"Agatha!" seru Gavin terkejut melihat kedatangan Agatha di Kediamannya.
"Gavin, jadi ini rumah lo." Gadis itu tampak senang.
Gavin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Iya, ini rumah gua, silahkan masuk."
Agatha menatap ke sekeliling, dia lalu menyerahkan sebuah bingkisan.
"Oh iya, ini dari keluarga gue. Nyokab baru aja mengankatnya dari oven."
Gavin mengintip isinya, pemuda itu terlihat surprise.
"Wah, bibi juga baru aja buat kue untuk di bawah ke rumah lo, tungguin aja ya."
Agatha tampak berpikir.
"Tapi, gue masih banyak kerjaan, Vin. Terimakasih tawarannya."
"Lo nggak masuk dulu?"
"Nggak deh, bye."
Gavin menghela napas panjang.
"Sial, itu artinya gua harus mengantar makanan itu sendiri."
Agatha meninggalkan tempat itu, sosoknya menghilang di balik pintu gerbang.
"Siapa, Den?" tanya Bibi penasaran.
"Temen, Bi. Ini oleh-oleh darinya."
Bibi Ira menerima bingkisan itu.
"Duh, masih panas den."
Gavin mengangguk.
"Iya, itu dari tetangga baru kita. Anaknya beneran satu sekolah sama Gavin."
"Waduh, kalau gini bibi mesti buat kue yang lain."
Kening Gavin mengernyit.
"Maksudnya apa, Bi? Memangnya ada yang salah dengan kuenya?"
Bi Ira menggelengkan kepala.
"Nggak, tapi kuenya sama. Masa iya kita ngasih dengan kue ynag serupa."
"Bibi ribet banget, timban ngasih doang belibet. Auw ah, pokoknya jam enam sore Gavin udah berangkat. Nggak mau nunggu bibi selesai yang ada acara Gavin batal."
"Eh!" Bi Ira segera mengejar.
"Jangan gitu den, kita harus berbaik hati dengan tetangga. Gimana kalau bibi buat puding aja. Lebih muda dan praktis."
"Terserah!"
Wajah Gavin mulai bete. Bi Ira mulai panik takut majikannya itu ngambek.
"Kalau gitu den Gavin duduk aja, nggak sampai setengah jam kok."
"Janji, ya!" todongnya.
"Iya."
Gavin kembali ke sofa untuk menunggu bibi selesai berperang di dapur. Puding andalan wanita tua itu memang tak tertandingi.
Waktu berlalu, setengah jam kemudian wanita tua itu keluar dan duduk di samping majikannya.
Jam tengah menunjukkan pukul 03:00 sore.
"Dimana kuenya, Bi? Katanya bikin puding," tanya Gavin melihat bi Ira keluar tanpa membawa apa-apa.
"Lagi disimpan di kulkas, Den. Bentar lagi juga keras."
"Bukannya tadi bibi bilang enggak sampai setengah jam ya buatnya, ini kan udah sejam."
"Iya buatnya nggak sampai setengah jam, tapi setelah itu mesti dibekukan dulu. Didinginkan baru siap makan, Den."
"Oh Tuhan," pekik Gavin tak percaya. Artnya itu tengah mengerjai dirinya.
"Duh, den Gavin segitunya banget. Tenang, Den. Tinggal nunggu 10 menit lagi maka semuanya selesai."
"Dikira aku akan percaya, tadi bibi bilang setengah jam, tapi masih nunggu kan? Sekarang bilang lagi 10 menit. Udah ah, capek." Gavin bangkit akan menuju ke lantai dua.
"Eh, Den Gavin mau kemana? Kayaknya buru-buru banget."
"Bukan urusan bibi, lagian kan ini malam minggu masak iya cowok seganteng ini di suruh jaga rumah."
Bibi Ira tertawa terpengkal pengkal.
"Iya deh, tunggu bentar. Ini bibi akan ambilin pudingnya. Den Gavin bawa sekarang aja daripada wajahnya manyun terus." Bi Ira bangkit dan langsung ke dapur.
"Nah, gitu dong dari tadi ke, ngeselin banget."
Tak berselang beberapa lama, si bibi keluar membawa kue buatannya.
Gavin terpukau melihat puding lezat yang berwarna pink muda itu.
"Udah nih, Den. Silahkan di antarkan ke sebelah."
Gavin menerimanya dengan senang hati.
"Terus nanti aku bilang apa, Bi?"
"Bilang aja, ini dari keluarganya den Gavin gitu."
"Tapi kalau dia nanya, mama dan papa di mana?"
Bibi mulai kesal.
"Den Gavin bilang aja, mama sama papanya lagi kerja. Pudingnya sebagai tanda perkenalan aja gitu, terserah deh aden mau ngomong apa juga." Kali ini Bibi Ira yang tampak kesal meladeni pemuda itu.
"Oh gitu, ya udah."
Gavin segera keluar, dia mengajak Mamang si penjaga gerbang untuk menemaninya.
"Mau kemana, Den?" tanya lelaki tua itu.
"Ke sebelah, yuk temenin."
"Saya, Den?" ucap Mamang menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, emang ada siapa lagi di sini selain Mamang."
"Hehe, baiklah den."
Mereka menuju keluar, Gavin tampak nervous dan berdiri di depan pagar milik keluarga Agatha.
"Mang, tolong pencet belnya," ucap Gavin.
"Baik, Den."
Mereka berdiri menunggu seseorang datang membukakan pagar. Setelah berjemur beberapa menit. Akhirnya orang yang di nanti tiba juga.
"Gavin, hey kok lo di sini," seru Agatha melihatnya.
"Em, ya. Gua bawa puding lezat khusus untuk si tetangga baru."
Keduanya tertawa, Mamang terkejut melihat keakraban mereka.
"Yuk masuk, nyokab gua ada di dalam."
Gavin menyerahkan pudingnya kepada Agatha dia melihat jam tangannya dan sekarang dia harus segera bersiap.
"Em, sorry. Tapi gua ada janji sama anak-anak, kami mau ke satu tempat. Jadi kayaknya gua harus langsung pulang, maaf banget ya Tha. Salam aja buat nyokap lo," ucapnya.
"Wah, acara malam Minggu. Apa lo sedang kencan?"
Gavin tersenyum sebagai jawaban.
"Ya udah, deh Gavin." Agatha tamoak kecewa mengetahuinya.
"Dah!"
Gavin pun pamit pulang, dia tak percaya jika pertemuannya akan sesingkat ini.
"Den, anaknya cantik banget ya. Udah akrab aja."
Gavin menoleh mendengar ucapan Mang Salim.
"Diem deh, Mang. Orangnya ntar denger."
"Ya nggak apa-apa. Eh emang benar aden mau kencan?"
Gavin menatapnya sekali lagi.
"Mamang ini bawel, persis sama dengan bi Ira."
Mang Salim terpaku di tempatnya.
"Enak aja, ganteng gini di samain sama Ira yang cerewet." Gavin geli sendiri mendengar ucapan lelaki tua itu.
Dia buru-buru masuk dan bertemu dengan bi Ira lagi.
"Cepet banget, Aden beneran ngasih kuenya sama tetangga kita kan?" tanya wanita itu.
"Iya, "
"Ketemu sama tuan rumah?"
"Iya, "
"Nama mamanya siapa?"
Gavin mengernyit.
"Apa itu penting?"
"Ya jelas dong, kan ke sana tujuannya untuk kenalan. Nanti kalau mama dan papanya den Gavin nanya, bibi jawab apa?"
"Ya salam. Kalau gitu kenapa bukan bibi aja yang pergi tadi, nemenin Gavin kan bisa langsung beres. Bibi juga enggak bilang harus kenalan sama mamanya kan?"
"Masa harus di ajarin, den?"
"Auw ah! Bodoh amat. Bilang aja namanya Markonah, bapaknya Saefudin. Aku telat nih, awas aja masih ngeganggu."
Gavin berlalu naik ke lantai dua. Moodnya jadi berantakan hanya gara-gara masalah puding.
Sudah jam lima, tanpa terasa waktu berlalu dan dia segera mandi.
Pukul 06: 02.
Andra kembali mengingatkan nya lewat pesan.
[Bro, awas kena macet. Gua tinggal nunggu calling an dari Erika dan langsung cabut menjemput Rindu.]
Gavin tersenyum penuh arti.
[Oke, gua juga cabut nih.]
Pemuda itu sangat percaya diri, dia memakai kemeja putih dengan celana jins warna hitam tidak lupa jam tangan dan kacamata melengkapi penampilannya. Gavin menyemprotkan parfum ke seluruh badan. Dia tersenyum bahagia. Membayangkan pertemuannya dengan Rindu.
"Ah, semoga nggak hujan."
Bibi Ira mendongak melihat Gavin bersenandung. Pemuda itu bersiul sambil menuruni tangga.
"Bibi aku cabut dulu ya, pulangnya mungkin agak malaman," pamitnya.
"Den Gavin nggak makan dulu? Bibi udah siapin loh."
Gavin menolak.
"Nggak ah, ntar telat lagi. d**a bibi, oh iya satu lagi. Jangan ngaduh ke abang ya, bilang aja Gavin nggak kemana-mana."
Bi Ira hanya bisa mematung.
"Ogah ah, Den. Bibi jangan di ajarin bohong."
Gavin segera meluncur, tidak peduli dengan Bi Ira yang memanggil di belakang.