12. Menyenangkanmu

994 Words
Bima dan Dea sampai di kediaman Mananta, saat jam menunjukkan pukul delapan malam. Mobil itu memasuki gerbang, dengan perlahan. Lalu berhenti di garasi samping, yang tampak masih menyisakan beberapa ruang di sana. Menandakan bahwa Vano belum pulang dari dinasnya. Dea melepaskan seat belt-nya, lalu turun dari mobil. Diikuti dengan Bima, yang membawa serta tas kerja Dea dari atas dashboard mobilnya. Dea meninggalkan tas kerjanya begitu saja di meja kafe, begitu ia menemukan sosok Nathan di sana. Dan tas itu menunjukkan, bahwa Bima sudah menyusulnya ke sana. Sebelum akhirnya mendapati dirinya dan Nathan yang sedang bertengkar di salah satu sudut parkir mall, yang terletak tak jauh dari kantor MBC itu. Di sepanjang sisa perjalanan mereka, tak ada lagi yang mereka bicarakan. Membuat perjalanan itu terasa begitu lama, di mata Dea. Gadis itu diam membisu. Memikirkan maksud perkataan Bima pada Nathan. Membuat ia bertanya-tanya, apa saja yang selama ini mereka sembunyikan darinya. Apa saja yang telah luput dari penglihatannya. Memikirkannya, membuat kepala Dea seketika berdenyut pening. Terlebih dirinya belum mengisi perutnya, semenjak jam makan siang. Dan, satu hal yang Dea tahu. Bima tidak akan mengatakan apa pun, padanya. Dea lalu melangkahkan kakinya memasuki rumah. Mendapati Monika yang tampak menyambut kedatangan mereka di ruang tamu. "Kok pulang telat, Sayang?" "Emangnya belum dapet menu yang pas, buat arisan?" tanya Monika. Mengisyaratkan, bahwa Bertha sudah menghubungi dirinya. "Udah, Ma." "Eh, kok kalian basah kuyup gini, sih? Abis ujan-ujanan?" tanya Monika lagi. "Iya, Tante. Tadi di sana sempet ujan gedhe. Tempat parkirnya lumayan jauh, jadi basah gini," sahut Bima, menutupi. "Oh ... gitu. Ya udah, cepet ganti baju dulu gih, sana. Nanti masuk angin, lagi!" saran Monika. Mengabaikan mamanya yang sedang beramah-tamah dengan Bima, Dea lalu melanjutkan langkah kakinya menapaki anak tangga menuju kamarnya. Dan membuka pintu kamar itu, begitu ia sampai di sana. Gadis itu lalu melepaskan sepatu kerjanya dengan asal. Meninggalkannya begitu saja, tercecer di lantai kamarnya. Mengabaikan keadaan dirinya yang masih basah dan berantakan, ia lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar di atas ranjang. Membiarkan kaki telanjangnya terjuntai ke bawah, menyentuh dinginnya lantai kamarnya. Meresapi setiap rasa dingin, yang kini tengah menyelimuti dirinya. Dea memejamkan matanya. Mencoba mengingat, setiap kata yang telah Nathan ucapkan padanya. Membuatnya menyadari satu hal. Pria itu sudah berubah. Sudah tak lagi menyayanginya dengan tulus, seperti dulu. Sudah tak lagi menginginkannya. Meninggalkan rasa sesak dan pilu yang begitu nyata, di sudut hati Dea. Mungkin Nathan marah padanya. Mungkin juga tidak bisa memaafkannya. Dan penyebab semua itu adalah Bima. Hanya Bima. Ceklek! Suara daun pintu yang terbuka, seketika menyadarkan lamunan singkat Dea. Membawa serta seberkas cahaya yang masuk, seiring dengan bunyi derap langkah kaki seseorang, yang lantas memasuki kamarnya. Hingga tak lama setelahnya, tampak pintu itu yang terdengar ditutup kembali. Disusul dengan sebuah pertanyaan, yang menginterupsi pendengaran Dea dari atas ranjangnya. "Kamu tidak menyalakan lampunya?" Dea bergeming. "Dea, ayo kita makan malam." Gadis itu tampak masih bergeming. "Dea, apa kamu tidak mengganti bajumu?" Pertanyaan demi pertanyaan terdengar, tanpa ada satu pun yang terjawab oleh bibir mungil Dea. Lalu, terdengar derap langkah kaki yang begitu tergesa, menghampiri dirinya. Meletakkan sesuatu di atas meja, kemudian dengan serta merta menggapai, dan menarik dirinya terbangun dari atas ranjangnya. Membuat Dea seketika membuka matanya. Dan mendapati Bima, yang tampak berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu terlihat sudah mengganti pakaiannya, dengan celana panjang santai dan kaos berlengan pendek. Menampakkan dadà bidangnya yang kekar dan otot lengannya yang besar. "Bangun, Dea. Ganti bajumu. Kamu bisa sakit, jika begini. Mari kita makan malam." Gadis itu tetap bergeming. "Dea, gantilah bajumu. Ayo kita makan malam." Dea menyentakkan tangannya. Melepaskan dirinya dari cekalan tangan Bima. "Apa hakmu?" tanyanya. "Apa karena kamu adalah calon suamiku?" lanjutnya, kemudian. Dea menarik sudut bibirnya. Menengadahkan kepala, menangkap bayangan Bima yang tampak samar dari tempat ia duduk, di sisi ranjang. "Apa kamu selalu memperlakukan setiap orang seperti ini? Semaumu sendiri, Tuan Bima?" sinis Dea. "Katakan padaku. Apa saja yang harus kulakukan untuk bisa menyenangkanmu, hmm?" imbuh gadis itu, dengan mata berkaca-kaca. Bima terdiam. "Kamu ingin aku mengganti bajuku?" tanya Dea kembali, dengan nada sarkas. "Di depanmu, hmm?" Dea pun beranjak dari ranjangnya. Berdiri tepat di hadapan Bima, dengan wajah menengadah. "Aku akan melakukannya, Tuan Bima yang Terhormat!" tukasnya sembari menyeringai, disertai dengan tatapan tajam. Dan, Dea benar-benar melakukannya. Ia menarik mundur, langkah kakinya. Memberi jarak, antara dirinya dengan Bima. Lalu, tangan itu bergerak ke atas. Menggapai barisan kancing kemeja, yang melekat pada tubuhnya. Perlahan tapi pasti, jari-jari lentik itu bergerak mengeluarkan setiap kancing dari lubangnya. Satu-persatu. Dengan gerakan yang begitu lamban, seolah ingin menyiksa sepasang mata Bima yang menatap lurus padanya. Kemeja itu membuka. Terlepas. Teronggok tak berdaya, di atas lantai. Membuat Bima mengatupkan rahangnya dengan keras. Tapi, Dea tidak berhenti sampai di sana. Gadis itu lalu membawa tangannya ke belakang punggungnya. Menarik kaitan bra hitamnya, lalu meloloskannya terjatuh begitu saja, menyusul kemejanya. Menyajikan sepasang payudarà putih yang montok, di antara cahaya kamar yang temaram. Membuat napas Bima tercekat dengan mata menggelap, memandangnya dengan tatapan tak berkedip. Dan, ketika tangan lentik itu bergerak ke belakang pinggulnya, di mana terdapat ritsleting roknya berada, Dea mendapati Bima berjalan mendekat, menghampiri dirinya. Menahan gerakannya, dengan satu tangan besarnya. "Apa yang kamu lakukan?" desis Bima, dengan suara parau. Matanya yang tajam, tampak seakan ingin mengiris-iris tubuh Dea. "Menyenangkanmu." Bima mengatupkan rahangnya. Memaku tatapannya, pada kedua bola mata Dea. "Hentikan!" tegas Bima. Sementara Dea tampak tertawa, dengan nada sumbangnya. "Bukankah ini yang kamu inginkan, Tuan Bima?" sarkas gadis itu, sembari menyeringai. Bima memejamkan matanya, dengan tangan terkepal. Membalikkan badannya, memunggungi Dea. Berusaha menahan sesuatu, yang seketika bergejolak di dalam dirinya. "Aku belum selesai, Tuan Bima!" imbuh Dea, dengan nada dingin. Begitu menusuk indera pendengaran Bima. Membuat pria itu seketika memutar tubuhnya. Lalu mendorong Dea ke atas ranjangnya, dalam satu kali gerakan. Menahan kedua tangan gadis itu dengan kuat, pada masing-masing sisi wajahnya. Mengabaikan wajah Dea yang seketika berubah menjadi pucat pasi, pria itu lalu terdengar berkata. "Aku akan menyelesaikannya." * . . . Happy reading :) Jangan lupa tap love, tinggalkan komentar, dan follow akun saya. Terima kasih. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD