Teror?

1514 Words
Akhirnya Mas Aiman berkenan pergi dari ruangan tempat aku dan Mas Afif makan siang. Namun, dia tidak pergi sendiri melainkan mengajakku, menarik tanganku cukup kuat saat aku menolak ajakannya. Aku memukul dan menggigit lengannya berulang kali tapi dia tetap tak mau melepaskan ku. Mas Aiman bahkan sampai menggendongku ketika aku memberontak dan berusaha kabur, ketika dia menyuruhku masuk ke dalam mobil. Tenagaku tak cukup kuat untuk melawannya, lagipula aku sudah berada di dalam mobil dan tak bisa berbuat apa-apa lagi selain pasrah. Sepanjang perjalanan Mas Aiman sama sekali tidak bicara, melihatku pun dia tak mau. Kedua matanya fokus menatap jalanan yang siang ini lumayan padat. Dokter Afif “Manda, kamu tidak apa-apa?” Ah, aku baru teringat dengan Mas Afif. Saking kesalnya dengan Mas Aiman sampai lupa memberi kabar pada pria baik itu. Malas menulis pesan aku memutuskan menelponnya. Sengaja mengaktifkan loudspeaker agar manusia patung di sebelahku mendengarnya. “Sekarang kamu dimana?” “Masih diperjalanan. Mas Afif sudah sampai rumah sakit?” “Iya, baru saja sampai. Maaf tadi aku tidak bisa membantumu.” “Gapapa kok, sudah biasa aku duel sama Pilot gila.” Satu lirikan tajam ku dapatkan setelah menyindir Mas Aiman. Masih punya telinga ternyata. “Ya, sudah, nanti berkabar lagi. Aku harus masuk ruang operasi sekarang.” “Iya, Mas, semangat kerjanya.” Aku memasukkan ponsel ke dalam tas setelah menelpon Mas Afif. Tidak ada reaksi apapun dari Mas Aiman selain lirikan tajamnya tadi. Harusnya aku yang marah karena acara makan siang dikacaukan olehnya, kenapa malah dia yang merajuk? Mobil berhenti di basement apartemen. Dalam hatiku menggerutu kesal dengan ulah Mas Aiman. Mau pulang ke rumah kenapa harus muter-muter Jogja dulu? Kurang kerjaan banget. Brak ... pintu tertutup dengan keras. Mas Aiman turun lebih dulu tanpa mau mengajak atau menungguku. “Issshhh, nyebelin!” Aku berlari untuk mengejarnya dan sebelum pintu lift tertutup. Dengan sedikit terengah aku sampai juga di kotak besi yang akan membawaku ke unit atas. “Mas kumat ya gilanya?” Mas Aiman menatapku lekat, lagi-lagi dia tidak mau menjawab. Hanya helaan nafas kasar yang aku dengar. “Aku pulang saja deh kalau di diamkan seperti ini,” ujarku, setelah lift sampai ke lantai 28. “Buruan Mas keluar, aku mau turun ke lobby,” titahku pada manusia patung. Bukannya keluar sendiri, dia justru menarik tanganku. Kali ini tidak kasar seperti saat di restoran. Sesampainya di depan unit Mas Aiman, aku melihat ada seorang wanita yang sudah menunggu. Penampilannya super duper sexy hingga aku menganga dibuatnya. Apa wanita itu tidak malu d**a dan paha terpampang nyata seperti itu? Jaman memang sudah gila! “Koleksi Wanita mana lagi dia?” “Aku tidak mengenalnya,” jawab Mas Aiman, ternyata masih berfungsi juga mulutnya. Wanita itu tersenyum dan berjalan mendekati kami. Caranya menatap Mas Aiman membuatku kesal. Langkahnya pun bak model yang tengah berjalan diatas catwalk. “Aiman, aku sudah menunggumu dari tadi,” ujarnya lembut, namun terdengar menggoda di telingaku. “Kamu siapa?” “Aiman ... kok kamu melupakan aku sih,” rengeknya, mencoba memeluk lengan Mas Aiman namun dia reflek mundur. Menaruh badanku di antara keduanya. Mas Aiman seperti anak kecil yang tengah berlindung di belakang Ibunya. “Tante, Mas Aiman tidak mengenalmu lebih baik pergi dari sini sebelum aku memanggil security.” “Anak manis, namamu siapa?” tanya wanita di depanku dengan senyum mengerikan seperti penculik anak-anak. “Aku Manda, pacarnya Mas Aiman,” jawabku, berusaha menatap kedua mata berwarna biru di depanku. “Kami akan istirahat jadi Tante pergi saja. Lagian kami sedang tidak menerima tamu.” Aku menarik tangan Mas Aiman, lalu berjalan mendekati pintu. Sebelum menekan password, wanita itu membalik badan dan tertawa keras hingga menggema di lorong apartemen. Bulu kuduku seketika berdiri, takut jika yang aku temui saat ini adalah seorang psikopat. Terobsesi dengan Mas Aiman hingga berniat jahat. “Masuk yuk,” ajak Mas Aiman. Buru-buru membuka pintu lalu menutupnya. “Abaikan saja wanita di depan.” “Kamu yakin tidak mengenalnya Mas?” “Hmmm, aku bahkan tidak ingat pernah bertemu dengannya.” Aku merebahkan diri di sofa, membuang tas selempang sembarang arah. Rasanya lelah sekali hari ini. “Dari tatapan matanya Tante tadi suka sama kamu. Harusnya sih pernah bertemu beberapa kali ya.” Mas Aiman pergi ke dapur mengambil air mineral botol dingin. Memberikan ku satu, setelah itu ikut berbaring di sebelahku. “Serem banget lihat senyumnya, apalagi lipstiknya merah merona. Kayak abis makan ayam hidup, hihhhh.” Bukannya menjawab, Mas Aiman justru sibuk dengan ponselnya. Kepo dengan yang dilakukannya aku pun mendekat dan membaca pesan yang baru masuk. “Oh, tetangga unit,” ucap ku, pantas saja dia bisa masuk tanpa ijin dari pemilik. “Pindah saja, Mas. Ngontrak di perumahan Siva lebih aman.” “Buat apa aku ngontrak?” “Iya, iya yang uangnya banyak. Ya, sudah beli lah satu rumah di sebelah Siva. Biar aku gampang kalau mau ngapel.” “Memangnya masih ada rumah yang kosong?” “Masih ada, di sebelah kanan rumah Siva dan di ujung. Menurutku sih enak yang di ujung soalnya lahannya lebih luas.” “Ya, sudah beli sekarang,” jawabnya, enteng sekali ya beli rumah kayak mau beli cilok. Maklum sih, selain menjadi pilot, Mas Aiman juga memiliki beberapa bisnis di bidang jasa. Dia punya tempat pencucian mobil sekaligus cafe. Di Jogja sudah ada lima cabang, sedangkan Tawangmangu dan Solo ada delapan cabang. Selain ganteng dia sangat kaya, wajar jika banyak wanita yang mengejarnya. “Nanti aku ngekos di rumahmu ya, Mas?” “Tidak boleh!” “Pelit amat sih, lagipula rumah sebesar itu bakal sepi kalau ditinggali sendiri.” “Aku butuh ketenangan. Jika, ada kamu hidupku seperti dikejar-kejar debt collector.” “Alah, apaan, kalau lagi berdua aja bilang begini. Coba diingat-ingat lagi, apa yang kamu lakukan di restoran tadi? Kayak anak kecil yang lagi cemburu! Pakai acara banting nampan stainless lagi. Kelihatan banget cinta mati sama aku.” Mas Aiman tidak peduli, dia lebih memilih berbalas pesan dengan agen properti. Dokter Afif “Manda sudah di rumah? Aku mampir ya.” Mas Afif kembali mengirimkan pesan, dia seperti tidak mau berjauhan denganku. Sebenarnya dia pria baik dan lembut tapi aku tidak terbiasa diperlakukan seperti itu. Sejak dulu di tolak Mas Aiman dan di bohongi para laki-laki sialan yang hanya menginginkan uangku. Aku merasa tidak nyaman dan lumayan kagok saat diberi perlakuan istimewa. “Kenapa gak dibalas?” ternyata Mas Aiman sedang membaca pesanku. “Bingung mau balas apa. Aku tuh gak tega bicara ketus dan bersikap kasar sama Mas Afif.” “Sama aku saja kamu selalu melakukannya,” protesnya dan aku langsung memutar bola mata. Beda lah, Mas Aiman dan Mas Afif bagaikan api dan es. “Coba deh kamu ngaca dulu, gimana perlakuanmu selama ini padaku.” “Buktinya kamu masih ada di sebelahku saat ini,” cibirnya. “Di usir saja tidak akan mau pergi.” “Udah cinta mati nih, buruan diajak kawin deh.” “Husssttt, bicara apa!” “Aku kurang apa sih, Mas? Wajah cantik, otak cerdas, kaya raya, pekerjaan sangat mulia ...” betapa sempurnanya aku untuknya, sampai bingung mau menjelaskan semua kelebihanku. “Sama Afif saja kalau begitu,” jawabnya. Aku mencibirnya pelan, bilang kayak gitu setelah melakukan hal kekanakan di restoran. Gimana kalau aku benar-benar menikah dengan Mas Afif? Bakal dihancurkan pesta akad nikahku. “Oh, iya, Mas. Kata sekretaris Papa, dia bertemu dengan Mas Aiman di rumah sakit dua minggu yang lalu. Kamu sakit apa jenguk orang?” Aku sudah lama ingin bertanya soal ini tapi lupa terus. “Jenguk teman.” “Setiap bulan?” tanyaku lagi. “Tergantung, kalau ada teman sakit setiap bulannya ya aku jenguk tiap bulan.” “Oh, gitu ya. Kamu lagi gak sakit ‘kan, Mas? Jangan menyembunyikan sesuatu padaku! Nanti aku marah loh ...” Mas Aiman menggelengkan kepala, setelah itu mengangkat telpon agen rumah. Dia benar-benar membeli rumah yang letaknya di dekat rumah sahabatku. Setelah dia pindahan, aku akan ikut pindah. Mama makin ganas akhir-akhir ini membuatku tidak betah di rumah. “Mas sini dong, bantu aku mikir cara menolak Mas Afif.” “Sebentar,” jawabnya. “Aku sedikit mendongak agar tahu yang sedang dilakukannya. Ternyata memfoto KTP dan KK. Bosan menunggu Mas Aiman selesai mengurus soal pembelian rumah. Aku memutuskan membuka aplikasi chat yang ada di ponsel rahasianya. Silvi paling aktif mengirim pesan dan juga foto-foto dirinya tengah memakai lingerie. Jijik banget! Jadi, wanita kok murahan banget. Eh apa ini? baru saja ada pesan masuk. Aku berteriak dan melempar ponselku ke sembarang arah. “Masssssss ...” Jantungku berdetak kencang, tanganku gemetaran dan nafas ku tiba-tiba terasa sesak. “Apa itu tadi ancaman untuk Mas Aiman?” gumamku pelan. Mas Aiman mengambil ponselku lalu meletakkannya ke atas meja. Setelah itu, membawaku ke dalam pelukannya. “Sudah aku bilang hapus saja aplikasi chat di ponsel itu. Kamu sudah menyadap aplikasi chat di ponsel yang biasa aku pakai. Apa itu belum cukup?” Aku kesal dengannya, bukannya menenangkan ku malah mengomel. “Sudah aku hapus gambarnya, tidak usah takut,” ujarnya lagi. “Kamu punya musuh, Mas?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD