Suara pintu di gedor kuat dari luar, matahari bersinar terang. Gavin belum bangun juga dan tertidur lelap di bawah selimut.
"Vin, temenin jemput mama dan papa dong, tidur mulu udah jam berapa nih?"
Devon terus berteriak tapi tidak ada pergerakan dari dalam.
"Vin, buka pintunya!"
Menunggu beberapa menit dan hasilnya sama.saja. Devon terpaksa menggunakan kunci cadangan.
"Nih anak kalau udah ketemu bantal gak bisa dibangunin baik-baik. Bi! Bi Ira minta kunci!"
Bi Ira datang tergesa-gesa, wanita tua itu tampak sempoyongan menyerahkan kunci pada Devon.
"Ini, Den."
"Udah jam 09.00 belum juga bangun, nih anak bener-bener."
Ceklek pintu terbuka, Devon segera masuk ke dalam dan langsung menarik selimut Gavin menjauh.
"Apa-apaan sih, Bang! Ganggu tahu nggak!"
"Mau tidur sampai jam berapa? Bentar lagi jam 10.00. Pesawat mama dan papa bentar lagi mendarat."
"Apa?" Gavin spontan membuka mata, lelaki itu terduduk di tempat tidurnya.
"Buruan bangun, siap-siap sana. Abang tunggu di bawah."
Gavin begitu lemas, sesaat dia mendengarkan dan sejenak matanya kembali tertutup.
"Kamu mau ke bandara atau nggak? Abang tinggalin nih?!"
"Iya, iya."
Devon tak jadi turun dan memilih menunggu di kamar, jika dia turun maka kacaulah semuanya.
Gavin dengan mata setegah terpejam memasuki kamar mandi. Dia gosok gigi dengan malas, dan terdengar lagi suara teriakan dari sang kakak.
"Gavin!"
"Iya! Ah ini mandi." Lelaki itu mengguyur tubuhnya dengan air. Sepuluh menit kemudian, pemuda itu keluar dan segera berpakaian.
"Lihat jam, kamu tuh lelet banget!"
Gavin menoleh melihat jam tangannya. Rupanya Devon tidak sedang bercanda, dia segera selesai dan menyisir rambutnya.
"Oke deh, Bang. Gua siap!"
"Nah gitu dong, makanya jangan banyak begadang." Setengah hati dia mendengar semua omelan sang kakak.
Gavin tidak menimpalinya, dia berjalan mengikuti Devon keluar dari kamar dan menuruni tangga.
Kunci mobil di raih di atas meja, kali ini Devon yang menyetir.
**
Tiga puluh lima menit kemudian, setelah terjebak macet yang lumayan lama. Akhirnya mereka tiba di bandara.
"Wah kacau nih, gara-gara kamu sih kelamaan di bangunin jadi telat kan?"
Gavin dan Devon menunggu bersama dengan pengunjung yang lain, semuanya membawa pernak pernik atau spanduk sedikit heboh demi menyambut orang tercinta.
"Ya, kita mana nggak bawah apa-apa lagi."
Para penumpang melewati pengecekan dan keluar menghampiri keluarga mereka satu per satu. Sudah sangat lama, Gavin ingat terakhir kali bertemu dengan kedua orangtuanya saat dia akan memasuki sekolah menengah pertama.
"Itu dia!" ucap Devon menepuk pundak adiknya.
Gavin melambaikan tangan, rasa rindu begitu kuat namun dia menahannya sekuat tenaga.
"Mama! Papa! Di sini!" Devon sangat bersemangat dan terus melambai.
Sang mama melihat semua orang dan tersenyum bahagia melihat kedua putranya berdiri menunggunya.
"Papa, Gavin di sana," ucap Nagita mama Gavin.
Ardian menoleh, dia terharu melihat putranya tumbuh dengan baik.
Nagita melambaikan tangan meminta anak-anaknya menepi.
"Ayo, Vin."
Tiba di lobby, Nagita dengan senyum mengembang merentangkan tangan. Gavin sedikit kikuk dan diam saja.
"Sana, mama memanggilmu."
Gavin terkesiap.
"Bagaimana abang bisa tahu dia memanggilku atau memanggilmu."
"Bodoh! Kau tidak lihat mama menatapmu penuh kerinduan."
Gavin tertunduk, karena dia tak maju juga. Nagita lah yang mendekat.
"Gavin, anak mama. Mama kangen banget sama kamu." Air mata pemuda itu jatuh membasahi wajah. Nagita menciumi wajah putranya dan memeluknya erat.
"Kamu udah besar, mama sampai pangling lihat kamu lebih tinggi dari abang."
Devon memeluk papanya dan tersenyum mendengar ucapan sang mama.
"Mau gimana lagi, abang selalu ngalah ya gini, Ma. Pertumbuhannya mandek, di bawah enak sama Gavin semua."
Kedua orangtuanya tertawa. Ardian mendekat dan memeluk jagoannya itu.
"Anak papa nih, lihat gantengnya sama kan."
Gavin tersenyum mendengar itu.
"Apa yang membuatmu murung, Nak? Kenapa moodmu berantakan seperti ini."
Gavin menyeka airmatanya, baik sang mama atau papanya terus merangkul dan mengusap kepalanya dengan sayang.
"Abang marahin Gavin sepanjang jalan, Pa."
"Apa, wah minta di hukum sama papa dia."
"Hey," Devon melotot.
"Bukan seperti itu, dia bangunnya kesiangan, Pa. Untung aja aku bangunin, coba kalau aku nggak, udah aku tinggal gitu aja."
Nagita mencubit perut Devon, cubitan sayang yang selalu mereka lakukan.
"Ah Mama,"
"Kau tidak boleh seperti itu pada adikmu, sekarang katakan dimana gadis yang bernama Rindu itu?"
Gavin terkesiap sedang Devon tertawa penuh arti.
"Gavin nggak ngajakin, Ma. Dia sibuk main sama sahabat barunya. Rindunya di cuekin, Devon aja belum pernah ketemu lagi sama dia."
"Sahabat baru?"
"Abang ember banget sih, mana berlebihan banget." Gavin menatap bete.
"Tapi, bener kan? Iya ma, anak tetangga sebelah. Ternyata mereka satu sekolah."
"Anak laki-laki memang wajar seperti itu, dia sangat mirip dengan papa." Ardian tampak bangga mendengar ucapan Devon.
"Gavin, tidak boleh menyakiti hati perempuan. Apa kau dan Rindu bertengkar?" Sang mama sedikit risih mendengarnya. Gavin menggelengkan kepala.
"Tidak, Ma. Kami baik-baik saja."
"Kalau begitu ajak dia datang untuk makan malam. Mama nggak sabar untuk bertemu dengannya."
Gavin menghela napas panjang, bagaimana tidak, Rindu seolah menghindarinya. Setelah pulang dari sekolah, gadia itu bahkan tidak mengirimkan pesan atau sekedar mengobrol di telepon.
"Kenapa mukanya di tekuk seperti itu?" Nagita memperhatikan reaksi putranya.
"Nggak kok, Ma. Nanti Gavin jemput Rindu."
Mereka berfoto di bandara, Gavin sangat senang. Sang mama tidak melepaskannya sedikitpun.
Tiba di mobil, semua barang di masukan ke dalam bagasi. Gavin duduk di belakang bersama Nagita sedang Devon duduk di depan.
"Bagaimana kabar Bi Ira?" tanya Nagita saat memasuki mobil.
"Baik, Ma. Tambah tua makin cerewet," ucap Gavin spontan.
"Hust, Gavin. Kamu nggak sopan banget."
"Emang iya, mana kalau minta tolong ngomongnya satu-satu nggak sekalian, ya Gavin mondar-mandir di buatnya."
Semua orang tertawa termasuk Devon.
"Bi Ira nggak berubah, kita bersyukur karena beliau mau tahan ngurus kalian."
"Alah, kalau nggak sayang juga Gavin ganti."
"Gavin!"
Gavin cengengesan, hal itu tidak mampu dia lakukan. Pernah sekali Bi Ira meminta pulang kampung dan lelaki itu tak ingin pisah darinya. Jadilah Gavin ikut libur sekolah di desa wanita tua itu.
"Kamu bisa pisah sama mama tapi nggak bisa pisah sama bibi, sok-sokan mau di ganti, jangan sampai dia yang ganti kita loh."
"Kan bercanda, Ma. Jangan di bawah serius."
**
Tiba di rumah, kehebohan pun terjadi. Bi Ira menyiapkan kejutan kecil dan kue tart buatan sendiri.
Ceklek.
Pintu terbuka.
"Kejutan, Nyonya. Selamat datang di rumah,"
Nagita dan suaminya tersenyum. Dia menatap ke sekeliling dan melihat apa yang di buat bibi.
"Terimakasih, Bi. Semua ini bibi siapkan sendiri?"
Nagita terharu, pernak pernik seperti acara ulang tahun menghiasi ruang tengah.
"Bareng mang Salim, Nyonya. Syukurlah nyonya dan tuan pulang dengan selamat."
Kedua orangtuanya sibuk dengan bi Ira, Nagita sudah menganggap wanita itu sebagai orangtuanya sendiri.
Gavin yang iseng, mendekati kue di atas meja. Dengan santainya dia mencolek dan memakannya.
"Em, enak banget."
"Duh, Den Gavin kenapa di toel. Kebiasaan."
Gavin meringis, Devon dan kedua orangtuanya tertawa terbahak-bahak melihat Bi Ira memukul bahunya.
"Lah, kue ini di siapkan untuk siapa, Bi? Untuk di makan kan?"
"Untuk nyonya dan tuan, bukan untuk den Gavin. Punya Aden di kulkas."