Gavin menemui kedua orangtua Rindu. Ini adalah pertemuan pertamanya dengan sang kepala rumah tangga, Riki- ayah Rindu. Kedua orangtuanya tampak asyik menikmati makanan favorit mereka di kedai sate.
"Ehm," Rindu berdiri kikuk di samping meja dimana orangtuanya berada.
"Kamu dari mana aja, papa cariin kemana-mana," Riki menatap putrinya yang tampak tegang.
"Hey, om, Tante. Saya temennya Rindu."
Asyla mendongak, wanita itu tersenyum riang.
"Eh, Gavin. Kamu di sini juga. Kebetulan banget. Mari duduk bersama."
Riki menatapnya datar. Asyla menarik kursi di sebelahnya untuk di tempati oleh Gavin.
"Ma, siapa?" tanya sang suami yang sedari tadi memindai penampilan pemuda itu.
"Ini loh, Pa. Temennya Rindu yang selalu kita bicarain. Yang kirimin makanan untuk kita tempo hari."
Riki tertegun.
Gavin membungkuk hormat dan mengulurkan tangan. Riki pun membalas dan mereka bersalaman.
"Hay, Om. Saya Gavin temennya Rindu di sekolah."
"Riki, ayahnya Rindu."
Mereka pun selesai berjabat tangan. Rindu dapat melihat ada tatapan yang entah di wajah sang ayah kepada kekasihnya itu.
"Nak Gavin silahkan pesan makanan. Kami baru mulai kok."
Gavin mengangguk patuh.
"Baik, Tante."
Rindu menatap meja makan, papanya terus memandangi Gavin membuatnya penasaran.
Dua puluh menit kemudian, acara makan-makan sudah selesai. Gavin hanya memesan bakso, menjaga imeg agar tidak kalap di meja makan.
Papa Rindu bangkit, menuju ke meja kasir untuk membayar pesanannya.
"Mama, papa kenapa ya?" tanya Rindu penasaran.
"Memangnya kenapa?" Asyla tak tahu apa maksud pertanyaan putrinya.
"Mama nggak lihat?"
Asyla menggelengkan kepala.
"Ya udah, nggak apa-apa. Sepertinya hanya perasaanku saja."
Riki kembali dan mengajak keluarganya keluar.
"Udah, Pa?" tanya Asyla.
"Udah, mau langsung pulang atau masih mau jalan-jalan?"
Mama asyla tampak meringis mendengarnya.
"Betis mama udah sakit, udah lari sejak tadi. Kita pulang aja yuk."
Ekspresi Gavin tidak tergambarkan. Dia ingin menahan Rindu tapi takut dengan papanya.
"Nak Gavin langsung pulang juga?" tanya Asyla menoleh.
Pemuda itu gelagapan. Rindu bahkan tidak menatapnya sama sekali.
"Eh, saya mau jalan-jalan dulu, Tan."
Rindu menggapai lengan papanya. Menggandengnya seperti biasa.
"Oh ya udah, bareng Rindu aja."
Deg.
Gavin bersorak dalam hati namun tidak memperjelas ekspresinya. Riki spontan menggenggam tangan istrinya memperlihatkan penolakan.
"Mama," ucap Rindu seolah tahu keinginan sang papa.
"Nggak apa-apa, lagian kan kamu libur. Nggak tahu juga mau ngapain di rumah. Kamu mau nemenin papamu main catur seharian?"
Rindu menatap segan kepada papanya.
"Ma, berangkat bareng pulangnya juga bareng. Masa anak gadis di lepas gitu aja," protes Riki.
Gavin menyadari jika lelaki itu tak menyukainya.
"Nggak apa-apa kok, Tan. Saya juga nungguin anak-anak yang lain."
Asyla menoleh.
"Anak-anak yang jemput Rindu waktu itu?"
Gavin berpikir sejenak. Mengingat kejadian kemarin malam.
"Iya, Tan."
Asyla menoleh ke suaminya.
"Tuh kan, Pa. Mereka nggak sendiri. Biarin aja deh, kasihan anak kita di batasi, toh sekarang Rindu udah mulai beradaptasi."
Riki tak berkutik jika istrinya sudah angkat bicara.
"Baiklah, terserah mama aja, tapi ingat pulangnya jangan terlalu sore."
Rindu menatap datar, tidak menunjukkan rasa senang atau sedih. Gavin pun tampak berpikir apa kekasihnya itu memiliki acara yang lain atau enggan bersamanya.
"Baik, Pa." Rindu menyalami Riki. Sang papa mengecup keningnya memperlihatkan betapa dekatnya mereka.
"Bye, hi fun ya," ucap Asyla.
Gavin dan Rindu melambaikan tangan.
Mama dan papa Rindu langsung pulang, Gavin menatap kepergian mereka dan mengikuti dari belakang. Pemuda itu memastikan keduanya naik mobil lalu kembali ke Rindu.
"Bug!"
"Auw!" Gavin meringis. Rindu menimpuk punggungnya dengan tas cangklong miliknya.
"Sakit, kamu ngapain sih?"
"Ngapain, pakai nanya lagi. Kamu nggak lihat wajah papa yang bete gara-gara kamu."
Gavin mengeryit.
"Kok gara-gara aku?"
"Iyalah, gara-gara kamu. Emang gara-gara siapa lagi?" Rindu menatapnya kesal.
"Whait! Aku nggak melakukan apapun loh. Kok jadi nyalahinnya ke aku, Ndu "
"Ya iya, papa nggak suka ada orang yang mengganggu masa libur keluarganya. Asal kamu tahu aja, papa sangat sulit meluangkan waktu bersama kami."
Gavin merasa sangat bersalah.
"Ya maaf, yang minta kamu tetap di sini kan tante Asyla. Bukan aku yang menahan, Ndu. Kok malah nyalahin aku."
Rindu tampak merajuk.
Gavin menghela napas karena lagi-lagi di persalahkan.
"Soal temen-temen akan kesini itu hanya alasan kan?"
Netra Gavin membulat sempurna. Mulutnya tergagap, dia specles dan tidak tahu mau beralasan apa lagi.
"Dasar!" Rindu kecewa dan melangkah menjauh.
"Eh, Ndu. Denger dulu dong. Tadi tuh aku bilang gitu agar mama kamu nggak nahan kamu buat nemenin aku."
"Maksudnya?" Rindu berhenti dan menoleh.
"Maksudnya."
"Em, eee."
"Oh, jadi maksudnya kamu nggak ingin aku di sini, gitu ...!" ucapan dan raut wajahnya membuat Gavin serbah salah.
"Nggak gitu, Ndu."
"Udah ah, males. Kamu memang nyebelin."
Rindu akan pergi namun tangannya di genggam Gavin. Gadis itu menoleh menatapnya lekat.
"Apa hanya aku saja yang berjuang di sini, kamu sepertinya tidak menganggap perasaanku serius."
Rindu terkesiap.
Gavin mendekat, memeluknya dari belakang.
"Jika kamu pergi, kau tahu aku hanya sendirian. Dan jika kau tetap tinggal kau akan terus marah padaku. Aku tidak ingin merebutmu dari ayahmu, Ndu. Tidak sama sekali. Namun, jika kau ingin pulang. Aku akan mengantarmu."
Rindu termangu meratapi ucapan pemuda itu.
Gavin menariknya menjauh, menuju ke parkiran. Hatinya menelaah setiap kata yang telah dia lontarkan.
"Apa aku sudah keterlaluan menyakiti perasaannya?" batin gadis itu bergejolak.
Tiba di parkiran, Gavin menarik motornya keluar dari barisan.
"Ayo, aku tidak akan mengajakmu bertemu lagi, jika kau tidak ingin."
Deg.
Rindu menatapnya sendu. Gavin akan memakai helm namun segera di tahan.
"Vin, maksud aku."
"Nggak apa-apa, kita bisa bertemu di sekolah setiap waktu."
Rindu melihat dengan jelas wajah kecewanya.
"Gavin," Rindu menunduk sedikit lalu menciumnya tepat di pipi.
Cup.
Gavin terperangah. Sebuah kejutan tak terduga karena Rindu melakukannya.
"Maafkan aku,"
Tatapan mereka saling bertaut. Rindu tersenyum, sedikit tersipu lalu menunduk.
"Kita mau kemana? Mama dan Papa udah ngasih izin," ucap Rindu. Gavin berusaha menenangkan debaran yang bergejolak hebat di dalam hatinya.
"T-tapi, tadi kau bilang ingin pulang."
Rindu naik ke boncengan dan memeluk pinggangnya erat.
"Nggak, aku akan bersamamu seharian ini. Maafkan aku karena terbawa suasana. Kau tahu mood cewek kadang tak menentu."
Gavin tersenyum konyol. Dia tahu itu hanya alasan.
"Vin, kau dengar aku?"
"Iya, Ndu. Bahkan jika kau hanya berbisik memanggil namaku, aku bisa dengar."
"Dih, lebay!"
Gavin tertawa dan memakai helemnya, dia menyalakan mesin motor dan mengeramkan kenalpot. Pemuda itu tak tahu mau kemana sekarang. Yang penting cabut dulu.