Agus sampai di rumahnya, dia masih belum tenang karena meninggalkan Sinta di Bar milik Rangga sendirian. Meski ada Heri yang mengawasinya dari kejauhan, dia tetap saja tidak bisa tenang. Agus mondar-mandir di ruang tamu, antara ingin menjemput dan membujuk Sinta untuk pulang atau tetap berada di rumah menunggu Sinta pulang, karena dia tidak ingin mengganggu Sinta yang sedang bersama Rangga.
“Ayo Agus, mikir! Laki-laki macam apa kamu, Gus! Melihat istrimu di sentih laki-laki lain!” umpat Agus dalam hatinya.
Agus mengambil ponselnya, dia ingin menelfon Sinta, tapi dia pun bingung ingin bicara apa, tidak mungkin langsung menyuruhnya pulang, karena Sinta pasti akan murka dan marah-marah tidak jelas dengan dirinya.
“Lebih baik aku kirim pesan padanya, supaya dia pulang, bilang saja eyang di sini menunggunya, pasti dia langsung pulang,” gumam Agus.
Agus sibuk dengan ponselnya, berkali-kali dia menghapus dan mengetik ulang kata yang akan di kirim pada Sinta lewat pesan singkatnya.
“Sinta, kamu bisa pulang lebih cepat tidak? Eyang di sini menunggu kamu.” Agus menuliskan pesan seperti itu pada istinya.
“Gus... Gus... mau kirim pesan seperti itu saja pakai acara hapus ketik, hapus ketik,” gumam Agus.
Agus duduk di sofa, dia menunggu Sinta membaca pesannya, tapi belum juga membacanya. Dia semakin panik, karena Sinta tidak membaca pesannya. Pikirannya sudah tidak karuan, dia takut Sinta lebih dalam melakukan hal yang merugikan dirinya. Agus kembali mengambil ponselnya dan menelfon Heri yang mungkin masih mengawasi Sinta di sana.
“Hallo, Heri. Bagaimana Sinta?” tanya Agus.
“Istri Pak Agus sudah pulang, dan sekarang saya masih berada di Bar, memantau kekasih istri Pak Agus, yang sedang bermain dengan wanita,” jawab Heri.
“Ngapain kamu malah memantau dia?! Ikuti Sinta! Malah lihatin manusia tidak beradab itu!” kesal Agus.
“Baik, Pak. Ini juga saya lakukan demi Istri Pak Agus, biar percaya kalau kekasihnya kelakukannya seperti binatang buas, dan saya juga sudah mengumpulkan bukti foto-foto Rangga beserta Videonya,” ucap Heri.
“Ya sudah kamu pulang!” titah Agus.
Agus mengakhiri panggilannya dengan Heri. Dia kembali duduk menunggu Sinta. Ada rasa lega karena Sinta sudah pulang, dan dia tidak menyangka dengan apa yang Heri katakan tadi, Rangga langsung bermain perempuan lain setelah Sinta pulang.
Agus menerima pesan dari Heri. Heri mengirimkan beberapa foto Rangga bersama para wanita penghibur. Ada sebuah Video juga, yang menampakan Rangga sedang bermain lebih dari sekedar mencium dengan wanita-wanita itu, padahal itu di luar. Dan banyak pengunjung Bar yang lain.
“Astaga...! ada-ada saja Heri, video macam ini dia kirimkan padaku!” umpat Agus. Tapi, Agus tidak menghapusnya, dia ingin memperlihatkan pada Sinta, kalau kekasihnya tidak sebaik yang ia kira.
Terdengar mobil Sinta yang masuk ke halaman rumahnya. Agus menyingkap tirai jendela yang ada di ruang tamu, dia melihat mobil Sinta yang berhenti di halaman rumahnya. Terlihat Sinta keluar dari dalam mobil. Agus kembali duduk di sofa. Dia sengaja menunggu Sinta masuk ke dalam rumah, dan ingin menunjukan foto-foto Rangga bersama dengan Wanita penghibur tadi, yang dikirimkan Heri.
Sinta membuka pintu depan, Agus melihat Sinta yang masuk tanpa salam dengan menatrap Agus yang juga sedang menatapnya.
“Ngapain kamu duduk di sini?!” tanya Sinta dengan sinis. “Apa kamu menunggu aku, Gus? Tidak usah lelah-lelah menungguku, Agus! Tidak ada gunanya, toh aku setiap hari akan seperti ini!” imbuh Sinta dengan menghunuskan tatapan tajam pada Agus.
“Kamu tidak baca pesanku?” tanya Agus.
“Pesan dari kamu? Aku rasa tidak penting membaca pesan dari seorang kacung sepertimu!” jawab Sinta dengan kata-kata tajamnya.
“Eyang ke sini, dan baru saja pulang, beliau menunggu kamu dari tadi,” ucap Agus dengan berbohong.
“Kenapa kamu tidak menelfonku, Hah?! Cari gara-gara saja kamu, Gus!” sembur Sinta.
“Kamu sedang meladeni laki-laki b***t itu, mau di telfon pun tidak akan kamu angkat, apalagi aku yang menelfon,” ujar Agus dengan santai.
“Laki-laki b***t? Maksud kamu Rangga?!” tanya Sinta dengan geram.
“Ya, siapa lagi?” jawabnya dengan berdiri dan mendekati Sinta.
Agus menarik tubuh Sinta dan menyandarkan ke dinding. Agus terus menghimpit tubuh Sinta hingga dia benar-benar terhimpit badan Agus. Sinta semakin takut, karena Agus menatapnya dengan tatapan tajam dan begitu murka pada dirinya.
“Agus! Kamu apa-apaan!” teriak Sinta dengan mendorong tubuh Agus, tapi dia tidak kuat, seakan tenaganya habis, karena Agus terus menghimpit tubuhnya, dan mengecup bibir Sinta dengan memberikan lumatan yang lembut.
“b******n! b******k sekali kamu, Gus!” umpat Sinta dengan menampar Agus.
“Tidak masalah kamu menamparku Sinta, aku hanya tidak ingin ada bekas bibir b******n itu di bibir kamu! Kamu juga harus lihat ini!” Agus memperlihatkan foto dan video dari Heri tadi.
Sinta mengambil ponsel Agus dan melihat semuanya. Sinta hanya tersenyum sinis di depan Agus. Dia tidak peduli dengan apa yang ia lihat di ponsel Agus. Tetap saja mata, hati, dan telinganya tertutup rapat sekali.
“Kau pikir dengan cara seperti ini, aku akan meninggalkan Rangga? Tidak sama sekali, Agus! Tidak usah mengikutiku, aku bisa menjaga diriku sendiri. Rangga melakukan ini karena aku belum mau di sentuh lebih olehnya, sebelum aku menikah dengan Rangga!” ucap Sinta dengan mengembalikan ponsel milik Agus.
“Aku baru melihat wanita cantik tapi berotak bodoh seperti kamu, Sin!” ucap Agus dengan kesal. “Wanita yang mau mendapat sisa dari wanita lain!” imbuh Agus.
“Kamu yang bodoh! Mau menikahi wanita dengan disogok jabatan di kantor eyang!” balas Sinta.
“Aku akan buktikan, Rangga tidak sebaik yang kau pikirkan, Sinta!” tegas Agus.
“Silakan saja buktikan! Sampai kapanpun, tidak akan pernah aku menganggap kamu suamiku. Kamu tidak lebih seorang kacung di rumah ini, Gus! Kamu laki-laki, tapi kamu menjual diri hanya karena jabatan! Di mana kehormatanmu sebagai laki-laki, Agus! Kamu bilang Rangga b******n, Rangga b******k?! Kamu lebih dari itu Agus! Yang sudah mencuci otak eyang dengan kepolosanmu!” umpat Sinta dengan kasar di depan wajah Agus.
“Lalu di mana harga dirimu, Sinta? Kamu dengan rela membiarkan dia menyentuh tubuhmu, sedangkan dia pun menyentuh wanita lain, dan lebih dari sekedar menyentuh!” balas Agus.
“Diam! Kamu bisa diam, Agus?! Aku lapar!” teriak Sinta.
Agus tersenyum sinis di depan Sinta. Dia pergi dari rumah dengan meninggalkan makan malamnya, tapi di sana tidak di ajak makan malam dengan kekasihnya.
“Hubungan macam apa itu? Perut kekasihnya saja tidak di urus, apalagi hidupnya?” ejek Agus dengan lirih.
“Kamu bilang apa tadi?” tanya Sinta.
“Enggak, silakan makan, tunggu di meja makan, aku siapkan makanan untuk kamu,” ucap Agus dengan berlalu meninggalkan Sinta.
Sinta masuk ke dalam kamarnya, dia membersihkan badannya terlebih dahulu, karena tadi bau alkohol yang ia dapat dari Rangga. Ya, minuman beralkohol adalah teman Rangga sehari-hari. Setelah selesai membersihkan diri dan memakai baju santai, dia keluar menuju meja makan menghampiri Agus yang sedang menata makan malam untuknya.
“Silakan nona cantik, makan malamnya sudah siap,” ucap Agus dengan mengambilkan nasi.
“Nasinya kebanyakan! Bisa dikurangin, Gus?” pinta Sinta.
“Oke,” ucap Agus.
Sebenarnya Sinta selalu menghindari makan terlalu malam, tapi entah mengapa malam ini dia begitu lapar sekali. Sinta mengambil sayur dan langsung menyantap makanannya.
“Masakan asisten baru lumayan bisa seenak ini?” ucap Sinta.
“Ya karena masaknya penuh dengan perasaan,” jawab Agus.
“Maksudmu?” tanya Sinta.
“Ya dengan perasaanlah, kalau enggak, pasti masakannya enggak jelas rasanya. Mungkin juga Nunuk sedang lega hatinya saat memasak tadi,” jawab Agus. Padahal dirinya yang memasak semua masakan yang sedang ia nikmati bersama Sinta.
“Oh, namanya Nunuk? Ya, mungkin saja,” ucap Sinta.
“Boleh ambilkan nasi lagi?” pinta Sinta.
“Boleh,” jawab Agus.
“Ehh enggak, nanti aku gendut,” ucap Sinta.
“Kenapa memang kalau gendut?” tanya Agus.
“Aku harus jaga pola makan, Agus. Kamu tahu profesi aku apa, kan?” jawab Sinta.
“Ya sudah sedikit saja nambah nasinya, nanti sayurnya yang banyak,” ujar Agus.
“Iya, deh,” jawab Sinta.
Agus mengambilkan nasi untuk Sinta dan mengambilkan sayur juga. Bukannya Agus yang diladeni Sinta tapi dirinyalah yang meladeni istrinya.
“Biarlah, yang penting dia suka masakanku,” gumam Agus dengan mengunyah makanannya dan memandangi Sinta yang sedang menikmati masakannya.
Sinta melirik Agus yang dari tadi memandangi wajahnya. Sejenak dia mengingat kejadian tadi saat Agus mencium dirinya di ruang tamu. Ada rasa aneh di dalam hatinya yang tidak seperti biasanya. Bahkan saat di cium Rangga dia tidak merasakan hal yang seperti saat di cium Agus.
“Hah... mungkin perasaanku saja!” ucap Sinta dengan lirih.
“Perasaan apa, Sinta?” tanya Agus yang mendengar Sinta bicara.
“Eng--enggak, itu, ehmm... perasaan aku tambah gendutan,” jawabnya dengan gugup.
“Masa sih? Enggak kok?” ucap Agus. “Pipi kamu merah kenapa? Seperti habis di cium seseorang yang membuat hatimu berdebar?” ujar Agus.
“Apaan sih, Gus! Enggak lucu tau!” tukas Sinta.
“Jangan banyak bicara, habiskan makananmu,” ucap Agus.
Agus juga tidak mengerti mengapa dia tadi sampai reflek mencium bibir Sinta dan melumatnya dengan lembut. Padahal seumur hidupnya dia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Dia sangat tidak rela ada bekas bibir Rangga di bibir istrinya, hingga tadi dia reflek mencium bibir Sinta, karena sudah terlampau geram dengan Sinta.
“Rasanya gini amat habis nyium istri sendiri. Mau bagaimana lagi, aku tidak rela orang yang aku cintai di cium oleh orang macam Rangga,” gumam Agus.
^^^
Seusai makan malam, Sinta menemui Agus yang sedang berada di ruang kerjanya. Agus masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Sinta duduk di depan Agus yang sedang sibuk.
“Ada apa, Sinta?” tanya Agus pada Sinta.
“Jenuh di kamar, enggak ada teman,” jawab Sinta.
“Kamu kenapa masih repot kerja gini, Gus? Bukannya kamu diangakat Eyang jadi direktur utama?” tanya Sinta.
“Ini pekerjaanku yang sesungguhnya, kalau masalah itu, aku Cuma mengawasi saja. Aku tidak ingin kerja santai, seperti makan gaji buta saja,” jawab Agus.
“Bukannya itu yang kamu mau? Mendekai eyang, untuk mendapat jabatan Direktur Utama,” ujar Sinta.
Agus menghentikan pekerjaanya. Memang menikahi wanita yang super kolot otaknya tidak bisa tenang hidupnya. Baru saja dia semangat bekerja karena ditemani Sinta bekerja, malah Sinta berkata seperti itu lagi.
“Sinta, kalau kamu mau mengajak ribut ini bukan waktunya! Aku sedang kerja! Ini proyek besar! Kamu boleh menganggap aku seperti apa, mau menganggap kacung, mau menganggap aku mengguna-guna eyang agar aku mendapat jabatan tertinggi, terserah kamu, Sinta. Tapi, kamu harus tahu, ini pekerjaanku, yang nantinya akan membuat perusahaan eyang semakin maju!” ucap Agus dengan sedikit kesal pada Sinta.
“Gak usah ngegas, dong! Lagian aku juga bicara santai,” ucap Sinta.
“Ya sudah, diam! Aku mau kerja, silakan duduk dengan tenang kalau masih mau di sini!” ucap Agus.
Sinta diam, dan masih duduk di depan Agus dengan memperhatikan Agus yang sedang serius bekerja.
“Dari wajahnya, memang tidak pantas seorang penjilat. Dia tekun kerjanya, lumayan juga wajahnya, masih pantas lah, jadi suami aku, meski aku terpaksa,” gumam Sinta dengan memandangi wajah Agus.
Sinta beralih duduk di sofa minimalis yang ada di ruang kerja Agus. Dia sibuk dengan ponselny dan mengirim pesan pada Rangga. Sinta tidak kembali ke kamarnya, karena dia merasa jenuh di kamarnya sendirian. Hingga ia tertidur di sofa karena menemani Agus bekerja.