Tiba di depan rumah Rindu, Gavin merasa gugup dan melihat dirinya berulang kali di kaca spion. Tingkah pemuda itu begitu aneh. Rindu memperhatikannya tanpa bicara.
"Penampilan gua gimana?" tanya Gavin berusaha tersenyum.
"Kayak anak sekolahan, apa lagi?" seru Rindu polos.
Mendengar itu, Gavin merasa kesal. Dia mencubit pipi Rindu dengan gemas.
"Auw, apaan sih! Sakit!"
"Gua nggak nanya soal itu, tapi nanya penampilan gua rapi atau nggak. Lo ngeselin ya lama-lama."
Rindu menatapnya aneh.
"Kenapa semua begitu penting. Santai aja, buruan masuk!"
Gavin membeku di tempatnya. Rindu tidak mengerti bagaimana hal ini begitu berarti baginya.
Mendengar suara motor di depan rumah, Asyla-mama Rindu menyibak tirai jendela.
Putrinya kembali bersama dengan seorang pria. Wanita itu tertegun sejenak.
"Jadi temennya Rindu laki-laki?"
Wanita itu segera pergi saat melihat putrinya mendekat.
Suara bel berdenting, Rindu memencetnya dan meletakan kotak kue di atas meja. Gavin masih diam di luar sana membuat Rindu jengah.
"Ayo dong, Vin!"
Rindu sampai harus menghampiri pemuda itu untuk menariknya. Entah kenapa nyali Gavin tiba-tiba menciut, hilang entah kemana.
Klik.
Pintu terbuka, Mama Rindu keluar melihat siapa yang datang.
"Hay, Ma. Kenalin ini Gavin, sahabatnya Rindu."
Mama Asyla menatap Gavin dari kaki hingga ujung kepala.
"S-saya Gavin tante,"
"Nama saya Asyla." Mereka saling bersalaman satu sama lain.
Gavin tertegun untuk sejenak. Wajah itu tidak terlihat asing.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Tante?"
Mendengar ucapan sahabatnya, Rindu lalu menatap mereka bergantian.
"Tante rasa tidak, kenapa? Apa kamu mengenal saya?"
Gavin menggeleng tidak yakin.
"Sepertinya hanya perasaan saya saja."
Rindu tertegun mendengar cara bicara Gavin yang begitu sopan.
"Oh iya, Ma. Ini oleh-oleh yang dibawa gavin untuk Mama." Rindu menyerahkan kotak kue tadi.
"Banyak banget, kalian mau buat mama diabetes ya?" goda Asyla.
Rindu dan Gavin saling menatap.
"Nggak dong, tahu tuh Gavin."
Rindu tersenyum. Suasana berubah menjadi hangat.
"Ayo masuk, kita makan siang dulu." Asyla masuk ke rumah lebih dulu. Gavin spontan memegang dadanya yang berdenyut tidak karuan.
"Kamu kenapa? Nervous ketemu mama aku."
Gavin meliriknya sekilas.
"Diem lu, lo mana tahu apa yang gua rasain."
"Ye, mana tahu kalau kamu sendiri nggak cerita. Emang aku paranormal."
Gavin melotot sempurna.
"Lo kok nyolot sih! Nantangin lo?!"
Asyla mendengar percakapan mereka. Tadinya dia berpikir jika Gavin dan putrinya memiliki hubungan khusus. Setelah mendengar cara bicara mereka. Dia yakin, Rindu dan Gavin hanya sebatas teman.
"Nggak, buruan masuk. Aku bikinin teh hangat."
"Gua bukan bapak-bapak,"
"Jangan milih-milih, mama tuh suka menyeduh teh untuk semua orang. Tunggu di sofa aja ya, aku mau ganti seragam dulu Siniin tasnya!"
Gavin mengangguk asal. Dia melepaskan tas milik Rindu dan memberikannya.
"Thank you," Rindu segera naik ke lantai dua tempat di mana kamarnya berada. Gadis itu tak menyangka jika bisa membawa Gavin ke rumahnya.
"Huh, aku pakai baju apa, ya?" Rindu segera ke lemari dan memeriksa koleksi pakaiannya.
"Ini apa itu? Oh iya kan aku naik motor. Nggak cocok pakai gaun atau rok."
Meninggalkan Rindu dengan kegelisahannya. Di ruang tengah saat ini, Gavin tampak kebingungan.
Di tinggalkan sendirian membuat lelaki itu sedikit risih. Dia menatap ke sekeliling dan melihat foto-foto yang terpajang.
"Maaf ya, Tante lama banget. Ini silahkan di cicipi."
Mama Rindu keluar dari dapur dan menyajikan es jeruk, juga kue tart yang telah di bawa pulang.
"Terimakasih, Tante."
"Sama-sama, oh iya. Denger-denger kalian mau nonton? Nontonnya berdua aja?"
Gavin menggeleng.
"Bareng Erika sama Andra. Jadi kami menang tugas prakarya sama bu guru. Kami merayakannya dengan ini sekaligus makan-makan."
Asyla mengangguk.
"Sebenernya, kami semua akan mampir kemarin sore, tapi Rindu menghalangi. Kita mau mohon maaf sama tante. Rindunya nggak cepet pulang karena mengerjakan tugas itu."
Dari sikap dan cara bicara Gavin, mama Rindu cukup menyukainya.
"Oke, kalau gitu kalian makan siang dulu ya."
"Jangan repot-repot tante, kami juga mau makan-makan di luar. Jadi sengaja nggak makan di rumah."
Gavin merasa dirinya sedang menghadapi sang kepala sekolah. Gugup dan cemas.
Beberapa menit berlalu.
Rindu segera turun, dia memakai celana jeans dan baju lengan panjang yang sopan.
"Lagi ngomongin apa?" ucapnya duduk di samping sang Mama.
"Nggak ada, oh iya. Kalau makan kue nggak akan kenyang kan, kalian makan dulu."
Mama Asyla meletakkan kue kesukaan Rindu di hadapan Gavin, dan kue lemon di hadapan Rindu. Gadis itu meringis tapi tidak mengeluh.
"Terimakasih, Tante."
Mereka memakan kue dengan lahap. Saat Rindu menggapai kuenya. Gavin bangkit untuk menukar. Tindakan pemuda itu membuat mama Asyla dan Rindu terperangah.
"Kau melihat kue ini di etalase hampir satu menit. Makanlah,"
Rindu tersenyum sumringah.
"Ah, maka dari itu kau membeli lebih. Manis sekali." Pujian Rindu menbuat Gavin dan mama Asyla mengernyit.
"Hentikan, aku merasa geli."
Mama Rindu tersenyum melihat mereka.
"Nak, Gavin ini tinggal dimana?"
"Saya tinggal,"
"Duh, mama. Soal itu di tanyain juga. Rindu tahu kok alamatnya, dia pernah di hukum sama abangnya dan minta nebeng mobil ke Rindu. Mamang nggak pernah cerita?"
Gavin terpejam mendengar sikap polos gadis itu.
"Oh, itu. Iya mama tahu."
Rindu menghabiskan kue tartnya dengan lahap.
"Udah telat nih, Erika pasti udah nunggu. Cabut yuk, boleh kan, Ma?"
"Boleh, tapi pulangnya jangan terlalu malam."
"Siap, Ma."
Gavin berdiri menyalami Asyla.
"Titip anak Tante ya, Vin. Terimakasih atas kuenya."
"Iya tante, sama-sama."
Gavin kembali meminum jusnya, mendadak tenggorokannya menjadi serak.
"Bye-bye, Ma!"
Asyla melambaikan tangan. Gavin dan Rindu kini menaiki motor.
Pemuda itu kembali menoleh pada Asyla sebelum cabut.
"Wah, hebat kamu ya bisa akrab sama mama."
Gavin mendadak bete. Ucapan Rindu seolah ledekan yang sengaja di ucapkan.
"Vin, kamu dengar nggak?"
"Denger. Lagian lo curhatin apa aja ke mama lo, Ndu. Astaga."
Gavin mengeluarkan uneg-unegnya.
"Lo nggak bicara yang aneh-aneh tentang gua kan?"
"Apaan sih. Aku nggak ngomongin yang lain."
"Tau ah, gua nggak percaya!"
Rindu memberi kabar pada Erika, dia mengirimkan pesan pada gadis itu jika dirinya dan Gavin sudah dalam perjalanan.
Bruuuuummmm.
Rindu tersentak, gadis itu spontan memeluk Gavin karena laju motor di percepat.
Keduanya tertegun. Rindu merasa tidak enak karena Pipinya menempel di punggung pemuda itu.
"Jangan ngebut dong, Vin. Kamu kenapa sih? Masih marah."
Gavin tidak merespon, dia semakin mempercepat laju motornya membuat Rindu berpegangan erat.
"Mama aku nanya, kenapa pulang telat! Dia ngira aku kelayapan. Aku ceritain tentang kamu, mama ku penasaran makanya minta bertemu. Kamu kalau nggak suka, lain kali nggak usah datang lagi. Berhenti, aku turun di sini saja."
Rindu merasa serbah salah.
Motor di rem mendadak membuat jantung Rindu berdegup tak karuan.
Gavin menoleh tanpa turun dari motornya.
"Gua nggak marah, maafin gua ya."
Rindu tertunduk, netranya tampak berkaca-kaca.
"Gua hanya gugup, takut nyokab lo mikir yang enggak-enggak. Gua takutnya lo nggak di bolehin main sama gua lagi."
Rindu tak percaya Gavin berpikir sampai ke sana.
"Sini tangan lo, pegangan. Gua janji nggak akan ngebut."
Rindu kehilangan kata saat tangan Gavin menggapainya.
"Gua sahabat lo, pegangan yang erat."