Chapter 63 Di Abaikan Gavin

1037 Words
Waktu berlalu dan Rindu merasa sangat kesepian. Tidak ada kabar, tidak ada telepon maupun pesan seperti apa yang dikatakan oleh Devon sebelum dia pergi. Rindu menunggu, tak jarang dia menelpon lebih dulu mencocokkan waktu dengan waktu di Singapura sekedar untuk mengingatkan Gavin minum obat ya atau bertanya sesuatu yang tak penting. [Hay, Vin. Apa kabar? Kau tidak mengangkat teleponku, bagaimana dengan pengobatanmu, apa keadaanmu baik-baik saja?] Rindu meletakkan ponselnya dna menunggu tidak sabar. Detik berlalu berganti dengan menit. Kekasihnya tidak membalasnya sama sekali. [Gavin jangan lupa minum obat, hari ini kami mulai kembali ke sekolah. Lihat!] Rindu bahkan sempat merekam video dan mengirimkannya ke Gavin. Video itu berisi hari pertama Rindu dan Gengnya kembali ke sekolah. Rindu merekam bangku miliknya yang kosong. Rindu tak membiarkan siapapun untuk duduk di sana meski itu adalah Agatha. "Lihat, aku menjaganya dengan baik. Beberapa siswa menginginkannya tapi aku tidak mengizinkan. Hebat kan aku." Tring. Pesan balasan, Rindu sangat senang dan segera membuka pesannya. [Hem, hebat.] Hanya sepenggal kata lalu lelaki itu kembali tidak aktif. Rindu sangat senang, senyumnya mereka setiap saat Gavin membalasnya meski itu hanya balasan singkat. Waktu berlalu, bulan berganti dengan cepat. Lelaki itu menghilang lagi membuat Rindu sangat mencemaskannya. Erika dan Andra bertanya soal Gavin pada Rindu sesekali, mereka mengira hubungan antara keduanya masih terjalin baik. "Gimana pengobatan Gavin, apa udah ada kemajuan?" tanya Erika. Rindu menggeleng lemah. "Entahlah," ucap Rindu bete. "Kok, entah? Emang dia bilang apa?" Agatha menatap mereka penasaran. "Dia tak pernah mengangkat teleponku, juga tak membalas pesanku. Aku tidak tahu apa-apa, tentang dirinya." Erika dan Andra terkesiap. "Kok Gavin gitu ya, Bang Devon juga. Katanya bakal selalu ngabarin, kalau begini mereka udah ingkar janji, Ndu." Rindu tersenyum pedih mendengarnya. "Nggak apa-apa, Ndra. Mungkin Gavin dan keluarganya sedang sibuk dalam masa pengobatan ini." "Oh, ya. Jangan bohongin diri sendiri, Ndu. Kelihatan banget di muka lo bahwa lo sangat tertekan. Sesibuk apa coba mereka, ini udah lewat berapa bulan, masak nggak ngabarin sama sekali." Andra ikut kesal. "Nggak apa-apa, Ndra. Aku baik-baik saja." Tidak ada yang bisa dilakukan oleh teman-temannya Rindu kecuali pasrah. "Ini nggak bisa di biarin tau nggak, Gavin kalau nggak di tegur mana sadar." Rindu menggelengkan kepala. "Ndra, tidak perlu sungguh. Aku baik-baik saja. Kau tahu, aku memang tidak bicara dengan Gavin namun orangtuanya selalu menghubungi aku." Erika dan Andra terdiam. Rindu terpaksa berbohong untuk menenangkan teman-temannya. "Benarkah, syukurlah." Berbeda dengan Rindu, Agatha selalu mendapatkan kabar, dia sering bertandang ke rumah Gavin lalu melakukan panggilan video agar bi Ira bisa bertemu dengan majikannya. Gavin dan Agatha selalu bertukar kabar, tentang sekolah dan juga tentang Rindu. Dia seperti musuh dalam selimut, perlahan masuk dan meracuni pikiran Gavin. "Oke deh, Ndu. Kita cuman nggak mau lihat lo sedih terus." "Tenang, aja. Tidak perlu khawatir." Agatha menikmati perannya, cinta tumbuh di hati gadis itu. Dia terlihat sangat baik di depan Rindu tapi menghianatinya di belakang. Waktu berlalu dengan cepat, kini kenaikan kelas tiba. Libur panjang datang dan Rindu berharap Gavin akan pulang, bahkan kedua orangtua Rindu tidak tahu bagaimana dengan nasib percintaan putrinya. Asyla dan Riki selalu bertanya, tentang keluarga Gavin maupun kesehatan pemuda itu. Seperti malam ini saat mereka menikmati makan malam. "Rindu, liburan kali ini apa Gavin sudah bisa kembali?" tanya Riki penasaran. Mendapatkan pertanyaan yang tiba-tiba membuat Rindu tertegun. "Ehm, kurang tahu, Pa. Soalnya Gavin masih dalam proses pemulihan." "Udah satu tahun loh, harusnya udah mendingan kan." Rindu bingung bagaimana agar bisa membuat orangtuanya mengerti. "Iya, tapi kan jika demi kesembuhannya apa boleh buat." "Kamu sendiri liburan dimana?" Kening Rindu mengeryit. "Papa ngomong apaan sih, tentu saja di rumah. Ingetkan, papa nggak punya libur seperti kebanyakan orang." Riki tertawa. "Ih, pintar anak papa." Asyla melihat kedalam sorot mata putrinya, dia merasa ada yang janggal namun urung untuk bertanya. Selesai makan malam, Rindu kembali ke kamar, dia memberanikan diri menelpon Gavin untuk sekedar bercerita. Panggilan tersambung, tidak lama kekasihnya benar-benar mengankat telepon di ujung sana. [Hallo] Rindu terdiam sejenak, ya dia sangat merindukan suara itu beberapa bulan terakhir ini. [Hay, Vin. Bagaimana keadaanmu.] [Aku bosan mendengarkan hal yang sama setiap kau menelpon, apa kau tidak bisa ganti topik!" ucapnya kesal. Rindu terkejut. Ya, emosi seperti itu tak pernah dia lihat sebelumnya. [Maaf, kau tidak mengabariku, juga jarang mengankat teleponku. Aku," ucap Rindu sesak. Dia menahan segala kerinduan yang sepertinya Gavin tak merasakan apa-apa. "Gavin, apa kau akan pulang liburan nanti. Disana juga libur kan?" ucapnya hati-hati. "Tidak, sebaliknya aku harus tetap masuk dan mengikuti pelajaran." Rindu terdiam. [Kau pasti sangat lelah,] [Ya, itu sebabnya aku kadang tidak membalas pesanmu. Jangan khawatirkan aku, kau mengerti. Aku harus pergi sekarang," ucap Gavin terburu-buru. "Tunggu dulu! Aku ingin bertanya satu hal lagi," ucap Rindu cepat. "Katakan!" "Apa ingatanmu sudah kembali? Apa kau ingat tentang aku. Tentang kita," Gavin tidak langsung menjawabnya. [Jika ingatanmu sudah kembali, aku hanya ingin bilang. Aku minta maaf untuk kesalahanku padamu. Aku,] [Aku tidak ingat apapun, bye.] Gavin menutup panggilannya. Jika dulu Gavin yang selalu berharap. Sekarang, keadaan menjadi terbalik. Rindu sangat berusaha untuk hubungan ini namun Gavin seolah menghindarinya. "Ada apa, sebenarnya. Tidak biasanya dia cuek seperti ini." Rindu duduk di tepi jendela, mengingat kenangan manis bersama lelaki itu. "Kenapa? Kenapa harus di saat mama dan papa merestui kau malah menjauh, Vin. Apa sebenarnya yang terjadi." Rindu kesal di buatnya. Hatinya menangis karena berharap lebih pada lelaki itu. Liburan sekolah pun tiba, Rindu masih berpikir positif dan menganggap Gavin akan datang dengan membawa kejutan. Dia menunggu dan menunggu. Puncaknya dia mendapatkan kabar dari Devon. [Hay gadis cat, maafkan kami tidak bisa pulang tahun ini, Gavin tak boleh pergi jauh dan harus kontrol setiap waktu. Semuanya baik-baik saja, tapi aku tahu kau sedang menunggu.] Rindu menutup ponselnya, dan menyeka airmata yang lolos begitu saja. Hubungannya tak lagi sama, Gavin seolah sengaja menjauhinya. "Baiklah, aku mengerti." Rindu memelihara kenangannya dengan baik, setiap merindukan Gavin dia akan bersepeda ke taman. Mengingat bagaimana dia dan lelaki itu berkunjung pertama kali di sana. "Apa ini maksudnya?" ucap Rindu mengingat masa lalu. "Rindu! Kau akan merindukan siapa di sepanjang hidupmu?" ucapan itu terus tergiang. Rindu tersentak, dia turun dari sepeda dan berjalan menuju ke bangku yang ada di taman. "Gavin, apaan sih." "Coba untuk merindukan aku juga, Ndu." Rindu menitikkan airmata. "Aku merindukanmu sekarang, tapi kau telah berubah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD