Kepala sekolah dan Bu Hafzah duduk bersama menatap Gavin dan Zeana. Mereka telah mengetahui kejadian yang sebenarnya, video dari beberapa murid pun menjadi bukti tak terbantahkan bahwa Zeana adalah yang bersalah.
"Berapa lama saya harus membuang waktu dan duduk di sini, Pak? Saya tahu sekolah tidak akan menghukum dia, Bapak dan Bu Guruana berani?"
Pak kepala sekolah tersentil mendengar itu.
"Gavin, bicara yang sopan dengan kepala sekolah." Bu Hafzah menegurnya.
Gavin tersenyum kecut.
"Sudahlah, Bu. Dia memang benar. Mau sampai kapan kita membiarkan Zeana bertindak tidak dewasa."
Zean terkejut, baru kali ini Pak Kepala sekolah tak memihak padanya.
"Bapak, bicara apa? Jangan buat masalah dengan donatur. Ingat siapa ayah Zean. Jangan buat masalah."
"Sekolah harusnya menjadi tempat dimana siswa atau siswi belajar atau di didik. Membenarkan tindakan Zean dan segala keegoisannya tidaklah benar, justru hal itu akan mengundang masalah semakin besar."
"Wow," Gavin bersorak di dalam hati.
"Gavin katakan, hukuman apa yang harus di jatuhkan pada Zeana agar dia kapok dan tidak mengulanginya perbuatannya lagi."
"Pak, Bapak apa-apaan sih?" protes Zean.
"Lagian karya itu nggak ada bagus-bagusnya. Saya nggak salah, saya nggak terima jika harus di hukum."
Gavin menggelengkan kepala sembari bertepuk tangan.
"Wah, lihat orang egois ini. Saya menyebutnya dengan tidak tahu malu."
Zeana mendelik.
"Vin, nggak usah berlebihan deh. Lo ngelawan gue kayak gini karena Rindu kan? Semuanya bukan hanya tentang tugas prakarya lo yang jelek itu."
Ejekan Zeana membuat sang wali kelas merasa malu.
"Lo gila ya, kasihan. Udah sebesar ini masih nggak paham jika salah harusnya minta maaf bukannya mengelak."
"Vin!"
Gavin menoleh ke kepala sekolah.
"Pak, bisa nggak cewek seiko kayak gini nggak datang ke kelas 10. Sok kuasa jatohnya bikin ilfill. Laganya seperti pemilik sekolah. Norak." Gavin bangkit meninggalkan semua orang.
"Gavin, Bapak Kepala sekolah belum selesai bicara!" Bu Hafzah berteriak namun tetap di abaikan.
Hari ini, hari apes banget Zean. Dia tak menyangka jika kepala sekolah tidak akan membelanya lagi.
"Kamu keterlaluan, ayahmu telah tahu sikap burukmu ini dan meminta bapak menindak adil dan tidak pilih kasih. Selama ini, bapak selalu membelamu. Tidak menjalankan perintah ayahmu. Tapi dengan bukti-bukti itu. Kau tidak bisa memutar keadaan Zean."
"M-maksud Bapak, apa?" Zeana tertegun.
Gavin yang berdiri di balik pintu tersenyum puas. Lelaki itu menyeringai.
"Jika Devon tidak mendengarkan gua, dan Zean nekat ikut campur dalam hidup gua. Maka jangan salahkan Gavin Ardian jika mengadu ke orangtua lo Zean."
Di luar dugaan. Gavin sengaja menghubungi orangtua Zean dan menceritakan kelakuan putri semata wayang mereka.
**
Saat ini di kelas.
Rindu dan Erika cemas menunggu Gavin, sementara kerajinan mereka telah hancur tak dapat di bingkai lagi.
"Dia kok jahat banget sih, segitunya sama lo, maafin gue ya, Ndu. Gara-gara gue kakak senior itu murkah."
Rindu menatap Erika.
"Tidak masalah, aku yang harusnya minta maaf. Semua ini salah aku dan Gavin."
Erika memeluk Rindu, dia gak ingin gadis itu memikirkan kejadian tadi.
"Nggak masalah, sore nanti kita bisa buat lagi. Anggap aja sebuah tantangan."
"Benar, kita akan membuat yang lebih bagus lagi," seru Andra ikut bergabung.
Gavin kembali ke kelas, semua siswa menatapnya penasaran.
"Gimana, Vin. Apa nenek sihir itu di bebaskan?" tanya yang lain.
Gavin langsung duduk di kursi dimana Rindu telah kembali ke sisinya.
"Vin, di tanya kok nggak jawab."
Pemuda itu tersentak.
"Nggak tahu, kalian tahu kan gimana reputasi keluarganya dia."
"Nggak bisa gitu dong, apa kita demo aja!"
Reaksi teman-teman Gavin membuatnya melongo.
"Eh, jangan! Jangan! Kita tunggu saja keputusan dari pihak sekolah."
"Lagian senga banget, Vin. Sok kecantikan, sok wah."
"Bener tuh," riuh terdengar suara bisik-bisik dari yang lain.
Ceklek.
Pintu terbuka.
Bu Hafzah datang membuat semua orang terdiam. Ruangan itu sudah bersih, tidak ada yang berani bersuara atau menyinggung kejadian pagi tadi.
"Anak-anak buka buku kalian, kita akan belajar matematika untuk hari ini."
Semua murid saling memandang.
"Bagaimana dengan tugas prakarya kami, Bu? Kami udah setor tapi ibu malah buka mata pelajaran yang lain."
Bu Hafzah menggeprak meja dengan penggaris kayu.
Brak.
Rindu dan yang lainnya terkejut.
"Ibu nggak buta, ibu bisa lihat jika tugas kalian sudah selesai. Nama kalian tertulis di sana kan, nggak perlu di ingatkan."
Para murid tertegun.
"Lalu bagaimana dengan tugas tim saya, Bu?;Apa kami harus buat ulang lagi? Atau bagaimana?" Erika angkat bicara.
Bu Hafzah menutup buku pelajarannya.
"Kamu mau nilai berapa? Akan ibu kasih."
Sikap Bu Hafzah tidak sebijak biasanya.
"Bu, maksud Erika tidak seperti itu," bela Andra.
"Lalu bagaimana? Saya heran kenapa kalian begitu lancang. Apa kalian tidak menghormati wali kalian ini?"
"Bu, tolong jangan salah paham." Erika merasa tak enak.
"Kerjakan halaman 60 sampai 75, isi semua pertanyaan dan setorkan di meja saya." Bu Hafzah pergi setelah memberi perintah.
"Duh, auranya serem banget. Sepertinya masalah ini akan berlangsung lama."
Rindu menoleh pada Gavin.
"Biarin aja, sebaiknya kita mengerjakan tugas yang di berikan Bu Hafzah sebelum masalahnya tambah runyam,"
Erika menoleh pada Rindu.
"Ya, nilai kita nggak kehitung, semua gara-gara gue. Maaf Rindu."
Rindu hanya tersenyum.
"Tidak masalah. Buruan kerjakan agar kita bisa ke kantin."
Gavin lega mengetahui Rindu tak memikirkan masalah tadi. Gadis itu mengerjakan soal pelajarannya dengan tenang.
Satu jam kemudian, lonceng berbunyi dan semua murid mengumpulkan buku tugas mereka. Rindu masih kewalahan, dia tertinggal beberapa soal lagi.
"Belum selesai?" tanya Erika.
Andra menunggui mereka untuk keluar bersama.
"Sedikit lagi, ini dan ini. Akhirnya selesai."
Rindu tersenyum. Gavin memberinya buku tulis miliknya.
"Kumpulkan bersama punyaku juga," Rindu dengan senang hati menggapainya.
"Siap,"
"Kantin yuk, sekalian nyari tahu gimana kabar Zeana."
Gavin meringis, dia masih bokek dan hutangnya sudah lumayan banyak pada bu kantin
"Vin, lo kenapa?" Andra merangkulnya dan membawa pemuda itu keluar.
"Nggak ada, gua hanya nggak selera aja."
Rindu dan Erika berjalan di belakang mereka. Rindu tahu betul kenapa Gavin enggan ke kantin.
"Wow yang mau lihat berita terbaru, buruan ke lapangan," seorang murid berlari menyebarkan informasi.
"Berita terbaru! Kalian nggak akan nyesel!"
Rindu dan Erika menatap bingung.
"Ada apaan sih? Heboh bener."
"Yuk kita cek!"
Andra dan Erika menarik Gavin dan Rindu ke lapangan. Sebuah pemandangan yang luara biasa melihat seorang Zeana berdiri hormat ke arah bendera.
"Wow, kita nggak salah lihat kan? Dia beneran Zeana si Miss perfect. Nggak nyangka Gavin bisa membuatnya di hukum seperti ini."
Zeana terpejam, meredam segala cacian yang terlontar untuknya sejak tadi.
"Bagus deh, dia di hukum. Biar tahu diri, udah mau lulus masih aja bertingkah."
The Geng Zeana pun datang lalu membubarkan mereka.
"Lihat apaan lo semua, bubar! Bubar!"
"Wu wuw! Yuk cabut, pembokatnya datang."
Tasya sangat kesal, seumur-umur sekolah di sana, baru saja ada yang berani menghinanya.
"Ngomong apa lo barusan."
"Kenapa! Nggak terima? Merasa sultan, nggak suka di caci tapi doyan mencaci, dasar senior gesrek."
"Eh, bacot lu yeh. Minta di tampol lu ya?! Ha!"
Gavin menarik Rindu menjauh. Masalah semakin besar, meski dia senang melihat Zean menerima ganjarannya.
"Vin, mau kemana? Erika dan Andra masih di sana." Rindu mengikuti kemana Gavin akan membawanya.
"Aku tidak ingin kau melihat semua itu."
Rindu terperangah.