Setelah dari pantai, rombongan pun memutuskan untuk pulang. Zeana merasa liburan ini tidak cocok sama sekali. Meski memaksa melanjutkan ke tempat yang lain, dia hanya akan makan hati. Perhatian Devon dan Gavin hanya fokus pada Rindu saja.
"Beb, kamu yakin nggak mau nonton?"
"Nggak, pulang aja. Aku merasa pusing."
Semua barang sudah ready di mobil. Devon dan Zeana bersiap masuk.
"Kalian ngapain masih di luar?" Devon bertanya pada Rindu dan Gavin yang hanya berdiri menatap ke arah mereka.
"Mau lanjutin kencan," ucap Gavin tampak santai merangkul Rindu.
Gadis itu tampak kikuk, apalagi Zeana melotot menatapnya.
"Ehm, ciyee. Oke deh, sayang sekali kami nggak bisa nemenin agenda kalian. Vin, ingat pulangnya jangan terlalu malam," pesan Devon dan masuk ke mobil.
"Siap, Bang."
Wajah bahagia Gavin membuat mood Zean semakin berantakan.
"Bye, hi fun ya!"
"Thank you, bye!" Kedua sahabat itu melambai hingga mobil Devon menghilang dari pandangan.
Bug.
Cresh!
"Auuuwww!" Gavin meringis, melompat sambil berjinjjit. Rindu menyikut perutnya dan menginjak kaki kanannya dengan keras.
"Lo mau bunuh gua ya?!" erangnya kesal.
Rindu memakai ranselnya dan melipat kedua tangan ke d**a.
"Ya, siapa suruh! Nyebelin, ngeselin. Minta di temenin malah mau ngecelakain."
Gavin melotot mendengar umpatannya.
"Apaan sih, lu ngomong apaan."
"Pura-pura nggak ngerti lagi, dasar tokek!"
"What! Lu ngatain gua tokek barusan."
Rindu berjalan keluar namun segera di tahan oleh Gavin.
Plak.
Tangan kanannya memegang kepala Rindu seperti bocah.
"Apaan sih! Lepas nggak, rambut aku jadi lepek!"
"Biarain aja, emang lu mau terlihat cantik dimatanya siapa? Nggak usah so cantik, sini!"
"Gavin!" pekiknya.
Gavin menyeretnya kembali ke pantai.
"Vin! katanya mau pulang, kok balik lagi sih?" keluh gadis itu.
Gavin mengabaikan celotehnya dan kembali mengantri di penjual sate.
"Bang, empat porsi ya, tolong agak cepet."
"Baik, Den."
Rindu terbelalak.
"Banyak banget, untuk siapa?"
"Bawel, nanti juga tahu!"
"Bang, kalau udah jadi bilang ya, saya kesana dulu," tunjuk Gavin ke arah pantai.
"Baik, Den."
Gavin menggengam tangan Rindu dan membawanya ketepian. Duduk di atas pasir dan dua tangan menopang ke belakang. Mereka baru akan menikmati keindahan pantai yang sesungguhnya.
"Heeem, haaa!" Napas lega di keluarkan.
"Maaf, ya, Ndu. Seharian ini gua ngerecokin lo mulu. Lo, pasti nggak nyaman kan di gangguin dari tadi."
Rindu menatapnya lekat.
"Nggak apa-apa, jangan sok kalem, emang kamu orangnya suka ngerecokin kan!"
Gavin cengengesan mendengarnya.
"Iya, ya. Kan udah biasa lihat tingkah gua. Tapi, kok gua merasa nggak enak."
Rindu tertegun mendengarnya.
"Kalau nggak enak kasih kucing, jangan di pendam. Yuk, buruan cabut, udah sore nih,"
"Candaan lu, Ndu. Udah basi."
"Ya, jangan di makan!"
Keduanya tertawa.
Gavin melihat jam tangannya.
Beberapa menit kemudian dia menoleh ke belakang.
"Den, pesanannya udah siap," ucap kang sate.
Gavin segera bangkit dan mengajak Rindu.
"Baik, Bang!"
"Yuk, kira-kira mama dan papamu suka nggak ya, makanan seperti ini."
Rindu terperangah.
"Jadi, kamu beli sebanyak itu untuk orangtua aku?" ucapnya tak percaya.
"Iya, emang kenapa? Lu masih laper?"
Rindu menggelengkan kepala.
"Bukan gitu, cuman kebanyakan."
"Bawel, lu aja nambah beberapa kali malah nyalahin pesanan gua."
"Ini bang uangnya," ucap Gavin menyerahkan dua lembar uang merah.
"Terimakasih,"
"Sama-sama."
Dengan antengnya, Gavin menenteng barang kantongannya pergi dari sana.
"Kita pulang naik apa, dong. Capek nih, udah jalan seharian. Lari-lari nggak jelas."
Mereka jalan bersisian menuju pintu keluar.
"Lu beneran capek?" Gavin menoleh untuk menatapnya.
"Iya, beneran."
mendengar itu, Gavin langsung mengambil posisi berjongkok.
"Ya udah, naik."
"Eh, kamu mau ngapain?" Rindu malu melihat orang-orang menatapnya.
"Ngendong kamu, apalagi!"
Rindu mengernyit.
"Enggak, enggak! Lupakan saja."
Rindu menolak dengan tegas
"Kayak anak kecil aja, tahu nggak," ucapnya melangkah pergi.
Gavin yang mendengar itu segera merapikan kantongan seafood tadi dan memasukkannya ke tas Rindu.
"Eh, kamu ngapain."
"Diem bawel, ini titipan gua buat bonyok lo."
"Bonyok!"
"Iya, Bokap dan Nyokap, puas!"
Gavin segera berjongkok dan menarik Rindu ke atasnya.
"Vin, nggak usah!" tolaknya. Namun pemuda itu tetap kekeh.
Hup.
Gavin berdiri tegak, dengan Rindu di belakang punggungnya.
"Aduh, aku malu."
Gadis itu menutupi wajahnya, Gavin hanya tersenyum melihat tingkah Rindu.
"Kita akan cari taksi, gua akan menggendong lo sampai jalan raya."
"Kejauhan."
"Nggak apa-apa, kan gua yang ngajakin. Oh iya, lu jangan galak-galak ma gua, Ndu. Nggak ada cowok yang mau gendong lo kayak gini kecuali gua."
"Idih, songong."
"Emang iya kan."
Jantung Rindu berdebar kuat. Tangannya melingkar dengan sendirinya di leher Gavin. Awal yang canggung dan Gavin pura-pura tidak menyadarinya.
"Hari ini gua sangat seneng, lihat nggak wajah Zeana yang terus melotot ke arah kamu?"
Rindu terperangah.
"Kamu lihat itu?"
"Iya, kalau nggak sadar artinya tu orang buta. Mana mukanya nyeremin."
Rindu terdiam cukup lama.
"Gua nggak tegur dia bukan artinya gua nggak peduli sama lo, Ndu. Sebaliknya, gua sangat ngejaga lo di dalam sana. Bahkan Bang Devon pun sepertinya sadar jika Zeana melotot keterlaluan. Makanya dia terus menghibur lo, ngajakin bercanda dan memberi perhatian lebih."
Rindu tak percaya ini.
"Kalian itu unik, ya. Bisa saling memahami keadaan masing-masing. Kak Zeana sebenarnya nggak salah, sih. Wajar aja jika dia melakukan itu," bela Rindu.
"Apaan, jelamaan nenek sihir gitu di bilangin nggak salah."
"Serius, misal nih. Aku adalah pacarnya kamu," langkah Gavin berhenti mendengar itu.
"Terus, ada seorang perempuan yang mendekati atau setidaknya mencuri perhatianmu. Maka hal yang di lakukan perempuan adalah cemburu. Ada yang menyembunyikan perasaannya dengan marah-marah, ada juga yang diam berusaha menyimpan semuanya sendirian. Dia akan tertekan dan perlahan-lahan menjadi sakit. Dan ada pula menangis meraung. Mungkin akan terlihat lebai di mata orang. Tapi, begitulah sifat alamiahnya."
"Kalau lu, akan milih yang bagaimana, Ndu?" tanya Gavin membuat Rindu terdiam.
"Apaan, aku mana punya pacar."
"Pilih aja sih!"
Rindu tertegun. Dia tersenyum dan berkata.
"Aku akan menangis saat pasanganku mengerti akan diriku. Aku akan menjelaskan semuanya seperti anak kecil dan tidak menginginkannya berdekatan dengan orang lain yang membuatku cemburu."
Gavin tersenyum.
"Tapi, jika dia tidak peka. Maka aku akan memilih diam, jika masih mencintainya maka rasa cemburu akan ku pendam dan diam. Hingga hatiku akan mati dan tidak berharap lagi kepadanya."
Gavin termenung cukup lama mendengar pilihan terakhir.
"Kalau gua menurut lo, tipe yang seperti apa! Peka atau perhatian?"
"Dingin! Bahkan aku sahabatmu kadang tidak dapat menebak dengan jalan pikiranmu."
Deg.
Gavin melanjutkan perjalanan.
"Sepertinya hanya lo yang akan mengerti gua, Ndu. Jika kita dewasa nanti, dan gua nggak nemuin cewek yang pengertian. Jadilah pasangan gua."
Bug.
"Auw! Sakit."
Rindu menaboknya kuat.
"Biarin, enak aja. Emang aku perempuan apaan mesti nunggu kamu puas nyari perempuan. Idih, ogah!"
Gavin terkekeh.
"Ya udah, lo jadi pacar gua aja sekarang. Lulus sekolah langsung gua nikahin."
"Ngadi-ngadi, aku cekek kamu ya."
Gavin menurunkannya dan berusaha melindungi diri.
Mereka saling berkejaran hingga ke jalan raya.