6. IMAJINASI YANG SAMA

1312 Words
Aroma butter yang menguar dari arah dapur membuat perut Flo berbunyi karena lapar. Jika sang ibu sudah ada di rumah, maka tempat ini terasa hidup kembali. Rutinitas yang ia senangi setelah kembali dari Bali. Seperti sabtu pagi ini, ia tidak usah bangun terlalu pagi untuk menyiapkan sarapan karena Dayu sudah berkutat di dapur untuk menyediakan menu sarapan. Bukan sekadar menu biasa, tapi pasti bergizi dan menggugah selera. Flo bersemangat pergi ke dapur untuk menghampiri ibunya. mungkin ia bisa mendapat jatah lebih banyak karena Arga belum terlihat di meja makan. “Pagi Ma.” sapa Flo yang berdiri di sebelah Dayu yang sedang membuat sesuatu. Dayu menoleh sembari tersenyum. “Pagi sayang, sudah bangun rupanya.” “Wangi sekali. Mama buat apa?” “Pancake kesukaan kamu. Duduk dulu, biar Mama hidangkan.” Flo menggeleng, tidak mau menuruti titah sang ibu, “Biar aku bantu siapin, Ma. Memang aku semanja itu sampai harus Mama layani. Lagian Mama baru balik kemarin, pasti capek, kan?” Dayu tersenyum mendengar perkataan putrinya. Ia senang, keceriaan Flo kini sudah kembali. “Kamu memang anak kesayangan Mama. Perhatian sekali sama Mama.” “Oh gitu? Jadi anak kesayangan Mama Cuma Flo saja? Lalu yang ganteng ini, kesayangan siapa?” Suara Arga membuat Flo dan Dayu menoleh dengan wajah terkejut. Mereka tidak menyangka kalau saat ini orang yang sedang mereka bicarakan sedang berjalan ke arah mereka. “Kenapa pada diem? Jadi aku kesayangan siapa?” tanya Arga dengan raut wajah serius. “Nggak ada,” sahut Flo santai, sambil mengambil piring untuk menghidangkan pancake. “Ma.” Lagi-lagi Dayu tersenyum dengan tingkah anaknya. “Arga juga kesayangan Mama.” “Tapi tadi bilang anak kesayangan Mama si Flo,” protes Arga seperti bocah yang tidak terima jika dibandingkan dengan saudaranya. Bahkan pria itu bergelayut manja di lengan sang ibu. Flo berdecis mendengar protes adiknya. “Arga, kamu ini bukan anak kecil. Kenapa jadi manja begitu sih?” “Biar saja, suka-suka aku. Memang Cuma kamu saja yang boleh begitu.” “Sudah-sudah, jangan berdebat lagi. Kita sarapan dulu daripada pancakenya jadi dingin.” Keluarga kecil ini sedang duduk menikmati sarapan bersama, saling bercengkerama, bertukar cerita selama berjauhan. Tidak terlihat kesepian meski sosok penting di dalam rumah tangga sudah tidak ada lagi. Kesedihan mereka sudah berlalu cukup lama dan kini tersisa hanya mendoakan sosok ayah yang sudah tiada, agar baik tempatnya. “Ma, apa ada yang nanya soal aku?” tanya Flo kepada Dayu. “Bukan hanya kamu, tante dan om kalian juga nanya Arga.” “Maksud aku soal kegagalan rencana pernikahanku. Apa mereka masih bahas soal itu?” Dayu menghela napas, sambil menatap Flo. Bahkan ia tidak jadi memasukkan potongan pancake ke dalam mulutnya. “Kamu mau jawaban yang jujur, kan?” Flo mengangguk pelan. “Jelas Ma.” “Mereka masih heran, kenapa kamu yang baik, cantik dan mandiri bisa dikalahkan oleh orang ketiga,” jawab Dayu pelan. “Apa? dikalahkan?” kini Arga yang bersuara. “Mereka pikir Flo lagi tanding di ring tinju?” “Arga,” tegur Flo karena tahu adiknya emosi. “Kenapa mereka nggak ngomong di hadapanku aja? Mereka kira Flo yang salah? Yang salah itu cowok b******k itu. Isi otaknya Cuma kesenangan s**********n saja. Orang model begitu mau jadi kakak iparku? Ah, Tuhan sangat baik mau menunjukkan betapa busuknya dia.” ujar Arga berapi-api. Mendengar kekesalan adiknya, wajah Flo kembali menunduk. “Dia sudah menikah jadi jangan buang-buang energi hanya karna orang seperti itu, Ar.” “Itu kamu pinter, tapi kenapa harus pergi ke…” “Arga!” Dayu terkejut mendengar suara dari Flo yang meninggi. “Ada apa? Flo pergi ke mana?” Arga dan Flo saling lirik. Keduanya seakan memberi kode, mencari alasan agar sang ibu tidak curiga. Bagaimanapun, keduanya sudah sepakat untuk tidak memberitahu Dayu soal Flo yang mabuk dan pergi ke klub malam. “Pergi shopping, Ma. Hampir kalap dia belanja,” jawab Arga tanpa berani menatap mata sang ibu. Dayu mengangguk pelan, percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh putranya. “Mama kira Flo pergi ke tempat berbahaya.” “E-enggak kok, Ma. Selama Mama pergi, semuanya aman,” sahut Flo yang kembali menikmati pancake untuk mengurangi rasa tegangnya. “Jangan sedih lagi ya, sayang. Kalau kamu masih sedih karna permasalahan kemarin, Mama juga merasakan hal yang sama.” Flo mengangguk pelan, merasa bersalah melihat raut wajah sang ibu yang khawatir kepada. “Iya Ma. Aku akan selalu berusaha melupakan semua kenangan pahit itu.” “Eh Flo, gelangnya udah kamu ambil?” tiba-tiba perhatian Arga teralihkan pada benda yang melingkar pada pergelangan tangan sang kakak. “Kapan kamu ketemu Mas Bian?” “Oh, tadi malam,” jawabnya. “Kalian janjian buat ketemu?” Wanita itu menggeleng cepat. “Kemarin aku ke mall dan nggak sengaja ketemu dia. Jadilah dia antar aku pulang dan sekalian gelangnya dikembalikan.” Arga menyipitkan mata mendengar pengakuan Flo. Hal ini membuat sang kakak menjadi curiga. “Kenapa liatnya begitu?” “Nggak sengaja ketemu atau kalian memang janjian?” tanya Arga curiga. “Kamu nanya, udah aku jawab malah nggak percaya,” ucap Flo kesal. Dayu yang sejak tadi menyimak, penasaran dengan sosok Bian yang sepertinya familier di telinganya. “Bian siapa, Arga? Apa Mama kenal dia?” “Kenal Ma, Mas Bian kakak kelas aku waktu kuliah. Mama pernah ketemu waktu aku wisuda dan saat ini dia sudah di Indonesia.” Jelas Arga. “Beberapa waktu yang lalu sempat datang ke sini.” “Oh yang ganteng, tinggi dan ramah itu?” “Iya Ma. Kalau urusan ganteng, Mama memang selalu ingat,” goda Arga sambil tertawa kecil. “Kamu ini, kenyataannya nak Bian itu ganteng. Apalagi keluarganya juga baik sekali, kan?” ucap Dayu. “Mama benar. Meski dari keluarga kaya tapi sikap mereka sangat baik.” “Kapan-kapan undang Bian ke sini. Mama pingin ketemu dia, sudah lama nggak tau keadaannya.” “Kenapa harus ngundang dia sih, Ma? Memangnya dia sepenting itu?” tanya Flo yang sejak tadi memilih diam. “Penting dong, Flo. Nak Bian banyak membantu Arga selama kuliah dan jauh dari kita. Jarang ada orang seperti itu di negeri orang.” “Ya nggak usah undang ke sini. Tanpa Mama undang, dia pasti bakalan datang buat main game sama Arga.” “Nanti aku sampaikan sama Mas Bian, Ma. Jangan dengerin Flo, dia emang sensi banget sama Mas Bian. Enggak tau salahnya Mas Bian apa sampai Flo ketus begitu,” sindir Arga dengan tatapan tajam kepada kakaknya. “Jangan begitu, Flo. Orang baik harus diperlakukan juga dengan baik. Benci tanpa alasan tidak baik. Sekarang tidak suka, siapa tau kalian berdua malah jodoh.” Kedua mata Flo membulat sempurna. Bisa-bisanya sang ibu punya pemikiran yang paling Flo hindari. “Mama! Imajinasinya itu loh sama banget sama Arga. Heran banget deh.” “Mama benar, Flo. Katanya semakin kamu menghindar, maka semakin kamu didekatkan. Hati-hati saja,” sindir Arga. “Ih! Udah ah, aku mau nyuci dulu. Lama-lama dengerin omongan ngawur Mama dan Arga, bikin aku sakit kepala.” Arga dan Dayu hanya tersenyum melihat kekesalan Flo. “Kakak kamu, kalau nggak suka sama orang memang tidak tanggung-tanggung.” “Iya, Mama benar. Tapi aku penasaran, kenapa Flo sekesal itu dengan Mas Bian.” Flo berjalan ke kamarnya untuk mengambil pakaian kotor dan pakaian yang ia beli kemarin, untuk ia cuci. Wanita itu menaiki tangga sambil menggerutu sebal karena godaan ibu dan adiknya. “Kenapa sih Mama dan Arga kompak banget godain aku soal Bian. Mana omongannya bikin aku takut lagi. Amit-amit kalau sampai ketemu terus sama cowok nyebelin itu, bisa naik tekanan darahku karna emosi,” gerutu Flo. Tiba-tiba bayangan tubuh pria itu muncul dalam ingatannya. Tubuh kekar yang penuh dengan tanda merah karena ulahnya dan membayangkan tangannya juga menyentuh tubuh itu. “Astaga! Please, jangan pernah muncul ingatan soal tragedi memalukan itu. Sungguh bikin aku malu sampai ke ubun-ubun.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD