Agatha terkejut mendengar ucapan Gavin, walau begitu dia mencoba untuk tersenyum.
"Lalu, kenapa nggak di umumin cepat, Vin?"
"Lo, nggak tahu, Ta. Dulu ada kakak kelas yang selalu ngerecokin kita. Nggak suka lihat kita sama-sama apalagi kalau dia sampai tahu kita pacaran. Kacau deh pokoknya."
Erika dan Andra tertawa.
"Bisa-bisa Rindu bonyok akibat ulahnya."
"Segitunya?" ucap Agatha tak percaya.
Semua orang mengangguk tapi tidak dengan Rindu.
"Udah, kamu mau aja dengerin omongan mereka. Makanannya di habisin, bentar lagi bell bunyi loh."
Rindu sangat ramah terhadap Agatha. Tanpa dia sadari gadis itu menyukai kekasihnya diam-diam.
"Selamat ya untuk kalian, kalau gitu cuman gue dong yang jomblo di sini."
Gavin hanya tersenyum. Rindu bukan tipe orang yang suka memamerkan hubungannya. Gavin harus bersikap biasa saja saat mereka di sekolah, dan mencuri kesempatan saat mereka berada di kantin.
Seperti sekarang, dia tengah memegang tangan Rindu di bawah meja dan sibuk bercengkrama untuk mengalihkan pembicaraan.
Rindu kebanyakan mendengarkan ucapan teman-temannya. Gavin sangat jahil, kadang dia hanya mengusap telapak tangannya kadang juga dia menggelitiknya.
"Ngomong-ngomong, katanya abang lo bakal pulang untuk menjemput nenek sihir itu, bener nggak sih?" tanya Andra tiba-tiba.
"kayaknya nggak, denger kabar dari mana lo? Bukannya Zean udah berangkat ke Singapore."
"Dari dia lah, sebelum lulus kan dia ember banget. Calon kakak ipar lo tu meski nggak di tanya, informasi akan keluar dengan sendirinya tahu nggak lo."
"Sialan lo Ndra."
"Kalau gua sih nggak tahu sekarang, bang Devon juga nggak pernah ngabarin."
Agatha tampak mendengarkan dengan seksama.
"Emang abang lo kemana, Vin?"
"Ke Singapura."
"Oh, wah keren tuh. Gue juga dapat tawaran dari kakak untuk nerusin kuliah di sana."
Semua orang spontan menoleh ke Agatha.
"Sumpah lo?"
Agatha mengangguk antusias.
"Iya, jadi ntar tunggu lulus dulu langsung cabut deh kesana. Mungkin ada baiknya gue emang nggak pacaran kan. LDR berat woi, mana gue orangnya setia,"
Rindu melepaskan genggamannya di bawah meja. Hatinya tiba-tiba memikirkan ucapan Agatha yang masuk di akal.
"Emang cewek aja yang setia, laki-laki juga kali. Gua ma Rindu jangan di tanya, kalau dia sampai macam-macam gua langsung pulang ngelamar jadiin istri."
Semuanya tertawa terbahak-bahak.
"Dih sadis banget lu, Vin."
"Biarin, biar dia sadar. Kalau udah jadi istri kan tinggal gua boyong ke mana pun gua pergi."
Gavin merangkulnya. Berusaha mengembalikan senyum ceria kekasihnya namun yang terlihat hanya senyum kikuk tak percaya diri.
**
Waktu berlalu dan acara makan-makan pun selesai, makanan di kantin bu Siti raib tak tersisah. Semua orang menyalami Gavin dan pergi dari sana.
"Thank you, Vin. Sering-sering aja traktirin kita."
Gavin tertawa.
"Oke sama-sama."
"Thank you, Vin. Lo beruntung banget dapetin pasangan duet lo."
"Yoi dong, gua pepet terus pokoknya."
Kantin mulai sepi dan semua orang pergi kecuali gengnya Gavin.
"Bu, totalin aja. Berapa?" seru Gavin memanggil bu Siti dari meja tempatnya duduk.
"Baik, Den."
Gavin bangkit dan mengusap bahu Rindu pelan. Dengan perlahan dia menuju ke bu Siti dan mengeluarkan dompetnya.
"Ndu, LDR itu emang berat tantangannya. Tapi, untuk khasus lo dan lihat Gavin bucin banget. Nggak usah di pikirin juga."
Agatha mendengarkan pembicaraan mereka.
"Aku nggak mikirin kok, biasa aja. Lagian kalau jodoh nggak akan kemana."
Gavin kembali dengan dompet yang lebih tipis.
"Yuk, bentar lagi jam pulang sekolah." Gavin langsung meraih tangan Rindu. Erika dan Andra berdiri mengikuti mereka menuju ke kelas.
Agatha benar-benar tak memiliki tempat di sana, meski begitu dia terbilang cerdas. Bisa masuk ke obrolan mana saja agar dia mendapatkan perhatian.
"Bagaimana, kau senang?" tanya Gavin pada Rindu.
"Kok nanya aku, aku kan nggak minta kamu mengumumkan."
"Ndu, aku tuh pengen lihat kamu sekali-kali happy tahu nggak."
"Happy kok, masa iya nggak happy."
Sikap yang selalu di sembunyikan Rindu membuat Gavin merasa dirinya benar-benar tak di cintai.
"Kalau happy, pulang sekolah nanti jalan, yuk?"
"Nggak ah, mama minta di temenin ke rumah sepupu. Aku nggak bisa keluar."
Gavin berhenti berusaha, dia benar-benar bingung menghadapi Rindu jika moodnya terlanjur berantakan.
**
Lonceng berbunyi waktu pulang pun tiba. Rindu benar-benar keluar dan menuju ke mobil jemputannya.
"Ndu, tunggu dulu."
Rindu hanya melambai.
"Nggak bisa Vin, pak supirnya buru-buru."
Gavin tak bisa mengejar, dia menendang kerikil dengan asal. Kecewa karena di abaikan Rindu.
"Woi lu kenapa?" tanya Andra menyusulnya.
"Gua kesal, gua kira dia bakal happy dan lebih terbuka sama gua. Yang ada dia malah makin minder."
"Haha haha, ya salah lo, Bro. Udah tahu dia pemalu lu malah umumin ke semua orang. Megang tangan lo aja pasti dia mikir. Gimana kalau dia di kecengin."
Gavin meringis di tempatnya.
"Maksud gua kan baik, au ah. Cewek emang ribet banget."
"Sabar Vin, belum juga anniversary satu tahun udah ngeluh. Lu ma enak masih malu-malu, nah kalau Rindu terlanjur nyaman dan lo ngelihat gimana aslinya. Dan nyatanya lo nggak suka."
"Apaan sih, dia gimana juga tetep gua suka. Jangan asal bicara lo!"
Gavin masuk ke dalam mobil lalu menyetir pulang ke rumah.
"Eh, Bro."
Andra menyesali ucapannya.
"Ya, semoga aja dia nggak salah paham."
Andra meremas rambutnya erat.
Erika dan Agatha keluar bersama.
"Gavin mana? Nih, bukunya ketinggalan."
Andra melihat buku yang di pegang oleh Agatha.
"Udah pergi, sebaiknya jangan temui dia dulu. Tahu kan, maksud gua."
Gadis itu menggeleng.
"Gavin lagi bete, dia belum bisa menaklukkan Rindu. Gitu deh kalau sahabat berubah jadi cinta susah di buat bucin."
Erika menyikut lengan cowoknya.
"Apaan sih, cewek itu nggak mesti manja-manja terus kan? Ada kalanya kami memang tertutup. Bukan karena nggak cinta tapi, masih ragu sama diri sendiri. Apalagi Agatha bahas LDR-an."
"Ah, kok gue sih?" Gadis itu terkejut.
"Ya iya, Gavin juga akan ke Singapore saat lulus sekolah, sementara Rindu akan melanjutkan di sini bareng kami. Kepikiran dengan omongan lo ya bisa aja dia galau, apalagi Rindu itu tipe perasa."
"Yuk, Beb. Cabut."
Erika tidak terlalu sreg dengan gadis itu, meski Agatha cantik dan pintar bergaul. Erika memilih memasang tembok di antara mereka.
Melihat pasangan itu pergi, Agatha pun menuju ke mobilnya.
"Dih, gitu aja ambekan. Yang salah siapa, yang di salahin juga siapa."
**
Tiba di rumah, Gavin terkejut melihat mobil Zean berada di halaman. Perlahan dia menuruni mobil dan melihat sekeliling.
"Bukannya dia udah terbang ke Singapura, ngapain dia di rumah gua."
Gavin melangkah dengan cepat memasuki rumah. Pintu sudah terbuka namun tidak ada siapa-siapa dia ruang tengah.
"Bi, mobil Zean ada di depan. Orangnya mana? Ngapain dia datang ke sini."
Bi Ira terkejut melihatnya.
"Oh itu, Non Zean ada di kamarnya bang Devon."
"Kamarnya bang Devon, dih ngapain! Bibi juga kenapa nggak di tahan sih."
Gavin terburu-buru naik ke lantai dua.
"Den, jangan!"
Gavin mengabaikan panggilan itu, dengan mantap membuka pintu dan terkejut.
Devon dan Zeana saling berciuman di dalam kamar.
"Gavin!"
Pemuda itu melotot.
"Oh, sorry. Salah lo yang pulang nggak ngabarin."
Gavin bergidik melihat kelakuan mereka.
"Vin, tunggu dulu."
Zean tak melepaskannya.
"Biarin aja sih, dia juga nggak kemana-mana."
Zeana kembali menautkan bibir mereka membuat Devon tetap di sana.