Chapter 36 memberikan pelajaran

1177 Words
Rindu menuju ke rumah Gavin setelah mendapatkan izin dari sang mama. Tak lupa dia membawa tentengannya, masakan yang telah di buat khusus oleh sang mama karena Rindu mengatakan sahabatnya itu sedang sakit. "Hah, merepotkan sekali," keluh Rindu. Gadis itu berdiri di depan pagar menunggu Mamang sang penjaga rumah Gavin segera menghampirinya. "Permisi, Pak, saya Rindu temennya Gavin," ucapnya sopan. Tak menunggu lama bagi Mamang untuk membukakan pintu. "Iya, Non. Tadi den Devon sudah ngabarin saya, kalau non Rindu mau datang." Rindu segera masuk di kawal oleh penjaga itu. "Gavinnya sekarang dimana, Pak?" ucapnya penasaran. "Di kamar, Non. Belum keluar juga dari pagi. Oh iya, ini kunci kamarnya, kalau-kalau den Gavin nggak keluar-keluar." Rindu menggapainya dengan ragu. "Kok di kasih ke saya?" "Iya, kalau kami yang buka takut dapat masalah nanti, Non. Den Gavin kalau marah serem." "Oh," Rindu mengerti. "Baiklah," Bibi menyambut hangat kedatangannya. Gadis itu di terima dengan baik di rumah Gavin. "Non Rindu ya? Ayo non masuk," ucap Bibi ramah. "Terimakasih, Bi." "Den Devon udah ngabarin kalau non Rindu akan segera datang. Bantu bujuk den Gavin keluar ya Non, kasihan belum makan seharian." Rindu tidak mengerti mengapa semua orang memandang Gavin lemah, memperlakukannya seperti bocah SD. "Baiklah, Bi. Akan aku coba." "Ya udah, kita langsung ke lantai dua aja ya, Non." Rindu mengangguk, mereka pun naik ke lantai dua, Bibi mengarahkannya langsung ke kamar Gavin, gadis itu menatap ke sekitar, lantai dua rumah Gavin terlihat sederhana. Tidak ada pernak pernik, hanya ada sofa dan gitar tempat sahabatnya itu meluangkan waktu. "Ini Non, kamarnya. Saya antarnya sampai sini aja ya." "Baik, Bi." Rindu mulai mengetuk pintu, berharap Gavin akan segera datang untuk membukanya. Tok tok tok. Tok tok tok. Tak ada pergerakan sama sekali. "Gavin, ini aku Rindu. Boleh masuk nggak?" ucapnya lemah. Tidak ada jawaban dari dalam, Rindu pun menoleh ke Bibi. "Kok nggak nyahut ya, Bi?" "Nggak tahu, Non. Di buka aja pintunya." Rindu masih mengetuk, berulang kali hingga diapun menyerah. "Gavin, aku masuk ya!" ucapnya dengan suara lantang. Rindu mengeluarkan kunci yang di berikan Mamang barusan. Dengan yakin membuka pintu itu. Klik. "Ayo, Bi. Temenin saya," ucap Rindu menyentuh tangan si bibi. "Jangan non, saya takut." Raut wajah si bibi tampak gugup. "Takut sama siapa? Kan di dalam cuman ada Gavin." "Dih, saya di sini aja Non, kalau ada apa-apa, non Rindu tinggal manggil saja." Rindu lagi-lagi mengernyit. "Baiklah, aku masuk ya." Pintu terbuka, Rindu terkesiap melihat ruangan yang gelap. "Saklar di mana sih?" ucapnya meraba dinding. Klik. Ketemu ruangan pun menjadi terang benderang. Kamar Gavin sangat rapi, ada rak buku dan meja belajar. Lemari pakaian di sudut tak jauh dari sisi ranjang. Rindu terperangah melihat pemuda itu belum berganti pakaian dari kemarin. "Ya Tuhan, Gavin. Bangun nggak!" ucapnya kesal. Gavin tidur tengkurap, samar dia mendengar suara Rindu memanggil namanya. "Gavin, aku tuh sampai ditanya sama bu guru, kenapa kamu nggak datang ke sekolah dan ternyata kamu tiduran doang!" "Cerewet!" gumamnya. "Apa!" Rindu mencari air dan menyiramkannya ke wajah pemuda itu. Byur! Gavin terkejut lantas segera bangun dan melihat Rindu memegang gelas. "Lo! Lo nyiram gua?" Rindu gemetar melihat tatapannya. "Iya! Kamu nggak nyahut dari tadi mau gimana lagi!" "What! Lo ngapain di kamar gua!" Rindu menatap ke sekeliling dia mencari sesuatu untuk melindungi dirinya. "Awas lu ya! Berani lo nyiram gua!" Gavin segera turun berusaha menangkapnya. Melihat raket listrik tak jauh dari sana, Rindu pun melompat untuk mendapatkannya. "Hah, dapat." Raket listrik itu di gunakan untuk mengancam Gavin. "Mau ngapain lo? Woi!" Gavin terbelalak dan segera naik ke atas tempat tidur, bibi yang mengintip di balik pintu tertawa melihat majikannya. "Ngapain kamu bilang! Kamu buat aku khawatir, bu Hafzah sampai nelpon tapi ponsel kamu, kamu matiin. Nggak sopan banget." "Wow, wow, wow. Tenang, Ndu. Lu kesurupan ya, datang-datang langsung mau ngehajar. Raketnya buang dulu." "Nggak akan! Mama aku sampai masakin bubur buat kamu karena ngira kamu sakit. Ternyata, hah. Dasar tukang kibul." Wajah Rindu benar-benar bete. "Lah, salah gua dimana, Ndu. Gua kan nggak ngabarin lo. Gua cuman bolos hari ini doang, ini lo masuk kamar gua, gimana caranya?" "Diem kamu! Keluar nggak!" Gavin bergidik, seluruh pakaiannya basah dan raket listrik itu terlihat mengerikan. "Aku sampai belum makan siang tahu nggak! Demi nyusul kamu kesini. Dasar ngeselin!" "Iya, iya!" Bibi terlonjak kaget saat Gavin membuka pintu. Wanita tua itu terkejut. Wajah majikannya basah dan raut wajahnya tampak kesal. "Bibi ngasih dia izin masuk?" tanya Gavin dengan tatapan tajam. "Bukan den, itu perintah den Devon." "Devon? Jadi ini ulahnya abang." Gavin berjalan menuruni tangga. Benar-benar tak percaya melihat kedatangan sahabatnya itu. Sementara Rindu mengekorinya dari belakangnya. "Kenapa tu muka? Nggak suka lihat aku datang ke sini, aku bahkan hampir datang bareng Erika dan Andra tahu nggak. Kita semua tuh khawatir." "Yang bilang nggak suka siapa sih, Ndu. Caranya aja yang nggak gua nggak suka. Lu ngancem gitu kayak apa tau nggak?" "Lo khawatir atau niat bunuh gua?" Rindu menurunkan raketnya. Dan menyerahkannya pada bibi. "Mau gimana lagi, dah dibangunin dari tadi kamu nggak bangun-bangun. Ya udah, nggak ada cara lain selain disiram. Itupun masih mending nyiram pake satu gelas air, coba pake satu ember sekalian." "Dih, sadis banget lu, Ndu. Dendam kesumat ya," "Auh ah, gelap!" Rindu tidak menimpalinya lagi. Mereka tiba di lantai dasar, Gavin akan menuju ke sofa ruang keluarga tapi Rindu menahannya. "Mau kemana kamu?" tanyanya menahan langkah sahabatnya itu. "Duduk, mau ke mana lagi?" "Ke dapur Gavin, makan. Aku tuh laper tahu nggak." "Lo dateng ke sini buat numpang makan?" "Enak aja, ini aku bawa sendiri. Puas!" Gavin menuju ke meja makan, Bibi hanya bisa menggelengkan kepala melihat anak asuhnya menuruti setiap ucapan Rindu walau kasar. "Terus, yang lo bilang masakan nyokap lo mana?" tanyanya. "Ini," tunjuk Rindu pada makanan yang ada di hadapannya. "Eh kok lu yang mau makan?" protesnya. "Ya, karena kamu kan nggak sakit, Vin. Mending makanan ini aku makan sendiri." Gavin tidak terima dan merebutnya kembali. "Enggak boleh dong, ini kan dibuatkan, diniatkan untuk gua. Bukan buat lo!" "Ish, nyebelin banget. Dosa lo makan makanan yang di niatkan untuk orang sakit tapi kamu sehat-sehat saja." "Bodoh amat." Gavin memakan bubur buatan mama Rindu dengan lahap, sedang Rindu dengan terpaksa menikmati masakan si bibi. "Lu, suka udang dan cumi, kan? Tuh bibi masak banyak," tunjuknya santai. Rindu menatapnya jengkel. "Iya, terimakasih jamuannya." Gavin tak percaya Rindu menyusul ke rumahnya. Dia tersenyum meski sedikit gondok melihat sikap kasar sahabatnya itu. "Kupasin udang dong, gua kan lagi sakit," ucapnya manja. Tidak ada siapa-siapa di sana hanya ada mereka berdua. "Apaan sih, pura-pura doang sakitnya. Nggak, kupas sendiri sana!" "Oh, gua telepon tante asyla nih, gua aduhin lo. Gua bilang Lo datang-datang langsung nyiramin muka orang sakit dan nggak mau ngurusin." "Idih, kamu kan nggak sakit. Nyebelin banget deh Gavin!" "Hatiku sakit, Ndu. Udah buruan layani gua." Rindu menatap tajam. "Ish, pemaksaan. Pokoknya lain kali aku nggak mau lagi di minta ke sini, apalagi kalau alasannya bilang kamu lagi sakit. Nggak akan percaya lagi." Gavin tidak peduli. "Kan bukan gua yang bohongin lo, makanya kalau bang Devon minta tolong jangan di tanggepin. Percaya sama dia, percaya tuh sama gua."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD