13. Nyonya Nugraha

1141 Words
Bima Alexis Nugraha. Nama itu terngiang-ngiang di kepala Dea, sejak pertama ia membuka matanya. Mengingatkannya akan tantangan bodohnya semalam, yang berakhir sangat memalukan, dengan dirinya yang justru meneriakkan nama Bima. Bima. Hanya dengan mengingat namanya saja, mampu membuat gadis itu menghela napas panjangnya berulang kali. Dea bisa merasakan rasa panas yang seketika menjalari kedua pipinya. Rasa malu yang teramat-sangat, mengalahkan rasa kesal dan bencinya selama ini pada Bima. Pria itu sudah membuatnya bertekuk-lutut, seketika. Tanpa mampu menyerukan keberatannya. Tanpa mampu meneriakkan protesnya, akan kekalahan telaknya untuk mengembalikan Nathan dalam kehidupannya. Semula, ia hanya ingin melampiaskan rasa kesalnya saja. Ingin membuat Bima menyesal, karena telah membuatnya benar-benar kehilangan Nathan, sore itu. Dea merasa marah, mendapati hubungannya dengan Nathan yang harus berakhir begitu saja, karena Bima yang bersikeras ingin menikahi dirinya. Namun, alih-alih mendapatkan pembalasan seperti yang dia inginkan, Dea justru mendapati dirinya yang dengan begitu bodohnya, telah membiarkan Bima melihat dan menyentuh setiap lekuk tubuhnya. Dan mengingatnya, rasanya, Dea ingin membenamkan dirinya saja! Ia benar-benar tidak tahu, harus bagaimana menghadapi Bima, jika mereka bertemu nanti. Setelah apa yang mereka lakukan semalam, ia sangat yakin, jika Bima pasti akan semakin besar kepala sekarang. Merasa semakin di atas angin, karena telah berhasil menaklukkan dirinya. Membuat Dea benar-benar merutuki kebodohan dirinya yang satu itu. Ck. Dea kembali termenung. Memandangi setiap percikan air, yang ia mainkan dengan kedua kakinya, dari tepian kolam. Matanya menerawang, menatap gelombang-gelombang kecil yang ia ciptakan dengan gerakan kedua kakinya. "Pagi-pagi udah ngelamun!" Vano datang dan mencomot kentang goreng yang terdapat di atas sebuah piring kecil, di samping Dea. Memasang muka bantalnya. "Ngelamunin apa, sih?" tanya Vano. "Bima?" Kedua bola mata Dea seketika saja melotot. Memandang kakaknya yang selalu saja menyebalkan, di saat yang tidak tepat. Vano sudah pulang sejak semalam. Sesaat, sebelum Bima memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Putra pertama dari keluarga Mananta itu, memang lebih banyak menghabiskan waktunya di Rumah Sakit, ketimbang di rumah. Vano memegang kendali penuh, Rumah Sakit keluarga. Menggantikan peran Daniel Mananta sebagai Pendiri pertama, sekaligus Pemegang saham terbesar di sana. "Gue nggak nyangka, ternyata kalian benar-benar akan menikah," ucap Vano, disertai kekeh gelinya. "Padahal, dari kecil kalian selalu aja berantem kalau lagi bareng. Jodoh emang nggak ke mana!" Satu tepukan tangan pun melayang, pada lengan kiri Vano. Dea memelototinya dengan tajam. "Bisa nggak sih, sehari aja nggak ngegangguin gue?!" umpat Dea, kesal pada kakaknya. Vano terkekeh. "Gue baru sadar aja, ternyata adek gue udah bener-bener gedhe sekarang!" tukas Vano, sembari menarik ujung hidung Dea, membuat pemiliknya mencebik. "Pergi, sana!" usir Dea, gemas. Angguk-angguk kepala ringan, Vano pun lantas mencomot kembali sepotong kentang. Kemudian berlalu, dengan tawa berderai yang terdengar begitu menjengkelkan di telinga Dea. Gadis itu mendengkus. Merasa tubuhnya gerah, hanya dengan memikirkan Bima saja. Bima benar-benar berhasil, menguras emosinya. Dasar, Bima! Dea pun memutuskan untuk melepaskan piyama tidurnya. Menyisakan bra dan hot pants, yang membalut bagian-bagian penting tubuhnya. Hari ini, week-end. Maka, sesuai dengan rencananya, ia ingin menghabiskan waktunya untuk bermalas-malasan di rumah saja, sebelum sore menjelang. Karena seperti yang sudah ia janjikan sebelumnya, sore ini ia akan menemani Bertha untuk mengisi acara arisan di kediaman Nugraha. Berbicara soal Bertha, calon mertua Dea itu rupanya meninggalkan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab pada ponsel Dea. Mempertanyakan kepergiannya yang tiba-tiba, yang baru sempat ia balas tadi pagi, selepas Dea terbangun dari tidur panjangnya. Yang hanya mampu dijawab oleh Dea, dengan beralasan bahwa ia tak sengaja bertemu dengan teman lamanya. Ckckck. Byurrr ...! Gadis itu melompat, menceburkan dirinya ke dalam air. Menenggelamkan tubuhnya, lantas menggerakkan kedua kaki dan tangannya secara bebas dan bergantian. Memutari sekeliling kolam renang, yang terletak di halaman belakang rumahnya itu. Berenang di pagi hari, biasanya mampu membuat ia merasa menjadi lebih baik. Meluruhkan segala lelah dan penat, yang menghinggapi tubuhnya akibat aktivitas yang padat. Dea terus mengayunkan tubuhnya. Bergerak memutari kolam berulang kali, hingga ia merasa bahwa napasnya mulai terasa tersengal. Hingga tak lama kemudian, gadis itu memutuskan untuk benar-benar berhenti. Meraih pinggiran kolam, menyembulkan kepalanya, lalu menyeka sebagian air yang masih tampak membasahi wajahnya. Gadis itu lantas terlihat menyugar rambut panjangnya yang terurai mengambang, di sekitar sisi tubuhnya. Mengatur napasnya sejenak, lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah kolam renang. Menyandarkan punggung putihnya pada tepian kolam, dengan kedua tangan terbentang pada masing-masing sisi tubuhnya. Sebelum akhirnya matanya menangkap bayangan familiar seseorang, yang tampak berdiri menjulang di pinggiran kolam sana. Sedang menatap dirinya, dengan masing-masing tangan terselip di balik kedua saku celana. Bima. Pria itu tampak lebih segar, pagi ini. Dengan setelan celana jeans dan kaus putih, dipadukan dengan jas berwarna abu-abu yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Terlihat lebih kasual, dari biasanya. Wajah Bima tampak segar, dengan rambut yang tersisir rapi ke belakang. Mencetak jelas, bentuk wajahnya. Menambah kesan maskulin, yang melekat pada dirinya. "Kamu?!" Dea membesarkan kedua bola matanya, dengan seketika. "Kamu ngapain, di sini?!" pekik gadis itu kemudian. "Menikmati pemandangan." "Menikmati pemandangan?!" geram Dea. Gadis itu tak bisa melanjutkan kata-katanya. Menenggelamkan tubuhnya seketika, hingga sebatas leher. Sementara kedua tangannya tampak bergerak spontan menutupi dadànya. Membuat Bima tersenyum geli, karenanya. Pria itu lalu tampak berjalan memutar. Meraih sebuah handuk yang terdapat di kursi malas, di pinggiran kolam. Lantas mengayunkan langkah kakinya, mendekati Dea. "Kemarilah!" tukas Bima, seraya mengulurkan tangan kanannya. Menawarkan sebuah handuk, yang terdapat pada tangan kirinya. Untuk sesaat, Dea hanya terdiam. Menimbang sejenak, antara menerima tawaran handuk itu, atau tidak. Ia merasa malu, jika harus berhadapan langsung dengan Bima, setelah apa yang mereka lakukan semalam. Tapi .... Ia membutuhkannya. Karena tidak mungkin, jika ia menghabiskan waktunya dengan merendam diri di dalam kolam dengan air sejernih itu, sementara Bima berdiri di atas sana, mengamati dirinya. Sama saja dengan menyuguhkan pemandangan untuk Bima, secara cuma-cuma. Pada akhirnya, Dea pun memutuskan untuk menerimanya. Menerima uluran tangan Bima, yang lantas menyambut dan menarik dirinya. Memberikan sehelai handuk, untuknya. "Terima kasih," ucap Dea. Bima tersenyum. Memaku gadisnya, yang tampak malu-malu. Sementara Dea, bergegas melilitkan handuk penyelamat itu, pada sekitar tubuhnya. "Aku bahkan sudah melihat lebih dari ini, Mrs. Nugraha." Bima berbisik, tepat pada samping telinga Dea. Membuat gadis itu meremang, seketika. Dea memalingkan wajahnya. Tanpa mampu membalas sedikit pun, tatapan mata Bima padanya. Merasa benar-benar kehilangan nyalinya, sekarang. Kehilangan keberanian, walau hanya untuk sekadar menjawab perkataan Bima seperti biasanya. Gadis itu benar-benar tak habis pikir. Ternyata, satu sentuhan tangan Bima mampu membuat dirinya sampai pada titik ini. Sebuah titik, di mana ia hanya bisa terdiam, tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun, dari mulutnya. Bahkan untuk sekadar membalas tatapan mata Bima, padanya. Ia merasa terlampau .... Malu. "Eh, calon Adek ipar udah dateng, nih!" seru Vano. Memecah kesunyian, yang tercipta di antara Dea dan Bima. "Udah lama, datengnya?" tanya Vano kemudian, sembari menepuk kecil pundak Bima, menggunakan tangan kanannya. Bima tampak mengendikkan bahunya, ringan. "Baru saja!" jawabnya. "Oke. Mau berangkat sekarang?" tanya Vano. Yang lantas dibalas dengan sebuah anggukan kepala, oleh Bima. "Gue siap-siap dulu, ya!" Vano pun menepuk pelan bahu Bima. Sebelum kemudian tampak berlalu memasuki rumah, meninggalkan Dea dan Bima berdua saja di sana. Dea terlihat tengah mengelap tubuhnya yang basah, ketika si detik selanjutnya, gadis itu mendapati Bima mendekati dirinya dan berkata. "Selamat pagi, Nyonya Nugraha." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD