Rindu duduk termangu di atas kasur, masalah yang terjadi di sekolah membuatnya kepikiran.
Rindu takut orangtuanya akan mendengar kabar itu. Sang mama akan kepikiran dan memintanya pindah lagi.
Ting.
Satu pesan masuk datang dari Gavin.
[Hay, sedang apa? Sudah tidur belum.]
Rindu menatap pesan itu tanpa membalasnya.
Ting.
Pesan masuk satu lagi.
[Jika belum tidur, bisa keluar sebentar. Gua ada sesuatu buat lu.]
Rindu terkejut sekaligus penasaran.
"Dia di luar? Malam-malam begini, ngapain?" Rindu melihat jam, sekarang sudah jam sembilan.
Tampa membalas pesannya, Rindu mengintip di balik tirai jendela. Benar saja, lelaki itu berada di luar pagar sedang menunggunya.
"Duh, Gavin. Ada-ada aja sih, gimana kalau ada yang lihat."
Rindu dengan pelan menuruni tangga, mama dan papanya sudah tidak terlihat. Perlahan dia berjalan menuju ke pintu. Sangat hati-hati karena takut ketahuan.
Jika ada yang melihatnya sekarang, dia persis seperti pencuri. Rindu memakai Hoodie lucu untuk menutupi baju tidurnya. Duduk di samping pagar dan berbisik.
"Hey, ngapain kesini malem-malem?"
Gavin hampir saja jantungan di buatnya.
"Gua kira lu hantu, tahu-tahu muncul tak terduga."
Rindu menatap ke sekeliling, akan tidak enak jika ada yang memergokinya nanti.
"Hush, nanti di denger orang. Nekat banget ke sini. Emang ada keperluan apa? Nggak bisa nunggu besok?"
Gavin terkekeh melihatnya.
"Nih, buat lo."
Rindu mengernyit, Gavin menyerahkan sebuah paper bag berwarna cokelat.
"Perasaan aku nggak ulang tahun. Kok tiba-tiba di kasih bingkisan."
Rindu akan memeriksakannya, namun di tahan oleh lelaki itu.
"Jangan di buka di sini. Nggak sopan banget, sana masuk. Gua mau pulang." Gavin kembali mengambil sepedanya.
"Loh, bukannya sepeda kamu tadi di tinggal di sekolah, ya? Kok bisa di pakai ke sini?"
"Cerewet! Ini sepedanya bang Devon. Sana pergi, entar ketahuan pak RT auto di kawinin kita."
Bukannya tertawa, Rindu justru terhenyak. Gavin tersenyum melihat reaksinya.
"Woi, gua bercanda kali. Sana!"
Gavin pun menggoes sepedanya. Rindu tidak paham, mengapa Gavin repot-repot datang demi memberinya bingkisan. Rindu kembali ke rumah menenteng paper bag tadi.Dia begitu penasaran hingga berjalan sangat cepat.
"Isinya apa, ya? Kok tumben."
Tiba di kamar, Rindu pun mengeluarkan isinya. Dia tertegun tak percaya.
"Seragam, eh kok." Senyum terpancar di wajah gadis itu.
Ting.
[Semoga lo suka. Gua juga nggak tahu ukuran lo sebenarnya berapa?]
"Em, manis sekali. Nggak nyangka Gavin se care ini."
[Thank you, harusnya nggak perlu. Jadi nggak enak udah ngerepotin.]
Tak ada balasan lagi. Rindu menggantung seragam itu di hanger, dia memandangnya lama dan berpikir.
"Dia bilang tidak tahu ukuranku. Tetapi, kenapa seragamnya jadi pas banget. Aneh."
Setengah jam berlalu dan tidak ada balasan. Rindu akhirnya tertidur. Lampu kamarnya mati dan dia jatuh terlelap. Senyumnya terus mengembang melihat perlakuan Gavin kepadanya.
**
Ke esokan harinya, langit tengah mendung. Awan sangat hitam, perubahan cuaca tiba-tiba terjadi.
Rindu begitu nyenyak hingga enggan ke sekolah.
"Rindu, kau sudah bangun? Jam berapa sekarang. Kau hampir terlambat!"
Rindu menggeliat, teriakan sang mama di balik pintu membuyarkan mimpi indahnya.
"Rindu! Kok tumben sih, susah buat ngebangunin bocah ini.
"Rindu! Ayo bangun. Papa sebentar lagi berangkat kerja. Kamu mau jalan kaki ke sekolah?"
Rindu membuka mata.
"Jalan kaki, ah tidak. Iya, Ma! Ini Rindu udah bersiap."
Asyla tidak bisa langsung masuk karena pintu telah di kunci oleh sang empu kamar.
"Awas, jangan tidur lagi. Mama nggak akan naik lagi nih."
"Iya."
Rindu melihat jam, sudah pukul 06:39.
"Duh, mampus. Keburu nggak ya!"
Dengan cepat, Rindu mandi dan bersiap ke sekolah. Riki, ayah Rindu tengah menikmati sarapan dengan tenang.
"Tuh anak, tumben banget ketiduran. Sampai di gedor-gedor."
"Biarin aja, papa nggak buru-buru, kok."
Asyla menghela napas panjang.
Dua puluh menit kemudian, Rindu segera turun memakai seragam yang baru. Mama dan papanya terperangah melihat gadis itu.
"Rindu, seragam kamu udah bersih?" tanya sang mama heran.
"Ah, ini. Di bawain temen, Ma Semalem."
Riki yang sedang membaca koran kembali ke aktifitasnya.
"Oh, ya sudah. Sini sarapan dulu. Langit semakin mendung. Sepertinya hujan akan turun deras."
Rindu menatap jam tangannya.
"Enggak deh, Ma. Takut terlambat. Ayo, Pa."
Riki pun bangkit, dia mengambil tas kerjanya dan menyusul putrinya.
"Oh iya, Ma. Mungkin Rindu akan pulang telat, soalnya mau janjian sama temen-temen pergi nonton. Boleh nggak?"
Kedua orangtuanya membeku, ini adalah kali pertama putri mereka meminta Izin untuk hang out.
"Em, boleh. Tapi, kamu pulang dulu ke rumah untuk ganti baju. Sekalian mama mau kenalan sama temen-temen kamu itu."
Rindu tertegun. Dia terdiam cukup lama.
"Sayang, ayo nanti papa terlambat loh."
Melihat putrinya melamun, Asyla mendekat dan mencium keningnya.
"Mama izinin, janji. Mama hanya ingin tahu dan berterimakasih kepada mereka karena sudah membantu mama menjaga kamu."
Rindu mengangguk pelan. Meski akan terasa sangat canggung jika meminta teman-temannya mampir.
"Baiklah, Ma. Kalau begitu, Rindu pamit. Dah, Mama."
"Dah, Sayang."
Rindu berjalan keluar, papanya sudah menunggu dari tadi.
"Sudah siap, putri?"
Rindu tersenyum.
"Ih papa, apa-apaan sih. Buruan jangan sampai telat."
Riki tertawa melihat ekspresi putrinya.
"Berangkat."
Perjalanan menuju ke sekolah tidaklah jauh. Hanya butuh beberapa menit untuk mengendarai mobil.
"Ehm, jadi yang semalam itu, pacar atau?"
Rindu spontan menoleh.
"Papa bicara apa?"
Riki mengusap rambut putrinya.
"Papa melihat lelaki itu sebelum kamu keluar. Dia adalah lelaki yang sama yang mengantarmu pulang waktu itu."
Rindu terkesiap, tidak tahu jika ayahnya begitu jeli.
"Teman, Pa. Dia yang nolongin Rindu pas pertama masuk sekolah, dia juga teman sebangku Rindu. Bisa di bilang kami bersahabat."
Riki menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Laki-laki dan perempuan bersahabat?"
Rindu menoleh, menatap papanya tegas.
"Memangnya kenapa? Ada yang salah?"
"Unik, persahabatan antara laki-laki dan perempuan akan menciptakan rasa suka. Cinta akan tumbuh. Entah siapa yang akan memulai atau yang akan tersakiti."
Rindu mematung mendengar itu.
"Jadi, apa kau yang mencintainya atau dia yang mencintaimu."
"Papa bicara apa sih, kita tidak seperti itu. Tolong jangan salah paham."
Tanpa terasa mobil sudah tiba di depan sekolah.
"Baiklah, sudah sampai sayang. Hati-hati."
Rindu menyalami ayahnya dan mencium pipinya.
"Ingat, kalau mau nonton. Balik dulu ke mama. Jangan langsung pergi, takut mamamu akan cemas."
Rindu mengangguk. Di saat bersamaan, Erika dan Andra baru saja tiba.
"Hey selamat pagi," sapa keduanya.
"Pagi," ucap Rindu menghampiri Erika.
Riki yang melihat ke akraban putrinya merasa lega.
"Syukurlah dia benar-benar memiliki teman baru."
Papa Rindu pun meninggalkan sekolah. Di saat yang sama, Gavin tiba mengendarai motornya.
Erika dan Rindu menoleh saat lelaki itu memarkirkan kuda besinya.
"Hey, kalian baru tiba? Tugas kita gimana dong? Jangan-jangan!"
Mendengar ucapan Gavin, Erika, Rindu dan Andra segera berlari menuju ke sekolah.
Mereka berlomba untuk tiba di kelas lebih dulu.
"Aduh celaka, semoga karya kita nggak hancur lagi."
Gavin menyusul di belakang. Tiba di dalam kelas. Semua murid berkumpul mengelilingi prakaryanya.
"Oh, tidak."
Rindu dan Erika menatap semua orang.
"Ada apa temen-temen? Apa tugas kami rusak lagi?"
Rindu bertanya dengan cemas.
"Nggak, kami hanya kaget tugas kalian kok udah jadi," sahut salah satu teman sekelasnya.
Gavin dan yang lainnya merasa lega.
"Beneran nggak kenapa-napa?" Semua murid menjauh agar Gavin dan timnya bisa mendekat.
"Hah, syukurlah. Aku kira hancur lagi."
Rindu dan Erika saling merangkul.
Tidak lama, Bu Hafzah memasuki ruangan. Sang wali kelas terkejut melihat murid-muridnya berkumpul.
"Ada apa ini?" tanyanya.
"Nggak ada, Bu."
"Ya sudah, silahkan kembali ke kursi masing-masing."
Rindu dan Erika saling tersenyum. Mereka kembali ke kursi untuk menunggu pelajaran.
Ting ting ting ting.
Lonceng berbunyi, sebagian murid yang masih di luar segera masuk.
Gavin tak hentinya menatap Rindu. Pemuda itu senang karena bajunya benar-benar cocok.
"Oke, anak-anak untuk perwakilan tim. Silahkan naik ke depan. Kalian akan menggantung hasil kerja kalian di setiap sudut kelas ini, terserah mau di gantung dimana."
Rindu dan Erika menoleh pada Gavin dan Andra.
"Kalian aja, salah satunya."
"Eh, kok kita. Emang ketuanya siapa?"
"Yang namanya paling di atas dong."
Rindu dan Erika kompak menatap Andra.
"Kamu, Ndra. Sana pilih tempat yang bagus agar kita bisa melihat hasil karyanya dengan leluasa."
Gavin terkekeh.
"Awas lu pada, ketuanya kan Gavin. Gua aja izin masuk tim ke dia."
Gavin mundur sejenak, dia menatap Andra lesuh.
"Udah sana, timbang gantungin doang banyak drama."
"Awas lu."
Pemenang pun di umumkan.
"Juara pertama, di berikan pada tim Anita."
Tepuk tangan menggema, tim Anita bersuka ria. Rindu dan Erika hanya tersenyum.
"Juara kedua, di berikan ke timnya Bagas."
Yeeh.
Rindu mulai kehilangan mood.
"Ya udah lah, nggak menang juga nggak apa-apa. Yang penting kan usahanya," hibur Gavin.
Rindu mengangguk lemah.
"Dan yang ketiga, tim Andra. Silahkan kalian memiliki ke istimewaan untuk memilih tempat menggantung karya kalian untuk pertama kali."
Tim mereka menduduki posisi ke tiga dari yang terbaik.
Erika dan Rindu sangat antusias.
"Kita menang, bener kan?"
Gavin tersenyum.
"Lihat ke depan!" tunjuknya.
Andra sedang beruforia.
"Kita menang," bisiknya.
Erika dan timnya tersenyum antusias.
"Yes, Vin lo harus teraktir kita," seru Erika.
"Siap, gua udah siapin duitnya."