BAB 1
Seorang wanita tengah berlari dengan sebuah gaun pernikahan di tangannya. Ia berlari dengan kencang dan terburu-buru akibat waktunya yang sudah terlalu mepet. Seseorang harus mendapatkan gaunnya kurang lebih 5 menit lagi. Untuk digunakan dalam sebuah pernikahan yang akan segera di langsungkan beberapa jam lagi.
"Permisi-permisi.. Tubuhnya meliuk-liuk melewati krumunan orang yang padat memenuhi jalan trotoar. Tidak peduli betapa pegalnya telapak kakinya yang terhentak-hentak di sepanjang jalan, ia tetap berjalan cepat menuju tempat tersebut.
Gaun itu terbungkus plastik. Ia harus segera membawanya. Ini sangat penting. Dan dia benar-benar harus menyelesaikan tugas ini.
DRRTT... DRRTTT...
Getaran ponsel dari dalam kantungnya ia abaikan, tidak ada waktu bahkan hanya untuk mengangkat telepon. Namanya Keisha. Ia bekerja di sebuah butik. Sudah 1 tahun. Dan dia melakukan pekerjaannya dengan baik. Berlari mengantar gaun seperti ini sudah terlalu sering ia lakukan.
"Permisi, ... maaf.... Maafkan aku... permisi ya. Beri aku lewat kumohon."
***
Seorang wanita menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya sudah terhias dengan make up natural. Pengantin wanita yang sangat cantik. Rambut coklat bergelombang ia gulung. Dan dijepit dengan sebuah jepit bunga yang berwarna merah muda. Tinggal gaun pernikahan yang harus ia kenakan.
"Kau sangat cantik."puji si penata rias pada sang pengantin wanita.
Wanita itu tersenyum. Ia beralih memandang cermin kembali. Ia menyetujuinya. Ia suka riasannya. Bagaimana make up itu terasa pas menghiasi wajahnya. Hari ini adalah hari yang paling bahagia baginya. Sudah lama Yura ingin menhikah dan melepaskan masa lajangnya untuk seseorang. Kini ia akan segera mewujudkannya.
Tiba-tiba pintu nya di dobrak paksa. Membuat kedua orang itu beralih menatap ke arah pintu. Sosok pria bersetelan tuxedo hitam dan dasi kupu-kupu berwarna Yurada nampak berdiri di ambang pintu dengan wajah marah dan tatapan tajam.
"Kau keberatan dengan pernikahan ini. Itulah jawaban yang harus kau katakan."ucapnya, dahi Yura menyerngit, menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Kau seharusnya tidak boleh masuk ke sini."ucap penata rias itu tajam. Menatap marah pria itu.
Yura berdiri memantung menghadap ke arahnya. Menatap pria itu dengan wajah sendu. Pria yang ia cintai. Tapi pada kenyataannya. Pria yang melamarnya adalah kakaknya. Pria ini begitu pengecut. Dan terlalu bermain-main Yura tak suka. Bagaimana ia tak benar-benar menyatakan perasaannya padanya.
Membuat Yura merasa ia tak mencintainya. Itulah sebabnya Yura menerima lamaran kakaknya. Yang jelas akan menikahinya. Bukan hanya bermain-main dengannya.
Devan. Nama pria itu yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang ia sukai sejak berada di bangku SMA. Yura selalu berada di sisi Devan bahkan hingga kuliah. Tapi pria itu tak pernah ingin menyatakan perasaannya padanya. Atau menjadikan status mereka jelas jika mereka berpacaran.
"Kau tidak menyukai Demian. Kenapa menerima perjodohan ini -HUH!."gertakan keras meluncur melewati bibir pria itu. Rahangnya mengeras, dan tatapannya terlihat marah.
"Lalu aku harus apa. Menunggumu. Sampai kapan. Lebih baik aku menikah dengan pria yang mencintaiku."
"Lupakan aku. Dan pergilah. Jangan kacaukan hidupku lagi. Akan lebih baik jika kita melupakan semuanya. Dan bersikap seperti kita tidak saling mengenal."
"Aku tidak mau mengingatmu lagi."
Kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya mengepal dengan erat. Rahangnya membentuk garis keras. Sesuatu di dalam sana seolah retak dan retakan itu membuatnya merasakan rasa sakit yang luar biasa. "Jadi beginikah akhirnya."
Wanita itu menatapnya tak kalah tajam. Ia tak takut. Pria itu tak pernah membuatnya takut sedikitpun. "Ya. Inilah akhirnya."ucap Yura penuh kematangan.
Devan membalikan tubuhnya. Ia berlalu pergi dari sana. Tubuhnya menegang. Merasakan rasa sakit dan hancur karena di campakan wanita nya.
Wanita yang selalu berada di sisinya pergi meninggalkannya untuk pria lain. Rasa sakit hati itu. Beginikah. Devan rasa ini pertama kalinya ia merasakannya.
***
Devan berjalan pergi dari Hotel dimana pernikahan kakaknya akan digelar di sana.
Langkahnya terhenti dan tiba-tiba menoleh ke belakangnya. Menatap ke dalam Gedung tersebut. Dimana meja, kursi dan semua dekorasi pernikahan itu sudah tertata dengan baik. Terlihat sangat mewah dan mengagumkan.
Kepalan tangannya makin mengerat. Devan mengeram. Lalu berbalik pergi. Hingga tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang wanita dengan sebuah gaun di tangannya.
Alis Devan mengeryit. Menatap gaun tersebut. Wanita itu terlihat sedang bertanya pada seorang keamanan untuk mengantarnya.
Tak lama wanita itu pergi ke arah dimana Yura berada. Devan tersenyum sinis. Ia mengambil segelas kopi yang berada di atas meja petugas keamanan.
Mengambilnya tanpa ketahuan, lalu menyusul pergi ke arah wanita si pengantar gaun.
"BERHENTI DI SANA PENGANTAR GAUN."teriaknya. Wanita pengantar gaun (Keisha) menghentikan langkahnya. Tubuhnya berbalik dan mendapati Devan yang tengah berjalan ke arahnya dengan senyuman ramah.
"Ya Tuan."Ia menatap Devan bingung.
"Kau ingin mengantar gaun ini ya?."seketika Keisha mengangguk menjawab pertanyaan Devan.
"Untuk Nona Yura."
"Bisa ku lihat?."Tanya Devan.
Alis Keisha bertaut bingung. Apa dia petugas penerima. Atau si pengantin pria. Hal itu berputar di kepala Keisha.
Tapi ia malah tetap menunjukannya dan seketika kedua matanya membulat sempurna ketika cairan hitam pekat itu mengalir memasuki celah di dekat gantungan dengan mudah, dan menghiasi gaun putih itu yang menciptakan noda hitam dan sukses membuat mulut Keisha ternganga melihatnya.
"APA YANG KAU LAKUKAN!."Teriak Keisha heboh dan menarik gaunnya. Mendadak Keisha berubah panik. Ia mencoba menepuk-nepuk nya seolah menghilang kan debu dari sana. Tapi cairan itu malah semakin tercetak jelas di gaunnya.
"KAU!."
Pria itu hanya tersenyum sinis lalu berlalu pergi dari sana begitu saja setelah melempar gelas kopi itu.
"KAU HARUS TANGGUNG JAWAB."
"Ada apa ini!."tiba-tiba seorang pria bersetelan tuxedo dan seorang wanita datang menghampirinya.
"Ini... Dia.. Pria itu. Menumpahkan. Dia.. "Keisha tergagap. Kepanikan. Rasa marah. Sedih. Takut. Menerjangnya bagai badai halilintar dahsyat yang menggebu-gebu.
"Dia siapa?."pria dan wanita itu menatap ke arah yang ditunjuk Keisha dan pada Keisha secara bergantian.
Tidak ada siapapun. Dan Keisha merasa ketakutan. Pria itu berjalan dengan begitu cepat. Bagaimana caranya Keisha menjelaskan hal ini pada mereka.
"Ini bukan salahku!."raut wajah Keisha berubah ketakutan. Air mata mengenang di pelupuk seraya menunjukan gaunnya.
"Ya tuhan gaunnya."wanita itu terkejut bukan main. Melihat noda kehitaman mengenai gaunnya.
"Maafkan aku. Ini bukan salahku. Sungguh. Tadi ada pria yang menuangkan kopinya secara sengaja. Maafkan aku. Ini bukan salahku."
Pria itu menatap Keisha dengan kedua mata menyipit. Jelas ia tak suka kejadian ini. Keisha adalah pengantar. Jelas dia bertanggung jawab sepenuhnya dalam mengantar gaun itu dengan selamat tanpa ada apapun, hal sekecil apapun yang dapat membuat gaun itu rusak.
"Ikut saya."ucap pria itu tegas, jelas terlihat begitu marah. Hal itu membuat Keisha semakin takut.
***
Keisha dibawa ke sebuah ruangan. Ia berdiri di sana dengan gelisah. Tubunya bergetar. Kedua tangannya yang saling bertaut kini bergetar, meremas karena ketakutan. Gaun yang terkena tumpahan kopi itu menggantung di lengannya.
Ini tetap saja salahnya. Ia tidak bisa menjaga gaun itu dengan baik. Berkali-kali Keisha menyalahkan dirinya sendiri. Bahkan memberikan sumpah serapah pada pria itu.
Seharusnya ia tidak menunjukannya. Seharusnya Keisha bisa mengantarnya dengan baik ke sini tanpa merusaknya. Seharusnya ia tidak sebodoh itu.
Keisha sangat ketakutan. Ini pasti akan berakibat fatal, untuk dirinya, untuk Toko tempatnya bekerja. Dan nama baik Toko. Dia pasti akan di pecat. Keisha harus bagaimana sekarang.
Tak lama seorang pria bertuxedo putih masuk. Keisha langsung menyeka air matanya. Keisha yakin ia adalah pengantin pria nya. Pria itu tinggi. Berambut coklat. Wajahnya terlihat seperti pria baik-baik walau agak dingin.
Pria itu beralih menatap gaunnya. Lalu ke arah Keisha yang tertunduk. Dengan sisa-sisa air mata di wajahnya. Wanita berambut hitam, rambutnya di kuncir kuda, dengan sedikit poni di keningnya.
"Gaunnya tertumpah kopi. Bagaimana tuan. Pernikahannya tinggal setengah jam lagi."ucap wanita yang tadi menemukan Keisha dengan panik ke sang pengantin pria.
Keisha mendongak. Lalu berjalan menghampiri sang pengantin pria. Ia berlutut di hadapannya dengan wajah tertunduk.
Air mata melesak. Keluar membasahi wajahnya.
"Maafkan saya tuan. Saya benar-benar minta maaf,"Ucap Keisha memohon.
"Tolong maafkan saya."
Pria itu hanya terdiam. Menatap Keisha yang berlutut di hadapannya. Lalu ia membuang wajahnya ke arah lain. Ini benar-benar kacau. Dan dia tahu siapa yang melakukannya walau tak perlu harus repot-repot melihat cctv untuk mengetahuinya.
Ia melirik ke arah wanita itu. "Pergi ke Butik lainnya, dan beli gaun apapun yang sedikit mirip dengan yang itu. Di Toko Gaun terdekat di Hotel ini. Kau mengerti."
"Baik tuan."wanita itu menatap Keisha sebentar sinis, sebelum berlari keluar dari sana dengan cepat.
Pria itu kembali menatap Keisha yang masih berlutut dengan kepala tertunduk.
"Bangunlah."
"Maafkan saya tuan."ucap Keisha lagi.
"Bangunlah. Sekarang. Kau bisa kembali. Dan bawa gaun itu. Kami tidak memerlukannya lagi."
Keisha memejamkan matanya erat. Giginya mengetat. Merasa bom atom baru saja meledak di kepalanya. Kini ketakutannya berganti ke tempat lain.
Keisha menggigit bibir bawahnya. Air mata kembali menetes di wajahnya. Tubuhnya bergetar. Keisha menyeka air matanya. Lalu tubuhnya bangkit berdiri. Masih dengan kepala yang terus tertunduk.
"Sekali lagi maafkan saya tuan."ucapnya lagi sebelum pergi dari sana dengan tubuh lemas dengan langkah gontai.
Demian. Kakak dari Devan. Pria yang dengan sengaja nya menumpahkan kopi ke gaun calon istrinya itu.
Ia menatap kepergian Keisha. Wanita itu harus menanggung hal ini karena adiknya.
"Devan."geramnya marah.
***
BRUKK!!
Keisha di dorong keluar dari Butik tempatnya bekerja. Ia jatuh tersungkur ke jalan trotoar karena Nyonya Marissa seorang wanita berumur 35 tahunan. Si pemilik Butik itu mendorongnya.
"Pergi kau. Kau di pecat. Dasar wanita bodoh. Kau membuatku rugi kau tahu itu."
"PERGI DAN JANGAN MUNCUL LAGI DI HADAPANKU."teriaknya geram.
Ketika nyonya Marissa ingin kembali masuk, Keisha menyeret tubuhnya dan memeluk tubuh Nyonya Marissa.
Ia menangis. Mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang mudah di Kota seperti ini. Dan Keisha sudah merasa nyaman bekerja di sana. Keisha harus mendapat pekerjaan. Keisha tidak bisa di pecat seperti ini. Keisha tidak mau.
"Maafkan saya Nyonya Marissa. Tolong beri saya kesempatan lagi. Saya tidak akan mengacaukannya lagi. Saya akan berusaha lebih berhati-hati hiks... Hiks.. "
Nyonya Marissa menghentakkan kakinya dan mendorong Keisha hingga kembali jatuh tersungkur. Lalu ia kembali masuk ke dalam Butik meninggalkan Keisha begitu saja.Petir menggelegar. Dan Hujan turun membasahi Kota. Seolah ikut menangisi apa yang baru saja terjadi menimpa Keisha.
Keisha menangis. Terduduk di depan pintu Butik. Ia baru saja kehilangan pekerjaan nya.Dan semua ini karena pria itu. Keisha berjanji. Jika Keisha bertemu dengannya lagi Keisha akan membuat perhitungan dengannya.
TBC