Love Is Sinta Bab 11 - Bonus Malam Ini

1722 Words
Agus melihat istrinya yang tertidur pulas di sofa hingga terdengar dengkuran halus istrinya. Agus tersenyum melihat kecantikan Sinta yang natural tanpa makeup sedikit pun di wajahnya. Agus tidak menyangka, gadis cantik yang ia tolong di lokasi proyek yang sedang ia kerjakan saat ini, kini menjadi istrinya. Agus selalu mengira ini adalah sebuah mimpi, tapi tidak, ini adalah kenyataan yang sedang Agus hadapi. Menikahi wanita yang sangat cantik, dan berprofesi sebagai model terkenal ternyata penuh tantangan, apalagi dia juga harus menghadapi Rangga, yang tak lain adalah kekasih Sinta. Agus juga salut dengan Sinta, meski dia memiliki kekasih seperti Rangga, dia masih bisa menjaga mahkotanya, dan katanya sebelum menikah dengan Rangga dia tidak akan memberikannya pada Rangga. “Sedikit konyol ucapanmu itu, Sin. Bagaimana kalau Rangga memaksa kamu untuk melakukannya, kamu yang tertutup oleh cinta, apa bisa menolaknya secara logis? Sepertinya tidak? Tapi, aku salut, jika memang kamu belum pernah tersentuh hingga dalam oleh Rangga. Jadi aku masih memiliki kesempatan untuk mengambil hatimu, membuka mata, hati, dan telingamu, agar kamu bisa mendengar mana yang baik, kamu bisa melihat dan merasakan siapa yang tulus mencintaimu, Sinta. Hanya aku, Sinta, laki-laki bodoh yang mau diolok-olok kamu, di bilang kacung lah, apa lah, aku tidak masalah,” gumam Agus dengan menatap wajah Sinta yang sedang tertidur. Agus mengusap kepala Sinta dan mengecup keningnya. Dia berniat memindahkan Sinta ke kamarnya, karena Sinta di bangunkan susah sekali. Agus melihat kamar Sinta. Dia berdecak lirih melihat kamar Sinta yang sangat berantakan sekali. Baju kotor dan pakaian dalam berceceran di lantai dan di tempat tidur. “Maysa Allah, istriku ini, pandai sekali membenahi tempat tidurnya, sampai masih berantakan macam kapal pecah seperti ini,” gumam Agus dengan menggelengkan kepalanya. Agus membereskan dan membersihkan tempat tidur Sinta, dia juga memunguti baju-baju kotor Sinta dan memasukkannya ke basket laundry yang ada di belakang. Agus kembali ke ruang kerjanya. Sinta masih terlihat tertidur pulas. Agus mendekati Sinta, dia mengusap pipinya, dan mencium keningnya. “Sinta, pindah ke kamar, yuk?” ucap Agus. “Agus, aku ngantuk,” ucapnya dengan menyingkirkan tangan Agus. “Iya aku tahu, makanya pindah ke kamar, yuk?” ucap Agus sambil membangunkan Sinta. “Rangga....” Sinta mengigau menyebut nama Rangga. “Ini Agus, Sinta, bukan Rangga,” ucap Agus. Agus terpaksa mengendong Sinta ke kamarnya, karena dia masih belum bangun. Memang Sinta seperti itu, kalau sudah tidur di suatu tempat, dia susah untuk bangun dan pindah ke kamarnya. Agus merebahkan istrinya di atas tempat tidurnya. Dia masih terpaku melihat Sinta yang sudah tertidur pulas. “Sabar, Gus. Pasti suatu saat dia akan luluh dengan mu,” gumam Agus. Agus mengusap kening Sinta, membenarkan rambut Sinta yang sedikit menutupi wajahnya. “Mimpi Indah, istriku,” ucap Agus, dengan meninggalkan kecupan di kening Sinta. Agus akan beranjak pergi dari kamar Sinta, tapi tangan Agus merasa di pegang seseorang. Ya, Sinta memegang tangan Agus. Menahan Agus agar tidak keluar dari kamarnya, dengan berkata lirih. “Rangga, jangan pergi. Aku mencintaimu, aku mencintaimu, Rangga.” Sinta kembali mengigau menyebut nama Rangga dan menarik tangan Agus agar tidak pergi dari kamarnya. Agus berusaha melepas genggaman tangan Sinta, tapi Sinta tetap menahannya, dan semakin erat memegang tangan Agus. “Sin, ini aku, Agus, bukan Rangga. Aku mau keluar, aku mau tidur di kamarku,” bisik Agus di telinga Sinta. “Enggak, Rangga, kamu di sini saja, temani aku tidur seperti kemarin, aku benci Agus, aku benci eyang,” igau Sinta lagi. Agus tidak menyangka kalau Sinta pernah tidur dengan Rangga. Pikirannya kembali pada sesuatu yang ia baru saja pikirkan tadi. Dia semakin penasaran dengan apa yang Sinta katakan, kalau dirinya belum pernah di sentuh Rangga hingga mendalam. Tapi, dia mengigau kalau dirinya ingin ditemani tidur Rangga seperti kemarin. “Sinta.... Sinta.... Kamu itu sebenarnya bagaimana? Jika kamu sudah pernah tidur dengan Rangga, oke aku akan mengalah, aku akan melepas kamu, karena aku tidak mau menahan kamu yang sama sekali tidak menginginkan aku. Aku memang mencintaimu, Sinta, tapi tidak seperti ini juga,” gumam Agus. Sinta masih memegangi tangan Agus, dan Agus terpaksa tidur di samping Sinta. Bukannya melepas tangan Agus, tapi Sinta semakin erat memeluk Agus. Sebagai laki-laki normal, Agus merasa gugup dan detak jantungnya semakin berdegup kencang. “Kalau aku begini terus, lama-lama aku khilaf, Sinta.... Tapi, tidak apa-apa, kamu kan istriku, eh... Enggak, aku harus menunggu kamu siap, aku akan menunggu itu. Anggap aja malam ini bonus, aku bisa tidur memeluk kamu,” gumam Agus. Agus semakin tidak bisa melawan kantuknya. Dia ketiduran di samping Sinta, dengan memeluk Sinta. Sinta masih erat memeluk Agus hingga pagi hari, posisi tidurnya pun tidak berubah sama sekali. Sinta mengerjapkan matanya, karena merasa berat di bagian perutnya. Sinta melihat tangan kekar yang melingkar di perutnya. Sinta melihat wajah pemilik tangan tersebut, dan menghunuskan tatapan tajam di depan orang itu. “Agus....!!! Apa-apaan kamu!” teriak Sinta dengan mendorong tubuh Agus, dan membuat Agus terjatuh dari tempat tidur. “Awwhhh...! Sinta...!!! Apaan, sih! Pakai acara dorong segala!” umpat Agus dengan kesal. “Lagian, siapa suruh tidur di kamarku?!” teriak Sinta sambil melihat pakaiannya masih utuh atau tidak. “Masih utuh, terima kasih, Tuhan, aku masih perawan,” ucapnya dengan penuh kepanikan. “Perawan? Bukannya kamu pernah tidur dengan Rangga?” ucap Agus dengan kesal. “Apa kamu bilang? Sembarangan sekali kamu bicaranya!” sembur Sinta. “Semalam kamu mengigau seperti itu, makanya aku sampai tidur di sini, kamu menahanku untuk tidur di sini, karena kamu kira aku Rangga,” jelas Agus. “Enggak mungkin lah, aku seperti itu!” timpal Sinta dengan kesal. “Aku tidak mau ada perdebatan di pagi buta seperti ini. Yang jelas, memang kejadian seperti yang aku katakan tadi!” tegas Agus dengan sedikit terpincang berjalan keluar dari kamar Sinta. Sinta melihat Agus yang berjalan sedikit terpincang karena menahan sakit kakinya. Itu semua karena Sinta tadi mendorong Agus hingga dia terjatuh dari tempat tidur. “Masa aku mengigau seperti itu? Iya aku pernah tidur di rumah Rangga, aku memang pernah tidur bersama Rangga, tapi aku tidak melakukan apa-apa. Aku masih utuh, dan belum tersentuh Rangga, meski bagian tubuh yang lain sering tersentuh Rangga. Lagian ini mulut kenapa enggak bisa diam,” ucap Sinta dengan kesal. Sinta beranjak dari tempat tidurnya. Dia bergegas ke kamar mandi, karena pagi ini hingga sore ada pemotretan. Sinta merasa ada yang aneh dengan kamar mandi dan meja riasnya. “Ini rapi sekali? Siapa yang menata? Apa Minah yang sudah menata meja riasku, mengambil baju kotor yang berserakan, dan membersihkan kamar mandi? Atau mungkin Nunuk? Ah, sudah lah, ngapain aku memikirkan siapa yang membersihkan, lebih baik aku mandi dan siap-siap kerja,” gumam Sinta dengan lirih. ^^^ Agus sudah selesai memasak, dia menyuruh Nunuk menata semua masakannya di meja makan. “Pak, kalau gini kerjaan Nunuk apa? Pak Agus yang masak dari kemarin,” ucap Nunuk. “Jangan banyak bicara, kamu tata ini saja di meja makan,” ucap Agus. “Siap, Pak!” Nunuk dengan semangat menata masakan Agus di meja makan. Agus masuk ke kamarnya, untuk bersiap pergi ke kantor. Dia sudah tidak mau lama-lama di rumah. Apalagi setiap hari dia harus ribut dengan istrinya. “Sampai kapan ini akan berakhir,” gumam Agus. Agus mendengar ponselnya berdering. Dia melihat siapa yang meneleponnya. “Ibu?” ucap Agus dengan lirih. Agus langsung mengangkat telefon dari ibunya. “Hallo, Assalamualaikum, ibu,” sapa Agus. “Wa’alaikumsalam, Gus,” jawab Ibunya Agus. “Ibu sehat?” tanya Agus. “Alhamdulillah, ibu sehat,” jawabnya. “Kamu bagaimana, sehat? Istrimu di mana?” tanya ibunya Agus. “Alhamdulillah kami berdua sehat, Bu, istriku sedang di kamar mandi,” jawab Agus dengan berbohong. Agus bercerita cukup lama dengan ibunya. Dia merasa bersalah dengan ibunya, karena dia selalu mencari alasan saat ibunya ingin berbicara dengan Sinta. Bagaimana dia mengatakan pada Sinta kalau ibunya ingin berbicara dengannya, sedangkan Sinta sudah bicara lebih dulu padanya, untuk tidak memaksa dirinya agar mengobrol dengan ibunya. Agus mengakhiri telepon dengan ibunya setelah mengobrol cukup lama. Dia melanjutkan untuk siap-siap ke kantor. Sinta terlihat sudah siap untuk berangkat pemotretan. Dia mengajak Minah, memang setiap kali ada pemotretan dan lokasinya jauh, dia mengajak Minah untuk mendampinginya. “Gus, aku hari ini ada pemotretan, mungkin aku pulang sampai malam,” ucap Sinta yang baru saja keluar dari kamarnya dan melihat Agus juga baru keluar dari kamarnya. “Kamu sendirian?” tanya Agus. “Aku bawa sopir dan bersama Minah,” jawab Sinta. “Hmmm.... Yang penting tidak dengan Rangga saja,” ucap Agus. “Kalau Rangga hari ini tidak sibuk, mau mengantar aku, tapi dia sibuk, jadi tidak bisa mengantar aku,” ucap Sinta dengan berjalan ke arah meja makan. “Masakannya kelihatannya enak,” ucap Sinta dengan mencicipi masakan Agus. “Enak sekali, aku mau sarapan dulu.” Sinta langsung menarik kursi dan mengambil nasi dengan porsi cukup banyak. Biasanya dia hanya memakan buah saja, tapi entah mengapa setelah melihat hidangan sarapan, nafsu makannya naik seketika. “Non Sinta sarapan?” tanya Minah. “Iya, enak sekali masakannya, kamu memang asisten paling setia, Minah, mencari koki di rumah ini cocok dengan lidahku,” jawab Sinta. “Ehhm... Tapi, ini bu--buk...,” Ucapan Minah terhenti, saat melihat Agus mengedipkan matanya, agar tidak memberitahukan siapa yang memasak untuk sarapan pagi ini. “Tapi, apa, Minah? Kamu mau sarapan? Sini gabung,” ucap Sinta dengan mengunyah makanannya. “Eng--enggak, Non. Minah mau siap-siap untuk ikut dengan non saja. Lagian Minah sudah sarapan, kok,” jawab Minah dengan berlalu pergi ke belakang. Agus duduk di samping Sinta, dia ingin mencoba bicara soal ibunya, karena Agus ingin Sinta mau bicara dengan ibunya. “Sin, ibu tadi meneleponku,” ucap Agus. “Lalu apa urusanku, Gus? Aku kan bilang, tidak usah nyuruh aku bicara dengan ibumu. Sampai kapan pun aku tidak mau. Cari dong alasan yang tepat buat mengalihkan pembicaraan,” ucap Sinta. “Mau sampai kapan kamu seperti ini, Sinta?” tanya Agus. “Sampai kamu menceraikan aku, dan aku menikah dengan Rangga,” jawab Sinta. “Kamu menghilangkan selera makanku saja, Gus. Aku berangkat.” Sinta langsung pergi dan memanggil Minah untuk berangkat. Agus hanya diam saja mendengar perkataan Sinta tadi. Bagaimana bisa dia melepas Sinta, sedangkan setelah dia melepas Sina, Sinta akan bersama Rangga. “Sinta.... Sinta.... Sampai kapan kamu seperti ini? Kapan mata hatimu terbuka, Rangga bukan laki-laki yang baik, kamu harus tahu itu, Sinta,” gumam Agus. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD