Terpaksa Bisa Tersenyum

1107 Words
Senyuman tulus seorang Luna membahagiakan hati bu Mira. Ia kemudian menarik tangan Luna dan mengusap lembut kepala gadis cantik itu. "Beneran guru kamu rapat?" tanya Bu Mira menyelidiki. Rasanya sulit untuk percaya, karena dua hari yang lalu gurunya sudah rapat. "Iya!" jawab Luna. Ia kemudian mengusap perutnya memberi kode jika dirinya lapar. Bu Mira melupakan kecurigaannya. Ia kemudian meraih piring, memberikannya pada Luna. "Kamu ambil sendiri, terserah mau pakai ikan yang mana. Ibu nggak akan rugi juga kalau kamu ambil semuanya," tambah Bu Mira sambil tersenyum. Luna membalas senyuman itu. "Baik Bu!"  Dengan semangat Luna mengambil satu per satu lauk yang ada. Telur, ayam juga tempe. Ia mengambil itu semua bukan karena rakus. Melainkan karena dirinya tahu itu jualan kemarin dan sampai hari ini belum laku. "Wah, nggak papa nih Bu?" tanya Luna yang berpura-pura senang karena bisa makan banyak. "Nggak papa, makan aja!" "Siap!" Luna tak bisa menahan kesedihannya. Ia membawa piring yang berisi banyak lauk itu ke meja paling ujung agar ibunya tak tahu apa yang hatinya rasakan. Dinikmati makanan itu dengan berderai air mata.  "Ya Allah, kenapa jualan ibuku nggak laku lagi. Kalau kayak gini, mana mungkin punya duit buat bayar sekolah. Buat makan sama balik modal jualan aja bakalan susah," batin Luna. Dimakan makanan itu dengan duka. Rasa yang lezat tidak membuat hatinya bersemangat. Ia pasrah, tak ada yang bisa diperbuat. "Andai Bapak masih hidup," pikir Luna lagi. **  Di bawah langit malam yang tak berbintang. Luna menyuruh air matanya jatuh membasahi pipi. Terjun bebas seperti air terjun yang tak dihalangi apapun. Kedua tangannya juga membiarkan begitu saja, rasanya jari jemari itu seperti sudah lelah untuk menghapus. "Impian itu kayak apa sih? Apa seperti bintang di sana?" pikir Luna sambil mencoba meraih bintang yang jaraknya berjuta-juta tahun cahaya dari bumi. Sulit dan tak mungkin diraih. Tiba-tiba gerimis turun dengan cepat. Luna sedikit terkejut, tapi rasanya seperti alam menyetujui tangisannya malam ini. Dengan adanya hujan tak hanya dirinya yang menangis, tapi langit juga menemani.  "Ahhh, mataku jadi makin merah." Luna mengucek matanya. Mungkin lebih baik dirinya bergegas pulang. Sebelum ibunya merasa khawatir. Karena dirinya sudah terlalu lama berada di taman dekat rumahnya. Sekali lagi, Luna memperhatikan langit yang mengeluarkan kilatan cahaya. Sedikit takut, tapi lebih menakutkan kilatan cemooh dari temannya di sekolah. Tanpa sadar ada sebuah genangan air yang dilewati motor berada tak jauh dari Luna. "Ahhhhhhh, seger bener," ucap Luna tak menyangka akan terkena genangan air hujan yang bercampur dengan tanah. Padahal rumah sudah tinggal beberapa meter saja. Saat itu, Luna menyadari dari tempatnya berdiri. Ada sebuah mobil yang menurutnya mahal sedang terparkir di depan rumah. Lampu depannya menyala dan tampak akan pergi. "Itu mobil siapa?" pikir Luna merasa aneh. Ingin menyelidiki apa yang mungkin terjadi. Dilupakan bajunya yang basah dan kotor. Kakinya berjalan semakin dekat dengan rumahnya. Matanya mencoba memperhatikan. Dilihat ibunya, bu Mira sedang berdiri di tepi rumah sambil tersenyum dan melambaikan tangan kanannya.  "Emang Ibu punya teman tajir ya?" batin Luna penuh tanya. Luna mempercepat langkah kakinya. Penasaran dengan siapa yang ada di dalam mobil mewah itu. Ia pun berlari mencari tahu. Namun, sudah terlambat.  Kaca mobil itu sudah tertutup dan telah meluncur meninggalkan depan rumah Luna.  "Mobil siapa Bu?" tanya Luna. "Teman ibu." "Cowok?" Ragu dan menatap putrinya. "I, iya. Lho kenapa baju kamu kotor banget?" "Kena cipratan air Bu." "Kalau gitu, ganti dulu. Baru tidur!" "Iya," jawab Luna patuh.   Luna berjalan menuju kamarnya. "Aneh, mencurigakan, ibu nggak jujur sama aku, ada yang ditutupi, tapi apa, kenapa? Lagipula kenapa aku sok drama juga sih," gumam Luna. ** Di saat kebanyakan anak seusia Luna masih tidur. Luna sudah bangun pagi-pagi. Membantu Bu Mira menyiapkan barang jualan. Setelah selesai, baru ia menyiapkan diri untuk sekolah. Ingin rasanya, pagi ini ia sarapan telur mata sapi. Diperhatikan rak dapur, ada enam biji telur di sana. Itu artinya sebagian sudah dimasak ibunya untuk berjualan tadi. Bergerak tangannya mengambil salah satu telur. Namun, gerakannya berhenti.  "Kalau aku ambil, telurnya berkurang dong buat jualan besok," pikir Luna penuh pertimbangan.  Lagi dan lagi, keinginannya pagi ini untuk makan telur tak ia penuhi. Ia pendam angannya untuk menikmati nasi hangat dengan telur ceplok yang disiram kecap dan ditambah irisan cabe rawit kecil-kecil.  "Ahhhh, ikan tahu lagi ajalah. Murah meriah." Luna meraih tahu goreng di samping wajan. Lalu menuangkan kecap dan potongan cabe di atas cobek. Ingin menghaluskannya tapi sudah hampir mendekati waktu berangkat sekolah. Ia pun membiarkan begitu saja.  "Bismillahirrahmanirrahim," batin Luna saat akan menikmati sarapan paginya. ** Kelas sudah ramai, siswi yang merasa populer duduk di bangku paling belakang. Memasang wajah sombong sambil bercermin untuk memastikan penampilan mereka sudah sempurna. Bedak telah menempel halus di pipi. Lipstik merah muda yang warnanya lembut sudah tersapu di bibir. "Cantik," batin Nawang memuji diri sendiri. Ia kemudian melihat Luna baru masuk kelas. Diperhatikan rambut panjangnya terikat sempurna. Terlihat elok meski dengan wajah tanpa riasan.  "Its show time," batin Nawang lagi. Sesaat Luna berjalan menuju bangkunya. Terletak di bagian paling depan. Ia memilih di situ, karena malas harus berdekatan dengan siswi paling kaya di kelasnya. "Hahhhh, apa-apaan ini?" Luna terkejut melihat bangkunya kotor penuh dengan tumpahan es coklat. Nawang merasa puas melihat wajah Luna yang mendadak kusut. Ia tersenyum sinis sambil menutup bedaknya. Dimasukkan bedak itu ke laci meja dan duduk dengan tenang di bangku. Menikmati tontonan yang diciptakan pagi ini, sungguh luar biasa menghibur hati. Tak lama kemudian guru olahraga masuk ke dalam kelas. Melihat Luna yang belum juga duduk cukup membuat hatinya kesal.  "Luna, ada guru di dalam kelas seharusnya kamu segera duduk!"  "Maaf Pak Tirta, bangku saya kotor," sahut Luna. "Saya izin mau membersihkannya dulu Pak!" Pak Tirta yang tadinya duduk di kursinya kemudian berdiri. Berjalan mendekat memastikan kebenaran ucapan Luna. Benar saja, ada tumpahan es coklat yang jika diduduki pasti akan membuat bajunya kotor. "Ya udah, segera kamu bersihkan. Yang lain ikut saya ke lapangan basket. Hari ini kita akan belajar bermain basket," terang Pak Tirta. "Baik Pak!" sahut seluruh murid di dalam kelas. Luna segera membersihkan tumpahan es itu. Setelah selesai, ia pergi sebentar ke kantin untuk membeli es jeruk kesukaannya. Dengan ini, ia harap perasaannya bisa membaik. Seorang teman dari kelas lain, terlihat oleh Luna akan membuang minuman coklatnya. Luna berlari menuju anak tersebut. Diminta es itu dan membawanya masuk kelas. "Akan aku tumpahkan minuman ini di kursinya Nawang. Pasti dia yang buat kursiku kotor," pikir Luna penuh dendam. Sayangnya, keraguan datang menghampiri saat dirinya sudah berada di dekat kursi musuhnya itu. Pikirannya bimbang. Ia sama saja menabur benih masalah jika melakukan hal tersebut. Terlalu mencolok dan pasti akan segera ketahuan Nawang jika ia pelakunya. "Ahhhh, menyebalkan. Apa nggak ada yang bisa aku lakukan ngerjain anak itu," pikir Luna. Ia pun dengan kesal mengurungkan niatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD