Chapter 33 Toko buku bareng Rindu

1420 Words
Gavin menemui Rindu, gadis itu benar-benar datang dan menunggunya di taman. Dia memakai dres yang cantik berwarna fanta. Melihat mobil sahabatnya parkir di pinggir jalan, Rindu pun segera menghampiri dan masuk ke kursi depan. "Ehm, mukanya kenapa lagi?" tanya Rindu menutup pintu mobil. Gavin terlihat kacau, wajahnya di tekuk membuat Rindu penasaran. "Emang kentara, ya?" Gavin segera melihat dirinya melalui kaca spion. Rindu terkekeh. "Aku hanya bercanda," Gavin tampak manyun dan membantunya memakai seat belt. "Kirain kamu beneran." Mobil melaju langsung menuju ke bandara. "Aku pergi dari rumah dan langsung menjemputmu. Jengkel saja jika bertemu dengan Zean di sana." Rindu jengah juga mendengar masalah sahabatnya yang hanya berputar di itu-itu saja. "Lalu Bang Devonnya gimana?" "Aku udah kabarin kalau kita langsung ke bandara." "Emm, oke." Rindu memilih diam sepanjang jalan, sikapnya tampak tidak seceria biasanya. Gavin menyalakan musik, sekedar melengkapi perjalanan mereka. Alunan indah dari Bunga Citra Lestari. Berjudul Kecewa sedikit menguras emosi. "Kamu suka lagu yang melow ya, nggak nyangka?" tebak Rindu menikmati musiknya. "Nggak, kebetulan aja keputar." "Ku ingin marah," goda gadis itu. "Marah aja," Rindu tertawa terbahak-bahak. "Nih lagu, nyindir kamu tahu nggak." "Apaan, aku baik-baik saja." Rindu dan Gavin terdiam sejenak, mereka menikmati lagunya dalam diam. Perjalanan menuju ke bandara berjalan lancar, Gavin dan Rindu tiba tepat waktu dan langsung menemui Devon yang sedang menanti sambil merangkul Zean. Hubungan mereka semakin mesra saja membuat Gavin tambah muak. "Dih," reaksi lelaki itu saat melihat Zean bergelayut manja. "Hust, jangan buat masalah. Kasihan Kak Devon," tegur Rindu. Gavin memang tak salah, Rindu sangat mengenal dirinya bahkan jika dia akan menumpat. "Bang!" Pemuda itu melambaikan tangan dari kejauhan. Devon dan Zeana spontan menoleh. "Hey!" Devon melepaskan Zean dan berjalan memeluk adiknya. "Kalian darimana aja? Pesawat bentar lagi berangkat." Rindu menyalami lelaki itu. "Nggak tahu nih Gavin, jemputannya lama kak, jadi nyampe sini juga telat." Rindu tersenyum ramah seperti biasa. "Tidak apa-apa, Rindu tolong jaga dia ya, sekalian kakak minta nomor telepon kamu." Devon menyerahkan ponselnya. Rindu terperangah, dia menoleh pada Gavin dan juga Zean yang tengah memperhatikan mereka. "Em, kak." "Isi aja, siapa tahu nanti kakak mau nanya soal Gavin tapi ponselnya nggak aktif. Kita nggak tahu kedepannya gimana, apa kakak butuh bantuan atau nggak. Anak ini kan nyusahin," ucapnya mengacak-acak rambut Gavin. "Apaan sih, nggak jelas banget." Gavin menatap Rindu, pemuda itu memberi isyarat agar Rindu setuju memberikan nomor ponselnya. "Ah, baiklah." Zean melotot saat Rindu mengisi nomor ponselnya di hp Devon. "Ini kak, udah." Devon tersenyum dan menyimpan nama gadis cat di sana. "Oke, sepertinya giliranku hampir tiba. Kalian baik-baik ya, sampai bertemu lagi di tahun mendatang." Gavin mulai cengeng saat Devon melambaikan tangan ke arahnya. "Bang!" Devon kembali memeluknya. "Percaya sama abang, Rindu akan membuat kamu happy dua hari kemudian." Rindu mengernyit mendengarnya. "Loh kok aku kak?" protesnya. "Nggak tahu, kakak yakin aja kamu bisa buat dia mandiri." "Idih emang dia dinas sosial," seloroh Gavin. [Perhatian, para penumpang pesawat Garda Indo dengan nomor penerbangan GA328 tujuan Singapura dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu A12.] Percakapan mereka terjedah mendengar announcement yang baru saja di sampaikan. "Ah, itu sepertinya pesawatku." "See you guys, bye!" Devon melambai tidak lupa mencium bibir Zeana di depan Gavin dan Rindu. "Oh ow," Rindu hanya tersenyum namun tidak pada Gavin, lelaki itu jijik melihat kedekatan sang kakak. "Ingat, jangan nakal, Z." Zean mengangguk malu, di melambai melepas kepergian kekasihnya. Devon melewati beberapa pemeriksaan dan menghilang di balik dinding. Zeana merasa sangat lega, dia terlihat bahagia dengan dunianya sendiri. "Ehm," deheman Gavin membuyarkan kebahagiaannya. "Eh, kalian mau pulang juga kan? Nebeng dong," Zean bersikap sok akrab. Gavin semakin muak melihatnya. "Lihat, aku benar kan?" ucap pemuda itu pada sahabatnya. Zeana menatap mereka aneh. Rindu tertawa melihat suasana hati Gavin yang semakin kelabu. "Udah sih, kan kita memang mau langsung pulang. Enggak apa-apa dong pulangnya barengan." Zeana mengangguk antusias menyambut ucapan Rindu. Sementara, yang berkepentingan langsung menolak dengan tegas, kedua tangannya membuat formasi menyilang untuk menolak. "No, big no! Sana pulang aja naik taksi. Gua mau kencan," ucap Gavin ketus. Zean termangu melihat perubahan sikapnya. "Vin, kasihan ka Zeana, kita kan searah," Rindu berusaha membujuk. Gavin menggeleng tegas. "Memangnya kenapa, pokoknya enggak ya enggak. Sana pesan taksi aja," Gavin melangkah keluar dan mengapai tangan Rindu di sisinya. Tidak peduli bagaimana reaksi Zeana saat ini, lelaki itu tak ingin memberinya kesempatan. Pesawat Devon mengudara di angkasa, Zeana benar-benar harus menggunakan taksi untuk tiba di rumah. Rindu menatap Gavin lekat saat mereka tiba di parkiran. "Vin, kamu tega biarin kak Zean naik taxi sendirian?" "Memangnya kenapa? Dia bukan anak kecil lagi kenapa kau begitu khawatir." "Vin, bagaimana kalau kak Devon tahu. Apa kamu nggak ngerasa sungkan." Gavin masuk ke mobil dan langsung menyalakan mesin. "Bang Devon tahu kok, kalau aku memang nggak mau nganterin dia. Semua yang berhubungan dengan dia nggak boleh deket-deket sama kita." Rindu menghela napas, dia pun duduk di kursinya dan bersikap tenang. "Kamu benci banget sama kak Zean. Jadi inget pepatah." "Apaan sih?" Gavin menyetir meninggalkan bandar udara. "Hati-hati membenci terlalu jauh, jangan sampai dia berubah jadi cinta." "What! Dengan Zeana. Oh, jika tidak ada perempuan lagi di dunia ini aku tidak akan jatuh ke pepatah murahan seperti itu. Aku akan mencarimu dan memilih menaklukkan hatimu." Rindu terkesiap. "Apaan sih, kita bahas siapa kamu juga bahas apaan. Nggak nyambung!" "Jodohkan? Ngapain nyari jodoh yang udah jelas tabiatnya, udah sadis gitu." "Dasar pemilih! Sok cakep, sok iya." "Biarin. Soal jodoh mesti selektif dong. Berbobot, cantik, murah senyum, ceria, ngangenin, pintar ngehibur dah 99 persen di ambil kamu semua." Gavin tertawa, dia puas menggodanya. "Idih dasar tokek modus!" Gavin terkekeh. "Kenapa manggil aku tokek sih? nggak ada cakep-cakepnya sama sekali." "La iya, udah pas banget tu julukan. Pinter ngegombal tapi nggak punya pacar, mau di bilang buaya nggak punya gebetan. Udah tuh, sekelas tokek aja masih merayap masih mending kan, besar dikit. Dari pada aku panggil cicak." Gavin meringis mendengar celotehnya. Rindu berubah, kini banyak bicara. "Aku langsung pulang aja ya, Vin. Takut mama nungguin di rumah." Wajah Gavin terlihat tak rela. "Masih siang nih, kita ke taman aja dulu. Aku jajanin." Rindu mendelik. "Nggak ah, paling di traktir cilor doang. Mending di rumah baca komik denger musik sambil rebahan." Gavin tersenyum mendengar kebiasaan unik Rindu. "Komik? Kamu suka komik apa?" "Em, rahasia dong." Tiba-tiba terpikirkan sebuah ide. Gavin membawa Rindu ke toko buku terbesar di kota itu. Mobilnya terparkir di depan kedai ice cream yang menyajikan halaman yang luas untuk nongkrong. "Kamu ngapain berhenti disini?" tanya Rindu penasaran. "Buat jalan-jalan manjain sahabat sendiri boleh kan?" Senyum Rindu merekah. "Beneran?" Gavin mengangguk mantap. "Yuk, let's go." Rindu terkesima, Gavin menggenggam tangannya seolah mereka adalah sepasang kekasih. "Kau bilang, kau suka komik kan? Di sini kamu bahkan boleh milih n****+ apa aja yang ingin di bawa pulang." Rindu terpukau melihat jejeran rak buku dan koleksi yang tertata rapi. "Serius, tapi kan buku di sini nggak murah, Vin." "Nggak masalah, anggap aja ini upah karena nemenin aku," ucapannya sedikit nyelekit membuat Rindu mendongak. "Ets, aku nemenin kamu nggak minta upah." "Iya paham." Gavin membawanya memasuki toko buku. Di bagian depan terpajang beberapa karya dari penulis terhebat. "Disana bagian komiknya," ucap Gavin menariknya menjauh. Gavin mengira gadis itu suka dengan komik bergenre romantis. Nyatanya, Rindu malah memilih komik anak kecil, seperti detektif Conan, Inuyasa, Genre komedi pun tak luput dari incarannya. Gavin juga mencari buku untuk dirinya sendiri. Dia beralih ke n****+ romance. Mencari cara meluluhkan hati sahabatnya. Tangan lelaki itu dengan teliti menunjuk n****+ satu per satu. Dia masih tak menemukan apa yang dia carinya. Gavin berganti posisi, waktu berlalu dan Rindu sudah memiliki beberapa buku untuk di bawah pulang. Bug. Gavin terkejut, dia bertabrakan dengan Rindu yang akan mengambil satu n****+ dengan judul Penantian. "Eh, maaf." Rindu menggapai buku itu dan segera pergi. "Tunggu." Gavin menahannya. "Dari judulnya sepertinya n****+ ini sad ending." Rindu menatapnya dan tersenyum. "Sok tahu." "Eh iya kan? Kamu beli buku ini untuk siapa?" Pertanyaan itu terdengar konyol. "Untuk aku lah, untuk siapa lagi?" "Kalau gitu aku pinjam." "Ih, nggak boleh gitu dong. Kan aku belum baca!" "Tapi, Ndu." "Nggak, lagian ngapain cowok baca n****+ seperti ini. Kalian main bola aja, nggak usah bikin sesak toko buku." Jika Rindu telah angkat bicara maka selesailah sudah. "Iya, iya! Ambil sana, puas." Rindu tersenyum. Tanpa Gavin tahu, gadis itu telah mengoleksi beberapa buku sad ending dengan judul yang hampir sama. Dia tak pernah menemukan sebuah buku berjudul penantian yang berakhir bahagia. Rindu memang semewek ini, membayangkan hubungan jarak jauh dia malah kasihan pada Zeana. "Udah?" Rindu mengangguk lemah. "Ya udah, sini aku bayarin."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD