Rindu diam sepanjang perjalanan. Gavin menyetir dengan hati-hati. Langit semakin gelap, pemuda itu merasa khawatir, takut jika tidak sampai tepat waktu.
"Vin, pelan- pelan aja. Mama sama papa pasti ngerti kenapa kita telat," sahut Rindu mengingatkan.
Gavin dengan mudah menyalip mobil dan motor yang ada di hadapannya. Rindu merasa jantungan dan berpegangan dengar erat. Ini kali pertamanya menerobos kemacetan dengan sepeda motor.
"Kita harus tiba di rumah lo sebelum makan malam. Apa kata nyokab lo nanti jika gua nggak amanah."
"Tapi, Vin. Gimana kalau kita jatoh?"
"Kamu mikirnya jauh banget, ya makanya gua harus berhati-hati."
Rindu berhenti menegur. Dia memilih diam dan membiarkan Gavin agar fokus menyetir.
Gerimis mulai membasahi bumi, semakin lama, rintiknya semakin deras. Gavin pun menepikan motornya mencari tempat untuk berteduh.
"Ya hujan," keluh Rindu.
Sebuah warung pinggir jalan menjadi pilihan Gavin untuk menyelamatkan diri.
Mesin motor di matikan, Rindu turun dan Gavin menggengam tangannya.
"Kita neduh dulu ya," ucapnya.
Rindu mengangguk setuju. Tiba di warung itu, Gavin membungkuk memberi hormat pada sang pemilik warung.
"Pak, boleh numpang kan?" tanyanya.
"Boleh, silahkan."
"Vin, hatcih!"
Gavin melotot. Pemuda itu segera membuka jaket yang dia pakai dan mengenakannya ke Rindu.
"Kamu nggak apa-apa?" Rindu terperangah. Gavin mengusap lembut rambutnya. Bukan karena perlakuan lelaki itu yang membuat Rindu specles. Tapi, cara bicaranya yang mendadak berubah.
"Mama kamu pasti nungguin, kamu nggak kasih kabar kalau kita terjebak hujan?"
Rindu mengerjap, dia memang tidak sedang berhalusinasi. Gavin mengatakan kata kamu saat mengobrol dengannya.
"Ini mau di kabari," ucap Rindu sedikit kikuk. Gadis itu tersenyum simpul. Melihat perubahan Gavin terlihat lucu baginya.
"Semoga mama mu mau ngerti ya, duh aku nggak enak lagi."
Rindu mengangguk. Gadis itu mengetik pesan dengan cepat.
[Ma, aku dan Gavin udah mau nyampai, tapi sayangnya kejebak hujan. Ini lagi neduh,]
Send.
Beberapa menit kemudian pesan balasan di terima.
Ting.
Pesan balasan masuk.
[Nggak apa-apa, hati-hati di jalan. Nggak usah terburu-buru.]
Rindu tersenyum dan menunjukkan pesan balasannya pada Gavin.
"See,"
Gavin merasa lega.
"Syukurlah. Eh mundur dikit, hujannya makin deras."
Mendung seharian akhirnya tumpah juga, Gavin berdiri di hadapan Rindu menjadi perisai agar gadis itu tidak tambah sakit.
"Hatcih!"
Rindu menoleh pada penjaga warung itu, untuk membeli tissue.
"Pak, ada tissue?"
"Ada, Neng."
Setelah membayar harganya, Rindu menarik tissue itu satu persatu untuk menyeka hidung yang meler.
Hatcih!
Hatcih!!
Gavin menghadap ke arahnya dan mengambil beberapa lembar tissue, pemuda itu meletakkannya di atas kepala Rindu.
"Lain kali aku tidak akan mengajakmu keluar jika tidak mengenakan mobil. Maafkan aku, ya. Kamu jadi sakit gini."
Rindu menatap bengong.
Entah ada angin apa? Kenapa Gavin begitu sopan bicara kepadanya.
"Tidak masalah. Aku nggak milih-milih kok. Jangan di pikirkan lagi." Rindu tersenyum.
Gavin merasa tidak enak, dia terus melindungi Rindu agar tidak kehujanan.
Satu jam kemudian.
Perlahan hujan mereda, sepatu Gavin sudah basah kuyup.
"Huh." Pemuda itu menghela napas.
"Kita pulang sekarang ya, sepertinya hujannya udah berhenti."
Rindu mengangguk.
"Terimakasih tumpangannya, Pak," seru Rindu sebelum meninggalkan tempat itu pada pemilik warung.
"Iya, sama-sama Neng, nggak usah sungkan."
Tiba di motor, pemuda itu juga sangat perhatian. Gavin membersihkan tempat duduk Rindu sebelum gadis itu naik.
"Silahkan naik tuan putri,"
Rindu tertawa.
"Apaan sih,"
"Yeh, kan biasanya gitu," ucap Gavin menggoda.
"Oke, oke, terimakasih pangeran."
Keduanya tertawa bersama. Gavin menyalahkan mesin dan meninggalkan tempat itu.
"Tuan putrinya apes, kehujanan naik motor."
"Ini salah cuaca. Harusnya hujan turun setelah kita di rumah," ucap Rindu enteng.
"Mulai deh, mau ngatur Tuhan. Hujan itu rahmat."
"Bukan Rindu," ucap mereka bersamaan.
Rindu sampai sakit perut ketika mendengarnya.
Setengah jam kemudian, mereka tiba di rumah. Rindu tak sungkan lagi berpegangan pada Gavin membuat sahabatnya tersenyum sepanjang jalan.
"Udah sampai, terimakasih ya," ucap Rindu memberikan helmnya.
"Eh, kok gua di tinggal. Kan gua juga mau masuk."
"Apa? Ngapain!"
"Duh, Rindu. Gua izin bawa lo pergi di depan nyokab, sekarang harus nganter lo lagi ke depan nyokab." Gaya bahasa senganya udah kembali, Rindu menggeleng di tempatnya.
"Nggak perlu, ntar kamu juga kehujanan."
"Ketimbang pamit doang, nggak apa-apa kali. Ribet banget, udah jangan bawel."
Rindu terpaksa mengikuti Gavin masuk ke dalam.
Bel di tekan dan muncul lah Asyla dari dalam.
"Kalian udah pulang? Ayo masuk dulu."
Gavin menggeleng.
"Nggak usah, Tante, ini juga mau langsung pulang. Saya minta maaf karena nganterin Rindunya kemaleman."
Rindu menatap mereka bergantian.
"Nggak apa-apa, papanya Rindu juga belum pulang karena terjebak macet."
Hatcih.
Asyla spontan menoleh ke putrinya.
"Kamu kehujanan ya?"
Rindu menggeleng.
"Cuman kena gerimis pas mau neduh. Nanti minum teh buatan Mama juga sembuh."
Gavin merasa tak enak melihat ekspresi mama Rindu.
"Saya minta maaf, Tante. Kalau begitu saya pulang dulu."
"Iya, Nak Gavin. Hati-hati di jalan, ya."
Rindu melambaikan tangan. Gavin tidak membalasnya karena sungkan pada Asyla. Pemuda itu segera menaiki kuda besinya dan cabut dari sana.
Suara gemuruh terdengar di langit, hujan semakin deras tapi tak membuat senyum Gavin melemah.
"Yes," serunya bahagia.
Raut wajah lelaki itu tiba-tiba pudar kala mengingat sesuatu.
"Astaga jaket gua, disana kan ada?" Gavin tepok jidat menyadari kesalahannya.
"Duh, apes dah ketahuan."
**
Rindu di interogasi sang mama, di tanya dengan berbagai macam pertanyaan.
Dia kemana aja?
Ngapain?
Makan apa?
Nonton apa?
Gadis itu menjadi pusing, namun apa boleh buat. Rindu menceritakan semuanya dengan detail agar sang mama tidak khawatir.
Mama Rindu bahkan terperangah mendengar tempat-tempat yang mereka singgahi.
"Butuh uang yang banyak buat teraktir tiga orang dan melakukan semua itu."
Rindu mengangguk setuju.
"Mau gimana lagi, Ma. Dia Gavin. Kalau punya uang royal banget, nggak pakai dipikir dulu."
"Emang orangtuanya kerja apa?" tanya sang mama penasaran.
"Ya, nggak tahu,"
Rindu meminum tehnya dan kembali ke kamar.
"Aku ganti baju dulu ya, Ma. Entar turun lagi sambil nunggu papa."
Sang Mama tersenyum.
"Iya, jangan lama-lama."
Rindu menuju ke lantai dua, kantong jaketnya terasa berat. Gadis itu mengerutkan keningnya, penasaran tangan kanannya lalu merogoh untuk memeriksa.
Rindu melihat foto-foto yang di minta di hapus telah tercetak di sana.
"Hu, dasar. Katanya nggak mau nyimpen, eh malah nyuci sebanyak ini."
Rindu senyum-senyum sendirian, raut wajah Gavin terlihat menggemaskan.
"Dia pasti berencana menyimpan foto ini sendirian." Tiba-tiba Rindu memikirkan sesuatu.
**
Di sisi lain.
Gavin baru tiba di rumahnya, dia dalam keadaan basah kuyup. Pemuda itu melangkah dengan hati-hati, sepatu di biarkan di luar dan bibi yang bekerja di rumahnya berdatangan.
"Den, Gavin. Duh, kenapa hujan-hujanan. Kalau sakit gimana?" omel si bibi.
"Maaf, Bi. Habis tanggung. Dikit lagi nyampe, abang mana?"
Wajah si bibi berubah sendu.
"Di ruang tengah, sepertinya sedang ada masalah. Den Devon belum makan sejak siang tadi."
Gavin mengernyit, dia menyerahkan semua barangnya ke bibi dan langsung menemui Devon.
"Masa sih? Perasaan tadi pagi baik-baik saja."
Tiba di ruang tengah, Devon benar-benar kacau. Tubuhnya lemas dan tatapannya kosong. Tv sedang menyala di depannya tapi tatapan Devon tidak mengarah kesana.
"Abang kenapa?" tanya Gavin dan mematikan siarannya.
Devon tersadar akan kehadiran sang adik yang di tunggu sedari tadi.
"Nggak apa-apa, kamu udah pulang rupanya."
"Apa ini karena Zeana? Abang denger dia sakit, iya?"
Devon termangu.
"Apa dia benar-benar sakit?" Pemuda itu semakin lemas.
"Entahlah, dia kan ratu drama. Mana tahu dia beneran atau hanya pura-pura."
Gavin tidak suka melihat abangnya masih peduli dengan gadis itu.
"Bisa nggak sih, Abang move on aja, berhenti mikirin Zeana. Kalau dia sakit, ada Bibinya ada mamanya yang ngurusin. Berhenti kepo mencari kabar tentag dia. Masa depan abang tuh cerah."
Devon duduk termenung. Tidak menanggapi tapi hatinya tak bisa berbohong. Tidak mudah melepaskan rasa yang terlanjur menancap. Walau bagaimanapun juga, dia pernah sangat mencintai gadis itu.
"Bibinya menelpon, katanya Zean terus nyebut nama abang."
"Abang tu polos banget tau nggak. Ngapain juga peduli. Emang abang dokter."
"Vin,"
"Stop, Davin nggak suka abang deket sama dia, titik."