Kejadian bersama Anggoro menyisakan rasa lain di tubuh Renata. Dia rindu sentuhan Anggoro, sentuhan yang sebenarnya. Bukan dari mainan seperti yang dilakukan Vanno. Namun untuk mendesak Vanno melakukan niatnya untuk mengobati dirinya, Renata merasa lelah. Vanno selalu menghindar dan punya banyak alasan jika disuruh melakukan terapi. Dia sedikit kecewa ketika terapi pertamanya gagal. Meski Renata sudah membesarkan hatinya bahwa kegagalan itu biasa, namanya juga pertama kali.
Namun Vanno merasa malu, karena sudah datang ke dokter, konsultasi, lalu terapi, dan hasilnya nol besar. Dia tidak punya kepercayaan diri untuk segera sembuh. Menurutnya, sekarang sudah ada orang lain yang tahu tentang kondisinya dan sebentar lagi dunia pun akan tahu. Dia menjadi mudah marah jika disinggung tentang hal itu. Membuat Renata enggan mengungkit masalah ini dan memilih menghindari pembicaraan tentang kondisi Vanno. Renata memilih menerima saja perlakuan Vanno pada tubuhnya. Jika Vanno ingin mencumbunya, dia bisa melakukannya dengan sesuka hati. Jika dia ingin mendekati Vanno, Renata harus bisa mengendalikan diri karena Vanno sangat mudah sekali 'keluar' jika Renata yang menyerangnya duluan.
"Bu, tolong dicek dulu laporan ini sebelum dibawa ke Singapura." Gina memasuki ruangannya dan menyodorkan satu bendel laporan yang harus dia periksa.
"Buat kapan ini, Gin?"
"Besok, Bu. Bos besar minta Ibu datang ke Singapura besok. Dia mau melihat laporan penjualan bulan ini."
"Cepet banget. Tumben. Biasanya akhir bulan." Renata melihat arloji di pergelangan tangannya. "Ini baru tanggal 10. Apa ada masalah?" Gina mengangkat bahu.
"Ya udah tinggal aja di sini, nanti gue cek."
"Segera, lho, Bu. Besok pagi ibu sudah harus berangkat dengan ferry paling awal. Bos besar menunggu sebelum jam makan siang."
"Bawel, lu, Gin. Pasti gue cek. Gue juga, kan pasti bawa balik berkasnya, nggak mungkin gue tinggal di kantor. Males banget ih kalau besok harus mampir sini buat ambil berkas. O, ya, tiket dan segala macemnya dah lu siapin, kan?"
"Sebelum pulang nanti saya kasih sama Ibu semua kelengkapan yang perlu dibawa."
Renata mengangguk dan menyuruh Gina keluar dari ruangannya. Pekerjaannya lumayan banyak hari ini, ditambah lagi dengan pekerjaan baru yang diberikan Gina. Renata mendesah. Bisa-bisa dia telat pulang hari ini.
Sampai waktunya jam makan siang, Renata masih berkutat dengan tumpukan berkas. Bahkan sewaktu Gina mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan, dia tidak menyadari saking asyiknya bekerja.
"Eh, Gin. Sorry gue nggak dengar." Renata mengangkat wajahnya sewaktu Gina menyentuh tangannya karena Renata tidak merespon ketika dipanggil beberapa kali.
"Ada tamu untuk Ibu," kata Gina. Renata mengernyit. Tamu? Di jam makan siang?
Dia melihat ada rasa tidak suka pada raut wajah Gina.
"Lu udah ada janji?" tanyanya.
Gina mengangguk. "Iya. Sama pacar baru saya."
Renata tersenyum. Dia turut bahagia mendengar asistennya sudah menjalin hubungan dengan seseorang. Dia pikir asistennya tidak akan pernah pacaran, mengingat dia sedikit anti dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Seperti dugaannya, Gina dibesarkan di keluarga yang terlalu ketat dan banyak aturan. Jadi bisa disimpulkan kalau hubungannya kali ini pun pasti belum diketahui keluarga. Pertemuan saat jam makan siang pasti sangat berharga bagi mereka berdua.
"Ya udah, suruh tamunya masuk dan lu bisa pergi makan siang." Seketika wajah Gina menjadi cerah dan dia menundukkan tubuhnya sedikit sambil mengucapkan terima kasih.
"Eh, Gin!" Renata memanggilnya sebelum Gina keluar ruangan.
"Ya, Bu?"
"Lu, harus cerita sama gue, ya. Semuanya. A sampai Z."
Gina paham apa yang dimaksud Renata dan dia pun menunjukkan ibu jarinya tanda setuju.
Tidak berapa lama setelah Gina meninggalkan ruangan, pintu ruangan Renata di ketuk. Dia pun berdiri bersiap menyambut siapa tamunya. Ruangan Renata sangat tertutup. Jadi dia tidak bisa melihat siapa orang yang akan masuk ke ruangannya itu.
"Hai. Kupikir kamu sangat sibuk, jadi aku membawakan makan siang untukmu."
Renata sangat terkejut melihat siapa yang datang. Dadanya berdebat kencang dan dia merasa lidahnya kelu sehingga tidak satu pun perkataan keluar dari mulutnya.
"Kenapa? Kamu tidak suka melihat kedatanganku? Atau terkejut?" Anggoro meletakkan bungkusan plastik di meja tamu dan menggulung kemejanya. Dia berjalan mendekati Renata yang masih berdiri kaku di balik meja.
"Aku merindukanmu. Kupikir kamu juga. Makanya aku datang," katanya sambil meraup wajah Renata lalu mencium bibirnya dengan penuh napsu.
Kali ini, Renata memilih mendiamkan perlakuan Anggoro dan menikmatinya. Semuanya sudah terlanjur dan pernah terjadi sebelumnya. Lagi pula tubuhnya benar-benar menginginkannya. Dia pun membalas ciuman Anggoro dengan bersemangat. Sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan dari Vanno. Anggoro mendorongnya hingga dia terduduk di kursi dan menyelusupkan sebelah tangannya ke balik kemeja Renata.
Renata mendesah, menikmati setiap sentuhan Anggoro yang sedikit kasar dan terburu-buru. Tubuhnya merileks, bahkan tanpa sadar dia merenggangkan kaki. Seolah tahu keinginan Renata, Anggoro masuk ke balik rok dan membelai pahanya. Membuat bulu-bulu halus di tubuh Renata berdiri.
"Tapi kita tidak akan melakukannya di sini, Sayang." Anggoro melepas ciumannya tiba-tiba.
"Kamu cantik ... dan seksi." Dia mengancingkan kembali kemeja Renata yang tadi sempat dibukanya. "Dan aku sangat memujamu." Kembali dia mengecup bibir Renata, tapi kali ini lebih singkat. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Renata.
"Aku datang hanya untuk menyapa. Sampai ketemu besok. Siapkan dirimu, ya," bisiknya.
Anggoro berdiri, dia mengulurkan tangan dan mengusap bibir Renata yang masih membuka. Tanpa menunggu tanggapan Renata, dia berjalan menuju pintu keluar.
"Ang!" Renata memanggil namanya ketika dia teringat sesuatu. "Besok aku akan ke Singapura!"
Anggoro tersenyum, memperlihatkan dua lesung pipinya yang sangat menawan. "Aku tahu, makanya aku datang. Jangan lupa makan siang, aku nggak mau kamu sakit dan menggagalkan rencana besok." Dia melambaikan tangan lalu membuka pintu dan menghilang dari pandangan Renata.
Setelah Anggoro meninggalkan ruangannya, Renata merapikan pakaian dan memegangi kedua pipinya. Dia tidak percaya apa yang baru saja dia alami barusan. Perkataan-perkataan Anggoro juga sedikit sulit untuk dicerna. Dia mengambil ponsel dan ingin menghubungi Anggoro untuk menanyakan apa maksud dari omongannya. Namun dia berpikir, apa dirinya tidak akan terlihat murahan di depan Anggoro? Apa dia tidak terllihat seperti seseorang yang ingin segera bertemu?
Dia pun mengurungkan niatnya. Meletakkan ponsel di atas meja dan berpikir. Anggoro bilang, besok. Apa mungkin Anggoro akan menemuinya di Singapura? Tiba-tiba dia merasa pipinya memanas. Membayangkan hal-hal liar yang mungkin terjadi selama di sana.
Apa kata Anggoro tadi? Dia harus mempersiapkan diri? Oh, tidak, kemungkinan-kemungkinan yang berkelebat di kepalanya membuat dadanya berdebar terlalu keras. Dia sangat bersemangat hingga rasanya tubunya memanas dan dia menjadi sangat bersemangat. Diliriknya bungkusan yang dibawa Anggoro tadi. Aroma saus manis menyeruak ke dalam hidungnya. Seketika perutnya menjadi lapar dan Renata memutuskan untuk menghabiskan makanan yang dibawa Anggoro.
"Ibu makan siang di kantor?" tanya Gina ketika dilihatnya sampah menumpuk di tempat sampah dan aroma ruangan harum masakan.
Renata mengangguk tanpa mengangkat wajah. Dia tidak ingin Gina membaca perasaan bahagianya saat ini. Renata pura-pura sibuk meneliti berkas-berkas yang masih menumpuk di mejanya.
"Tiket ferry sudah saya beli untuk PP. Ibu mau hotel di daerah mana, biar saya pesankan secara online." Mendengar perkataan Gina, cepat-cepat Renata mengangkat wajah.
"Hotel?"
"Iya, sepertinya Ibu harus menginap satu hari. Karena besoknya ada rapat pagi-pagi sekali. Saya takut Ibu bakalan telat kalau Ibu pulang dulu dan baru berangkat keesokannya."
"Apa ada proyek baru, ya, Gin?"
"Sepertinya begitu. Tapi saya belum mendapat list audience untuk rapat besoknya."
"Ya sudah. Kalau bisa pesankan saja gue hotel di daerah Orchard. Masih masuk budget?"
"Bisa, Bu? Ini, kan bukan weekend jadi masih bisa dapat hotel disekitaran situ."
Gina meninggalkan ruangan Renata setelah urusannya selesai. Meninggalkan Renata yang termangu. Meeting tiba-tiba dan harus menginap bukan hal baru. Dia sudah biasa melakukannya. Namun, mengapa semuanya terasa tepat? Apa hubungan Anggoro dengan perusahaannya?
Renata tidak bisa menemukan jawabannya. Dia masih harus menyelesaikan banyak hal sebelum mempersiapkan diri untuk besok pagi. Pikiran dan fantasi bersama Anggoro dia simpan sejenak dan kembali berkutat dengan berkas yang seolah tidak pernah habis di mejanya.©