahu wajahnya dan lagi pula tidak mungkin dia ke sini, pria itu tidak tahu dimana rumahnya.
"Aku tidak punya kekasih. Apa dia pemilik baru Apartemen kita dan mau memberitahu untuk mengganti nomor rekening penerima!."ucap Keisha.
"Tapi.. Ahjumma pasti sudah memberitahu kita dulu tentang itu."Ucapan Terry membuat Keisha berpikir keras. Terry benar tidak mungkin bibi pemilik apartemen tidak memberitahu mereka tentang hal tersebut.
"Ah.. Kau benar. Lalu dia siapa?."tanya Keisha balik. Membuat Terry mengendikkan bahunya tidak tahu, seolah mengatakan kenapa kau tanya aku sana temui dan cari tahu sendiri. Keisha menatap pintu. Lalu kembali menatap Terry. Terry menujuk pintu dengan dagunya menyuruh Keisha untuk segera menemuinya.
Keisha mengangguk lalu berjalan menuju pintu untuk melihat siapa tamu mereka pagi ini. Saat Keisha membuka pintu Rumahnya. Kedua mata Keisha membulat sempurna saat mendapati si penyewa Butik. Si pengantin pria waktu itu. Ia menundukan sedikit kepalanya. Seolah memberikan hormat.
"Demian. Masih ingat aku!."Ia mengulurkan tangannya pada Keisha.
Keisha menatap tangan itu. Lalu kembali menatap Demian dengan ekspresi bingung.
"Oh. Iya. Keisha."Keisha membalas jabat tangan itu kikuk. Keisha terkejut bukan main. Mendapati Demian di depan rumahnya. Bukankah masalahnya sudah selesai. Mau apa dia kemari. Apa Demian berubah pikiran dan ingin menuntut Keisha. Haaaaa,,, kedua bola mata Keisha membesar memikirkan kemungkinan itu.
"Bisa kita bicara di suatu tempat?."Keisha melirik ke dalam Apartemennya. Terry berada di balik dinding. Menguping. Wanita itu menganggukkan kepalanya, menyuruh Keisha untuk ikut saja dan mendengarkan apa yang ia inginkan.
“ikut saja, dia tampan.”ucap Terry dengan suara berbisik agar Demian tidak bisa mendengarnya. Keisha kembali menatap Demian. Lalu ia mengangguk mengiyakannya. Membuat Demian tersenyum mendengarnya.
"Okey. Saya ambil jaket dulu."
***
Demian mengajak Keisha ke sebuah Cafe yang tak jauh dari tempat tinggal Keisha. Kini Keisha duduk di hadapannya nampak gugup. Demian tersenyum kecil melihatnya. Tak lama pelayan datang membawa dua cangkir kopi dan menaruhnya ke hadapan mereka. Demian memesan Americano. Sementara Keisha memesan latte.
Untuk beberapa saat mereka masih diam, dan hal itu membuat Keisha semakin gerah dengan perasaan berdebar ini. Berbagai hal tentang masalah mulai berkrumun di dalam isi kepalanya. Keisha ingin tahu kenapa Demian ingin bertemu dengannya.
"Apa ini untuk masalah Gaun?."Keisha bertanya pada akhirnya. Merasa tak kuat jika harus terdiam dengan segala terkaannya tentang masalah apa yang akan mereka bahas saat ini.
"Bukan. Aku ingin menawarkan suatu pekerjaan untukmu. Aku tahu. Jika kau dulunya adalah seorang atlet dan kejadian tadi malam membuatku berpikir betapa cocoknya jika kau menerima pekerjaan ini."
Keisha nampak bingung. Apa maksudnya semua ini dan bagaimana dia tahu. Apa pria itu mencari tahu tentang identitas dirinya. Hal ini biasanya ada di film-film.
"Jadi benar. Para orang kaya selalu mencari tahu identitas seseorang sebelum di pekerjakan?."
Demian terkekeh mendengarnya. Ia menatap Keisha dengan penuh minat.
"Hanya untuk pekerjaan khusus."
"Pekerjaan khusus?."gumam Keisha terkejut dengan ucapan pria itu.
"Ya. Aku ingin kau menjadi asisten pribadi. Pengawal untuk seseorang. Aku butuh seseorang dengan mental sekuat baja. Seseorang yang memiliki kemampuan sepertimu. Aku yakin kau akan bisa melakukannya dengan baik."
Keisha mengalihkan arah pandangnya sebelum kembali menatap Demian yang masih menatapnya. Sebelah tangannya yang berada di atas meja nampak gugup, beberapa kali jarinya mengetuk-ngetuk meja.
"Aku akan menggajimu dengan jumlah yang pantas. Aku tahu betapa merepotkan pria ini. Tapi aku percaya kau bisa melakukannya dengan sangat baik."
"Kenapa harus aku? Kau bisa memperkerjakan seorang penggulat profesional jika dia sangat susah diatur."ucap Keisha asal. Dia tak habis pikir kenapa wanita sepertinya di tawari untuk menjadi seorang bodyguard. Seberapa merepotkannya orang itu. Memangnya dia pengasuh bayi. Kenapa harus dia. Apa hubungannya dengan mantan seorang atlet dan pekerjaan ini. Dan kenapa harus dia. Keisha menjadi bertanya-tanya sendiri. Pikiran itu terus berputar-putar di dalam kepalanya.
"Karena aku percaya kau bisa melakukannya."
"Hanya kau."
***
Demian pergi menuju bilik kamar Devan. Ada dua orang pelayan yang saling mendorong-dorong untuk masuk ke dalam kamar Devan. Demian menghampiri keduanya dan pelayan itu langsung berdiri berdampingan dengan wajah tertunduk saat Demian berdiri di hadapan mereka.
"Devan belum bangun?."tanyanya menatap wajah setiap pelayan di hadapannya yang menundukan kepala.
"Belum tuan."jawab salah seorang pelayan tersebut masih dengan wajah tertunduk.
"Kembalilah ke belakang. Aku saja yang akan membangunkannya."perintah Demian. Yang membuat kedua orang pelayan itu langsung berjalan ke belakang. Demian masuk ke dalam kamar Devan. Pintunya tak terkunci. Dan bayi besar itu masih berbaring di sana. Di atas tempat tidur dengan piyama berwarna merah yang melekat di tubuhnya. Demian meletakan kembali posisi miniatur superhero yang posisinya miring di atas meja di dalam kamar Devan.
Ia menarik tali kuning di sudut ujung jendela membuat semua hordeng di dalam kamarnya terbuka. Dan sinar Mentari langsung masuk menusuk tepat di wajah Devan, membuat kedua mata pria itu terbuka.
"Bangunlah tukang tidur. Kau harus segera menghadiri meeting bulanan dan sapalah sopir baru mu di bawah sana."Devan menggeliat malas. Tubuhnya berubah menjadi berbaring. Masih dengan mata terpejam. Ia berkata...
"Sudah ku bilang. Carilah orang cerdas, ipk min.3,0. Berkepribadian tangguh. Berkompeten. Tidak lalai dan bodoh. Aku tidak mau saat aku memukulnya dia akan merengek pergi seperti anak kecil."gerutu Devan masih dengan suara serak khas pria bangun tidur. Lalu tubuhnya bergerak miring membelakangi Demian.
"Dia sangat cocok dan masuk dalam kriteria idealmu. Kau harus bertemu dengannya. Kau akan melihatnya dan pasti merasa terkagum-kagun. Dia sangat berkompeten."
Devan terkekeh mendengarnya. Masih dengan mata terpejam. Tidak ada orang seperti itu di dunia ini. Jelas hampir 100 orang. Pengawal yang bekerja dengannya dan berakhir dengan cepat.
"Ah... Aku tak sabar untuk melihatnya."gumam Devan. Hal itu membuat Demian tersenyum menahan tawa. Tentunya Devan akan sangat terkagum-kagum. Pria itu bilang tidak akan pernah melupakannya.
***
Devan sudah siap dengan setelan baju kerjanya. Sebuah kemeja biru dengan dasi biru tua dan celana bahan hitam. Rambutnya berwarna hitam legam di potong rapi. Devan cukup tinggi, walau tak setinggi Demian. Tingginya hanya 183 cm. Tubuhnya tegap dan matanya besar sangat indah dengan lensa biru yang jernih, siapapun akan jatuh cinta ketika bertatapan dengannya.
Devan keluar dari dalam kamarnya. Bergegas turun tangga menuju ruang makan. Ia melihat Demian bersama dengan kakek. Devan mengambil tempat seperti biasa. Tempatnya di sisi kiri kakek. Devan mememulai makannya dalam diam. Sang kakek meliriknya. Lalu melirik Demian. "Kau akan mendapatkan asisten pribadi dan pengawal baru. Bersikap baiklah padanya."
Devan mengalihkan pandangannya, melemparkan tatapan dingin pada kakaknya yang duduk tepat di sebrang sana. Kenapa harus repot-repot bersikap baik, Demian selalu saja cerewet akan suatu hal. "Aku tidak janji."ucap Devan. Ia mendengus remeh. Menyendokan nasi ke dalam mulutnya lalu mengalihkan arah pandangnya kembali ke makanan.
"Suruh dia masuk."perintah Demian pada pria yang berdiri di belakangnya. Pria bersetelan jas hitam itu mengangguk. Lalu berjalan pergi menuju keluar ruangan.
Bibir Demian tersenyum tatkala melihat pengawal pribadinya kembali dengan calon pengawal adiknya yang baru. Ia mengalihkan pandangannya pada Devan yang masih menikmati makanannya.
"Nah Devan. Kakek. Kenalkan. Ini asisten sekaligus pengawal baru Devan. Namanya Keisha. Keisha perkenalkan dirimu."
Devan mengalihkan wajahnya cepat ke arah sisi kirinya. Dimana Keisha berdiri tepat di samping pengawal Demian. Wanita itu. Wanita yang memukulnya di Club, wanita yang berani memukulnya. Garis bawahi itu. Ia di sini. Menjadi pengawal pribadinya. kakaknya itu pasti sudah gila. Bagaimana bisa dia di sini. Wanita itu ada di hadapannya. Rambutnya di kuncir kuda, dengan setelan jas dan celana bahan hitam. Khas seorang pengawal.
Devan menatap Keisha tak percaya. Wanita itu seolah tersenyum licik padanya. Tatapannya seolah mengatakan.
'Kau mengingatku. Aku yang membuatmu malu di Club dengan memukul wajahmu menggunakan kakiku. Bagaimana rasanya. Kau mau merasakannya lagi untuk yang kedua'
Devan mengerjapkan kedua matanya. Mencoba mengusir bayang-bayang pemikiran gila itu. Ketika Devan beralih menatap Demian, pria itu juga sedang menatapnya dengan bibir tersenyum yang terlihat nampak menyebalkan. Bolehkah Devan memukul kakaknya sekarang juga, atau melemparkan piring di hadapannya ke arah pria itu sekarang. "Yak. Lelucon macam apa ini yang kau buat."protes Devan menatap Demian marah.
"Aku tidak sedang melucu brother."balas Demian tersenyum menyeringai menatap adiknya.
"Selamat pagi, nama saya Keisha. Saya akan menjadi asisten pribadi sekaligus pengawal tuan Devan. Saya akan berusaha keras untuk bekerja dengan baik."Keisha meninju dadanya dengan sebelah tangan terkepal, dan wajahnya menunjukan tekad yang kuat. Ketika Keisha melirik Devan ia tersenyum sinis sebelum akhirnya beralih menatap pria paruh baya yang duduk di antara Demian dan Devan. Keisha tersenyum padanya, membuat Devan tersentak kaget.
"Dia wanita. Apa tidak apa-apa?."tanya kakek pada Demian. Yang sudah-sudah Devan selalu memukul para pengawalnya dan Pria paruh baya itu sedikit khawatir jika Keisha akan terluka. Atau mendapat penganiayaan dari cucunya. Ia sadar cucu nya bukanlah pria baik yang selalu bersikap sopan pada siapapun.
"Kakek tidak perlu khawatir. Wanita ini sangat hebat. Mantan atlet bela diri. Jika Devan memukulnya. Ia dibebaskan dari rasa hormat untuk bisa kembali memukulnya kembali. Ini adalah fasilitas yang ia dapatkan sebagai pengawal wanita."
"Apa!."protes Devan menatap Demian tak percaya dengan kedua mata melebar memperotes apa yang Demian katakan.
"Devan bahkan sudah melihatnya sendiri bagaimana tendangannya adalah tendangan terbaik. Benarkan brother."Demian tersenyum menyeringai menatap Devan. Devan berdecak membalas tatapan kakaknya. Ia mengalihkan tatapannya, tak percaya saudara laki-lakinya bisa melakukan hal ini padanya.
Devan kembali menatap Demian. Lalu ia mengalihkan pandangannya ketika Demian masih menatapnya dengan senyum menyebalkan di wajahnya. Devan bangkit berdiri. Mengambil jasnya yang di sampirkan di kursi makan sebelahnya. Lalu menatap sang kakek dan mengangguk seolah pamit pergi dari sana lebih dulu, sebelum melenggang pergi meninggalkan ruang makan.
"Cepat pergi asisten baru. Aku tidak mau terlambat karena kau."perintah Devan ketika berjalan melewatinya.
"Baik. Permisi."Keisha membungkuk hormat pada Demian dan kakek sebelum pergi berlari menyusul Devan yang sudah lebih dulu pergi meninggalkannya.