Chapter 43 Gulali untuk Rindu

1250 Words
Malam mulai larut dan Rindu tak sabar untuk pulang. Kedua orangtuanya memiliki aturannya sendiri. Dia harus kembali jika ingin mendapatkan izin lain kali. "Ke rumah hantu, yuk?" ajak Erika bersemangat. Rindu yang mendengarnya menggeleng pelan. "Nggak ah, kamu kan tahu aku nggak kuat sama yang horor-horor." "Ya nggak asyik banget," Erika merajuk. Andra dan Gavin menatap mereka bergantian. "Kalian pergi aja, gua sama Rindu tunggu di sini," Gavin memberikan solusi. Erika dan Andra saling melirik. "Vin, aku mau pulang. Udah jam berapa, takut mama nyariin." Andra menatap jam tangannya. "Baru juga jam sembilan lewat, buru-buru banget, Ndu. Besok kan libur." Rindu mengelengkan kepala. "Di rumah aku tuh ada batas jam malamnya. Ini pun udah telat," "Ya, sayang banget." Rindu tidak enak pada Erika. "Lain kali aja ya, atau kalian main aja aku bisa kok pulangnya naik taksi," usul Rindu yang langsung di tolak oleh Andra dan Gavin. "Jangan! Duh apa kata nyokab lo. Datang bareng kita pulang sendirian. Ya udah sana biar Gavin anterin Rindu." Erika setuju. "Bener banget kata Andra, kalian pulang aja duluan, hati-hati jangan singgah-singgah lagi." Rindu memeluk Erika erat. "Thank you udah ngertiin. Sorry ya aku harus balik duluan," "Nggak masalah, Ndu. Hati-hati di jalan. Bye!" "Bye." Gavin menyalami Andra dan cabut dari sana. "Bye, Bro. Mainnya jangan lama-lama." Andra tersenyum konyol. "Siap, bapak boss." Gavin terkekeh, dia lalu menggengam tangan Rindu dan membawanya keluar dari area pasar malam. Saat akan melompati parit, ada penjual gulali warna warni dengan aneka bentuk yang mencuri perhatian Rindu. "Wah, lucu sekali." Rindu seperti anak kecil yang tertawan begitu saja. Langkahnya membeku, terpesona dengan jajanan unik itu. "Kamu mau?" tanya Gavin menghampirinya. Rindu mengangguk dengan antusias. "Mang, berapa?" tanya Gavin. "Sepuluh ribu," Gavin mengambil semua bentuk yang di anggap lucu. Dan menyerahkannya pada Rindu. "Kebanyakan, Vin. Yang lain nggak kebagian," ucap Rindu tak enak hati pada pengunjung yang lain. "Nggak apa-apa, Mamang tinggal bikin lagi aja, semua ini punyamu. Hadiah dariku, kau suka?" Rindu terharu. "Hemm, suka. Terimakasih." Gadis itu tersipu, wajahnya begitu menggemaskan. "Ah, salah. Dalam hubungan nggak ada yang namanya terimakasih." "Terus?" Rindu menatapnya bingung. "Adanya, I Love you." Ungkapan Gavin sontak saja membuat Rindu malu. "Gavin, iseng banget sih. Orang serius juga." "Aku juga serius, Ndu. Pokoknya mulai sekarang cara bilang makasihnya ya i love you." "I Love you too, puas." Gavin tertegun setelah mendapatkan balasan, dia mengejar langkah Rindu dan ikut mencicipi gulalinya. "Maniskan?" seru gadis itu. "Manisan juga kamu." "Gavin, ih. Sejak kapan kamu belajar gombal?" "Dari dulu aku ngegombal. Kamunya aja yang nggak peka." Gavin membawa Rindu ke parkiran, dia membuka pintu mobil dan memperlakukan gadis itu dengan sopan. "Silahkan tuan putri," "Emm." Rindu akan bicara namun dia urung mengatakannya. "Eh, kok gitu sih. Tadi mau bilang apa?" "Nggak jadi, nggak mau." Gavin gemas di tempatnya. "Ya, curang," keluhnya. "Biarin." Gavin menuju ke kursinya dan menyalakan mesin. Sepanjang jalan, Rindu hanya diam. Kerlap Kerlip lampu jalanan tampak begitu indah di pandang. "Em, Vin. Soal hubungan ini," ucapnya risih. "Kenapa?" "Tolong jangan di sebarin di sekolah, kau tahu ka Zeana begitu membenciku." Gavin sebenarnya sudah muak mendengar nama Zean selalu di sangkut-pautkan dengannya. "Oke, sampai kapan aku harus berpura-pura?" "Sampai dua bulan lagi, kak Zean kan akan selesai dan kita naik kelas." Gavin mengangguk, dia menyanggupi keinginan Rindu. Sampai saat itu, hanya Erika dan Andra yang tahu semuanya. "Apa hal ini berlaku untuk di luar lingkungan sekolah?" Rindu mengeleng. "Oke, dill." Gavin tersenyum, dia terus menggengam tangan Rindu di sepanjang jalan. Menikmati getaran aneh dalam diri masing-masing. Lima belas menit kemudian. Mobil Gavin tiba di depan rumah Rindu. Sepuluh menit lagi tepat pukul 21:00. Rindu akan keluar namun Gavin tak melepaskan tangannya. "Em, Vin. Keburu mama sama papaku keluar." Gavin tersadar, dia melepaskan pegangan tangannya. "Sampai ketemu hari senin," ucap Rindu membawa gulalinya. "Hari itu masih lama, apa kau tidak bisa mengirimkan kabar. Kau akan membuatku merindukanmu setengah mati." "Gombal!" "Aku serius." "Pergilah Gavin sebelum pak RT tiba." Gavin menghela napas, setelah mendengarnya. Rindu benar-benar kaku. "Ya udah, bye." "Bye." Mobil Gavin melaju meninggalkan halaman rumah Rindu. Pemuda itu menyetir dengan pelan, dia tidak terburu-buru. "Andra pasti bersenang-senang di rumah hantu. Dia bahkan nggak ngabarin atau nanyain gua udah sampai dimana, ha nasib. " Gavin memasuki jalan yang mengarah ke kompleksnya, di kejauhan dia melihat sosok Agatha yang berjibaku dengan gitar di tangannya. Perlahan dia berhenti dan melihat beberapa anak mengelilinginya. "Apa yang sedang dia lakukan di sini?" Gavin melihat ke sekeliling, tempat itu area umum. Hak pejalan kaki. Tapi, Agatha dengan senyum mengembang stay di sana dan memainkan gitarnya. Rasa penasaran membuat Gavin keluar dari mobilnya yang nyaman. "Ayo kak, mulai!" "Yee, yee ... hem." Petikan gitarnya dan melodi yang tersusun terdengar apik. "Andai saja, aku bisa menjadi kekasih yang telah kau pilih. Namum sayang, semua sirnah. Kau dan aku berbeda rasa. He emm, oh ... hem hemm." suara Agatha sangat merdu, dia terus berdendang dan anak-anak di sekitarnya berkeliling meminta uang pada penonton yang hadir. "Jangan kira jantungku tak berdebar, saat kau mengatakan sesuatu tak terduga. Cinta tumbuh begitu saja. Dan aku suka ..." Tiba gilirannya, Gavin mengeluarkan dompet dan mengisi kantong kresek itu. Salah satu anak mendongak memperhatikannya. "Hay, kak. Kami tak punya uang untuk mengembalikan sisanya. Apa kau yakin akan memberikannya." Agatha yang tengah menyanyi menoleh menatap ke arah Gavin. "Dito ngapain?" panggilnya. Permainan gitarnya berhenti, pandangan Agatha saling terpaut dengan Gavin. "Eh, Vin. Kencan nya udah selesai?" sapanya ramah Gavin hanya tersenyum. "Lo masih ingat? Haha, jadi malu." "Ingat, dong." Para pendengarnya langsung bubar. "Eh kenapa berhenti, lanjut aja." Agatha merasa malu. "Nggak deh." "Tadi gua ke pasar malam, ini habis anterin Rindu karena kebelet ingin pulang." "Dia pasti beruntung, punya sahabat kayak lo yang selalu menjaganya." Pembicaraan mereka terjeda. "Kakak, orang ini menyumbang dengan uang yang banyak. Kita nggak bisa mengansulnya," seru Dito si anak pengamen. "Nggak apa-apa, uangnya untuk beli makanan kalian aja." Gavin mengusap rambutnya. "Yees!" Anak-anak itu bersorak. Gembira mendengar kebaikan hati Gavin. Mereka segera berhamburan untuk membeli makanan. "d**a kak Agatha!" "Eh, hati-hati, awas ada mobil." Anak-anak itu tiba di ujung jalan dan membeli makanan. Pemandangan yang sedikit mengharukan. "Lo bisa main gitar? Keren banget." Agatha tersadar. "Eh, iya. Jadi gue pernah masuk sekolah musik. Tapi masih awam sih, nggak jago-jago banget. Silahkan duduk, Vin Thank you untuk teraktirannya." Agatha adalah pribadi yang menyenangkan, dia juga rendah hati. "Sama-sama. Lo mau pulang sekarang? Kita searah jadi kenapa nggak bareng aja." Agatha terperangah. "Tapi, anak-anak." Dito dan kawan-kawannya kembali dan menyerahkan makanan untuk Agatha. "Kak ini untuk upah ngamen bareng. Hari ini kami akan pulang karena udah dapat buat makan." "Eh, nggak usah, Dit. Simpan saja untuk adik-adikmu. Lagi pula ini kakak juga udah mau pulang." Dito tampak berpikir. "Nggak kak, katanya tadi kakak mau bareng ngamennya. Hasilnya juga harus di bagi dong." Gavin menengahi dan menggapai makanan pemberian Dito. "Dia benar, ini artinya kalian tadi memiliki kesepakatan. Ya sudah sekarang ini buat lo." Agatha menghela napas. "Dadah kak!" Dito langsung pergi begitu saja. "Daah." "Ayo pulang, udah larut ini." Agatha mengangguk pelan. Mereka berjalan bersisian menuju ke mobil. Agatha duduk di depan, Gavin sendiri yang membukakan pintu untuknya. "Nyokab lo tahu lo berkeliaran dengan gitar seperti ini?" Gadis itu mendongak "Tahu, tapi beliau nggak tahu kalau gua ikut ngamen. Lagian niatnya kan hanya untuk bantu anak-anak itu makan." "Wah, gua salut sama lu. Gua aja nggak pernah melakukan itu." "Biasa aja, Vin." Lima menit kemudian mobil tiba di depan rumah Agatha. "Thank you ya udah anterin gue." Gadis itu menatapnya malu. "Sama-sama, nggak usah sungkan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD