Chapter 2

1090 Words
"Then it hits you so much harder than you ever thought it would" "Aleina, Is she my daughter?" tanya Adrian yang akhirnya melepaskan rasa penasarannya. Aleina tidak menjawab. Ia pura-pura sibuk dengan mengeluarkan ponselnya, lalu melakukan sesuatu pada ponsel itu. Ia lalu mengambil tas Alisa di kursi, dan menggenggam tangan anaknya. "Saya pergi dulu, Mba, Mas. Terima kasih sudah menjemput Alisa." "Kamu mau kemana, Al?" Safira bertanya bingung. Ini tidak seperti apa yang Ia harapkan. Aleina belum sempat menjawab pertanyaan Safira, Adrian langsung berdiri dari kursinya dan berkata, "Aku antar, ada yang mau aku omongin sama kamu, Al." Laki-laki itu menoleh ke arah Alisa. "Tentang Alisa." Aleina menarik nafas lega ketika sebuah taksi memasuki halaman parkir Cafe Tara.  Saved by the taxi. Ia tidak mau berada satu mobil dengan laki-laki itu, ia bahkan belum siap bertemu dengan laki-laki itu lagi.  "Taksi saya sudah datang. Kita bisa bicara lain kali. Saya permisi dulu Mba, Mas, Selamat siang." Aleina menggandeng tangan Alisa dan mereka berjalan keluar Cafe Tara.  Tanpa menunggu lama, Adrian langsung meraih kunci mobil serta dompetnya yang Ia letakkan di meja dan langsung mengikuti mereka begitu Aleina meninggalkan mejanya. Ia berjalan dengan cepat mendahului Aleina dan Alisa  lalu menghampiri sebuah taksi biru yang sudah berada di depan Cafe. "Saya cancel taksinya," Adrian menyerobot dan langsung berbicara melalui jendela mobil. Ia mengeluarkan tiga lembar uang dari dompet yang Ia genggam dan memberikan semuannya kepada pengemudi supir itu. "Mas Adrian!" desis Aleina tidak terima. "Aku kan sudah bilang tadi, aku antar kamu." Adrian berkata dengan tenang, sementara Aleina gusar sekali. "Yuk, mobil aku disana."  Aleina tidak bergerak, dan saat Adrian hendak menarik tangannya, Ia langsung menepisnya. “Oh come on, Al.” Dengan malas Aleina sambil menggandeng tangan Alisa berjalan kearah mobil paling mewah yang terparkir disini. Adrian berjalan mengikuti di belakang mereka, memastikan Aleina tidak kabur dan berjalan menuju mobilnya. Ketika mereka sudah di sebelah sedan hitam milik Adrian, Ia membukakan pintu untuk Aleina.  "Saya bisa sendiri," Aleina berkata dengan sinis. Adrian tidak berkata apa-apa. Ia berdiri dengan sabar, menunggu sampai Aleina benar-benar masuk mobil lalu menutup pintunya sebelum membuka pintu belakang untuk AIisa.  "Makasih Om," ujar anak itu dengan manis membuat senyum Adrian mengembang otomatis dan mengangguk. -- Aleina ingin sekali keluar dari mobil yang saat ini sedang ia naiki. Kalau saja jalanan macet dan ia bisa keluar mobil dengan selamat, ia yakin, Ia akan melompat keluar dari sini. "Alisa sudah makan?" Adrian menoleh ke kaca spion untuk melihat anak perempuannya yang sedang duduk dengan tenang di kursi bagian belakang. Ia tidak mempunyai kursi khusus untuk anak kecil duduk di mobil, dan Ia berencana akan membelinya malam ini. "Sudah, Om." "Perut kamu masih muat nggak? Karena Om tahu tempat buat makan coklat dan pasta yang paling enak di Malang. Kamu mau?" Tidak, Adrian tidak tahu apa-apa tentang Malang. Tapi apalagi yang bisa menahan Aleina dan Alisa agar lebih lama bersamanya selain coklat? Adrian browsing dengan sebelah tangannya mengenai restoran ini. "Saya dan Alisa mau pulang,” ujar Aleina dan hendak protes, namun anaknya langsung berteriak,  "Mau om!" "Alisa mau makan dulu, Alley." Setelah mengetahui restoran yang akan dituju, Adrian meletakkan ponselnya dan melayangkan senyum kemenangan. "Mengalah sedikit ya." -- Adrian membuka pintu mobil untuk Alisa dan langsung menggendong anak itu begitu mereka sampai di parkiran rumah makan yang Ia temukan dari internet. Penampilan luar restoran sangat unik bertemakan anak-anak. Semoga saja Ia tidak salah memilih restoran. "Dia bisa jalan," Aleina berkata dengan sinis. Alisa yang seakan mengerti situasi malah mempererat pelukannya di gendongan Adrian seakan tidak mau lepas dari laki-laki itu dan masuk ke dalam restoran. "Alisa, makan ini dulu ya sebelum kita makan coklat."  Adrian menunjuk deretan makanan seperti sosis, telur, pasta, yang tersedia meja. Alisa mengangguk patuh. Mereka tidak bisa mengobrol banyak ketika di restoran. Adrian sibuk membantu Alisa untuk makan di restoran buffet itu. Sebelumnya, ia membiarkan Alisa dan Aleina duduk sementara ia berkeliling mengambil makanan untuk mereka bertiga. "Om Adrian, Ali mau sosis." Adrian mengambilkan sepotong sosis dan meletakkannya di piring Alisa "Om, Ali mau spaghetti" "Om, sosisnya panas." Adrian mengambil kembali sosis yang berada di piring Alisa, meletakkan di piringnya, dan memotong sosis itu menjadi beberapa bagian kecil. "Om Adriannya juga kan mau makan, Ali," ujar Aleina lembut sambil mengelap sisa makanan yang menempel di pipi anak perempuannya. "Tapi Ali nggak bisa makan kalau sosisnya panas, Ma." "Tunggu dulu sampai dingin dulu sebentar ya, sayang.” Adrian mengembalikan sosis Alisa yang sudah menjadi potongan-potongan kecil. "Om, mie Ali kok hilang?" "Kan tadi udah Ali makan." Adrian tertawa geli. Ya tuhan, anaknya sangat pintar. Sayang sekali ia melewatkan pertumbuhan anak perempuannya. "Air mancur coklatnya dimana, Om?" "Disebelah sana, Ali. Nanti kesana sama Om ya." Alisa mengangguk. Ia duduk tenang sambil menyapukan pandangannya ke seluruh bagian restoran ini. Adrian menghabiskan air di gelasnya. "Yuk, kita liat air mancur coklatnya." Adrian berdiri dan membawa anak itu ke pelukannya meninggalkan Aleina sendiri di meja makan. -- "Alisa tidur?" Aleina menoleh ke kursi bagian belakang. "Iya." "Kenapa kamu bekerja, Al?" Aleina mengeritkan dahinya. Aneh sekali pertanyaan laki-laki ini. "Karena aku butuh makan dan untuk membeli makan aku butuh uang." "Tapi aku mengirimimu uang setiap bulan." "Uang kamu masih utuh di aku. Nanti aku kembalikan." "Bukan begitu maksud aku, Al. Ini yang kamu mau? Uang?" Adrian mengangkat sebelah alisnya. "Sebenarnya apa sih yang membuat Mas berpikir kalau semua ini karena uang?" Aleina merasa kesal karena Adrian benar-benar merendahkannya. Kalau saja Alisa tidak ada, Ia sudah berteriak sekarang. "Mas sendiri kan yang tiba-tiba mau nikahin aku?" "Dan kenapa kamu tiba-tiba hamil disaat kontrak pernikahan kita sudah mau habis?" "Karena mas meniduriku!" "Kita sudah sepakat untuk tidak membuat kamu hamil, kan? Aku sudah membelikanmu pil yang seharusnya kamu minum.” "Waktu itu mas mabuk dan meniduriku sebelum aku sempat meminum pilnya. Aku nggak mau jelasin apa-apa. Aku nggak butuh Mas dan uang Mas." “Aleina, kamu tahu bukan itu maksud aku…” Aleina tidak berbicara apapun sampai mereka tiba di rumah kecil mereka. Sebisa mungkin Ia menahan tangisnya. "Sebentar," Aleina turun dari mobil begitu mobil yang dikendarai Adrian berenti dan membuka pintu mobil belakang. "Aku aja yang gendong Alisa." "Nggak usah," desis Aleina. Ia menggendong Alisa ke dalam rumahnya dan keluar lagi tidak lama kemudian dengan membawa sebuah kartu. "Jangan usik aku dan Alisa.” Ia memberikan kartu itu dan langsung masuk ke dalam rumahnya. Kartu yang dulu Ia berikan pada Aleina sehari setelah mereka menikah. Adrian memandang punggung Aleina yang berjalan masuk ke dalam rumah mungil itu. What did I do? Ia bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada anaknya. --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD