Tidak sulit mendapat izin dari Vanno untuk keberangkatannya ke Singapura. Dia sudah biasa Renata tinggal-tinggal. Lagi pula Vanno sedang sibuk dengan proyeknya, karena sebentar lagi mereka akan launching cluster perdana.
Renata pergi ke terminal ferry Batam Centre dengan diantar Vanno, sekalian pergi kerja katanya.
"Aku nggak ngantar sampai dalam, ya?" kata Vanno ketika mobil masuk ke terminal.
"Nggak masalah. Aku pergi dulu, ya, Sayang. Besok sudah pulang, kok." Renata mengulurkan tubuh dan mengecup bibir Vanno sekilas lalu turun dari mobil. Vanno melambai sebelum meninggalkan Renata yang masuk ke dalam terminal.
Setelah selesai dengan serangkaian proses imigrasi, Renata segera menuju ferry dan duduk di dalamnya. Mengisi blangko izin untuk masuk ke Singapura sambil meminum teh kemasan yang dia bawa. Perjalan menuju Singapura tidak lama. Dalam waktu satu jam, dia sudah tiba di negara yang memiliki perbedaan waktu satu jam dengan Indonesia itu. Setelah menyelesaikan mengisi blangko, ini beranjak menuju bagian atas kapal yang terbuka. Mencari tempat duduk yang kosong dan menyalakan rokoknya.
Angin laut menerpa wajah cantiknya. Rambut panjang Renata berkibar-kibar. Dadanya berdebar penuh rasa ingin tahu. Anggoro tidak menghubunginya sejak kemarin. Dia juga terlalu gengsi untuk menghubungi laki-laki itu duluan dan mencari tahu. Dia tidak ingin Anggoro merasa jika dia sangat menantikan pertemuan dengannya dan mengulang saat-saat panas di hotel atau di mobil. Meski sebenarnya hal itu benar. Renata memang merindukan sentuhan Anggoro. Dia kini sudah bisa menerima tubuh lelaki itu dan mulai merindukannya.
Ini lebih baik bukan? Daripada dia menghabiskan uang untuk membayar lelaki seperti James.
"Hai! Kupikir aku mengenal sosok belakangmu yang seksi. Ternyata benar. Aku mengenalmu." Seseorang membelai pundak Renata, membuat perempuan itu menoleh untuk melihat siapa yang mengenalinya di kapal ini.
"James!" pekik Renata terkejut. Baru saja dia memikirkan sekilas tentang laki-laki itu dan kini sosoknya muncul di hadapannya.
Renata mencium kedua pipi James dan menariknya agar duduk di sisinya.
"Ada urusan apa kamu ke Singapura?" tanya Renata mengawali pembicaraan.
"Seperti urusanku denganmu dulu." James mengangkat bahu, seolah malas untuk membicarakan urusan yang menurutnya tidak penting. Urusan biasa-biasa saja. Perkara memuaskan.
Renata tertawa lirih. Bagi James, perkara memuaskan perempuan mungkin sedikit membosankan. Namun dia harus selalu terlihat b*******h dan harus bisa memuaskan klien-kliennya. Sedangkan bagi Renata perkara dipuaskan sedikit penting dan langka. Dia bahkan rela mengeluarkan uang yang besar untuk menyewa seseorang seperti James.
"Dan kamu, baby? Ada urusan apa ke Singapura? Kamu tidak sedang mencari kencan semalam seperti aku, kan?"
"Ya enggaklah." Renata tertawa lepas dan mencubit perut James.
"Kamu menggemaskan, tahu tidak?" James mencubit ujung hidung Renata. "Dan mengapa kamu tidak pernah menghubungiku? Kamu punya mainan baru, ya?"
"Kamu terlalu mahal buatku, James," sahut Renata sambil tersenyum malu. Dia mengingat lagi bagaimana dia merintih dan mengerang ketika James memuaskannya berkali-kali dengan berbagai macam posisi. Dia menjadi pintar tentang seks hanya dalam satu kali pertemuan dengan James.
"Ehm, apa sudah kubilang kalau aku menyukaimu?"
Renata mengangguk. "Ya dan aku bisa dapat diskon besar kalau mau bercinta denganmu lagi."
"Kalau begitu aku ralat." James mendekatkan tubuhnya ke telinga Renata. "Aku teramat sangat menyukaimu, Baby. Kamu seksi dan vaginamu membuatku ketagihan. Kamu boleh memangilku kapan saja. Tanpa biaya apa pun." Dia menarik diri dari Renata dan melihat ke manik matanya yang membulat dengan cantik karena terkejut.
"Apa aku begitu menarik bagimu?" tanya Renata heran.
"Sejujurnya ... kamu klienku yang paling menarik," kata James sambil mengangkat bahu dan duduk bersandar.
"Oh, ya? Bisa kamu ceritakan bagaimana klien-klienmu itu?"
"Seharusnya tidak. Karena itu kode etik. Tapi untukmu pengecualian. Kamu bukan lagi klienku, kan?" James tergelak.
"Klienku cantik-cantik. Mereka rata-rata perempuan berduit yang kesepian. Mereka bisa saja, sih sekadar bermain s*x dengan s*x toys, tapi yang mereka inginkan kebanyakan adalah sentuhan. Terkadang mereka juga ingin didengarkan oleh pasangannya. Dipeluk dan dimanjakan. Kasihan sebenarnya mereka."
James menggeser duduknya dan menghadap ke arah Renata, memandanginya dari atas sampai bawah. "Tapi kamu kayaknya beda. Kamu tidak haus perhatian atau kasih sayang, kamu cuma butuh ... seks? Well, Baby ... aku nggak mau tahu tentang masalah rumah tanggamu. Tapi seperti kubilang kamu klienku yang paling menarik. Kamu seperti benar-benar membutuhkan tubuhku dan itu membuatku sedikit merasa istimewa." James tergelak. Renata mengisap rokoknya yang terakhir kali sebelum membuang puntungnya ke tempat sampah terdekat. Dia merasa tersanjung sekaligus malu dengan apa yang dikatakan oleh James.
Laki-laki di hadapannya ini benar tentang dirinya. Dia memang menginginkan James, bukan seluruh tubuhnya, tapi hanya salah satu bagian dari tubuhnya. Dia sudah cukup mendapat kasih sayang dari Vanno, berelebihan malah. Namun fisiknya membutuhkan sentuhan yang lain.
"Boleh aku bertanya satu hal, Baby?"
"Apa?" tanya Renata balik, berusaha acuh.
"Apa kamu sudah menemukan penggantiku?"
Renata mengerutkan kening. Ini kedua kalinya James bertanya hal serupa.
"Kenapa kamu berpikir begitu, James. Memangnya aku terlihat seperti apa buatmu?"
"Entahlah. Hanya saja ...." James tidak melanjutkan kalimatnya. Dia mencondongkan tubuh dan berbisik di telinga Renata. "Aku sedikit cemburu, Baby."
Renata mendorong bahu James dengan lembut. "Aku punya suami James dan seperti katamu, aku dilimpahi kasih sayang yang cukup."
"Tapi kenapa ...."
"Sssstt!" Renata menekankan telunjuknya ke bibir James yang merah muda dan lembap. "Apakah kalian tidak punya kode etik untuk tidak terlalu masuk ke dalam urusan pribadi klien kalian?" Renata tidak tahan melihat bibir James yang seksi. Dia mengecupnya pelan.
"s**t! Maafkan aku, tapi kamu membuatku linglung." James tertawa terbahak menyadari kebodohannya.
"Senang mendengarnya. Aku anggap itu sebagai pujian."
"Kita sudah hampir sampai," kata James setelah melihat mereka melewati Pulau Sentosa. "Apa kamu dijemput seseorang atau naik taksi?"
Renata berpikir sejenak. Dia lupa bertanya pada Gina tentang hal itu. Biasanya dia naik taksi menuju kantor pusat. Namun semalam Gina seperti mengatakan sesuatu, tapi dia lupa apa itu.
"Aku lupa. Nanti kupastikan lagi begitu tiba di Harbour Front."
"Kalau tujuan kita searah, mungkin kita bisa satu taksi. Menyedihkan rasanya mengingat harus berpisah denganmu sebentar lagi."
Renata tergelak mendengar perkataan James. Seorang gigolo seperti James, apa dia bisa merasakan perasaan lain selain nafsu? Karena dia merasa James seperti anak sekolahan yang baru mengenal cinta.
"Hei, apa nanti di Singapura kita bisa bertemu? Makan malam atau ... yah semacam hal-hal itu dan mungkin berlanjut ... you knowlah, Beb!'
Renata menyentil hidung James dengan gemas. "Aku ke Singapura untuk bekerja, James. Kamu juga begitu, kan?"
"Aku bisa minta nomormu?" tanya James memelas.
Renata berdiri dan merapikan bajunya, dia bersiap turun karena mereka sudah semakin dekat ke Harbour Front. "Tidak James, Sayang. Aku yang akan menghubungimu jika memang benar-benar membutuhkan."
"Kamu janji?"
Renata mengangguk. Itu memang benar, dia pasti menghubungi James kalau membutuhkan layanan darinya. Mohon digaris bawahi. 'Kalau membutuhkan.'
Mereka berdua turun ke bawah dan membereskan barang bawaan, lalu mengantre untuk keluar dari kapal.
Setelah menyelesaikan urusan imigrasi, Renata berjalan duluan ke pintu keluar sementara James masih mengantre di belakangnya. Dia tidak perlu untuk menunggu James karena urusannya adalah pekerjaan bukan bersenang-senang. Dia harus langsung rapat setibanya di kantor pusat.
Di pintu keluar, Renata mengedarkan pandang ke sekililing. Pelabuhan yang terhubung langsung dengan mall ini terlihat ramai seperti biasa. Beberapa orang penjemput terlihat berbaris sambil mengamati wajah-wajah orang yang baru saja keluar dari pelabuhan. Sebagian dari mereka ada yang sengaja berbaris untuk menawarkan kendaraan yang bisa disewa. Renata berjalan terus menuju tempat antrian taksi. Seperti yang biasa dia lakukan jika bertugas ke Singapura. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika melihat seseorang yang berdiri di depan sebuah toko. Orang tersebut berdiri tegak dengan setelah jasnya yang rapi. Dua tangannya masuk ke dalam kantong celana dan dia tersenyum meliahat kedatangan Renata.
"Hmm, pantas kau menolakku, Baby. Ternyata yang menunggu dewa Romawi yang ketampanannya melebihiku. Kali ini aku mengalah. Sampai jumpa, Baby." Entah sejak kapan James berdiri di belakangnya dan Renata tidak perlu menoleh untuk memastikan keberadaannya karena dia tahu, saat ini James sudah pergi meninggalkannya.
Benar kata James, Anggoro terlihat sangat tampan. Entah sejak kapan dia terlihat begitu. Dan Renata terpesona.©