6

1075 Words
Aimee terjaga dari tidurnya. Ia menemukan Shane sedang memandangi wajahnya dari atas sofa di sebelah ranjang dengan pakaian yang sudah rapi. Entah apa yang ada di otak Shane saat ini. Aimee jelas tak akan bisa memprediksi pemikiran Shane. Pria manipulatif seperti Shane memiliki banyak topeng. Tatapan mata hangat belum tentu mengartikan Shane adalah pria yang hangat. Dan senyuman di bibir Shane belum tentu berarti kebaikan. Aimee selalu melihat Shane tersenyum ketika membunuh orang.   "Mandilah, sarapanmu akan segera disiapkan," seru Shane.   Aimee tidak menjawab Shane, ia segera turun dari ranjang. Melangkah ke kamar mandi dengan tubuh tanpa berbalut busana.   Shane keluar dari kamar. Ia pergi ke meja makan dan sarapan sudah tertata rapi di sana.   "Shane, Tuan Mikhael menghubungiku." Keenan meletakan secangkir espresso di meja. "Dia meminta bertemu denganmu di taman kota ini."   "Ah, Pak Tua itu selalu tahu keberadaanku dengan cepat." Shane meraih kuping cangkirnya, "Katakan padanya aku akan menemuinya besok jam 6 pagi di taman kota."   "Baik."   "Ah, Kee. Aku memiliki tugas untukmu."   "Apa?"   "Buat sketsa wajah seorang wanita yang ingin ditemukan oleh Aimee."   Kee mengerutkan keningnya. Setahunya Aimee tidak memiliki keluarga lagi. Siapakah wanita yang ingin Aimee cari?   "Baik."   "Sarapanlah di sini." Shane memberi isyarat agar Keenan duduk di dekatnya.   Kee menarik kursi lalu duduk seperti perintah Shane.   Aimee telah selesai mandi. Ia bergabung dengan Shane dan Keenan di meja makan. Ia kini berada di antara dua pria berdarah dingin.   "Habiskan sarapanmu. Lalu gambarkan pada Keenan tentang wanita yang ingin kau temukan." Shane mendorong sepiring sandwich ke depan Aimee. Aimee meraih sandwich itu. Ia mulai memakannya perlahan.   Shane memandangi Aimee sambil mengunyah makanannya. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan menarik Aimee sejauh ini ke dalam hidupnya. Aimee, sosok yang benar-benar tak ingin ia bawa ke gelap dunianya, tetapi ia juga membutuhkan Aimee agar terang masih bersamanya.   Melangkah menuju kegelapan begitu mudah bagi Shane, ia takut tidak akan bisa merangkak keluar lagi dari kegelapan itu. Karenanya ia membutuhkan Aimee, wanita yang bisa membuatnya merasa nyaman dan tenang meski dalam kegelapan. Seperti ketika ia bersama dengan kakaknya yang tewas bunuh diri sepuluh tahun lalu.   Keenan memperhatikan Shane, ia bisa memastikan dalam tatapan mata Shane selalu ada kecemasan tentang Aimee. Namun, bagi Keenan lebih baik seperti ini. Lebih baik Shane membawa Aimee mendekat padanya daripada hanya memperhatikan dari jauh dan mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Shane menderita, Keenan jelas tahu itu. Dan Aimee adalah obat yang paling tepat untuk penderitaan Aimee.   Aimee merasa risih dipandangi oleh Shane, tetapi ia harus membiasakan dirinya. Demi tujuannya ia harus bersama Shane. Ia harus menemukan orang yang ia cari sebelum Shane bosan bermain dengannya lalu membunuhnya.   Sarapan selesai. Shane duduk di sofa bersama dengan Aimee, sementara Keenan duduk di kursi kayu dengan alat untuk membuat sketsa.   Aimee mulai menjelaskan bagaimana bentuk wajah wanita yang ia cari. Aimee ingat semuanya, tentu saja. Ia melihat dengan jelas ketika ayahnya pergi bersama wanita itu dan mencampakan ibunya begitu saja.   Dada Aimee sakit kala mengingat bagaimana hancurnya sang ibu karena pengkhianatan dari pria yang paling dicintainya. Tidak hanya sang ibu, Aimee juga merasa begitu sakit karena ayahnya.   Kata orang, ayah adalah cinta pertama bagi putrinya. Tidak ada pria yang lebih mencintai putrinya itu lebih dari sang ayah. Namun, kenyataannya berbeda bagi Aimee. Pria yang jadi cinta pertamanya mematahkan hatinya dengan sangat kejam. Ayahnya mengkhianatinya. Mengirimnya pada sebuah pemikiran bahwa tidak ada cinta yang benar-benar tulus di dunia ini termasuk dari ayah sekalipun.   Aimee mati rasa karena ayahnya. Bahkan ketika ayahnya tewas dibunuh, ia tidak meneteskan air mata sedikit pun. Itulah akhir dari hidup ayahnya, sebuah karma bagi kesalahan yang telah ayahnya lakukan.   Aimee menghentikan pemikirannya tentang masalalu. Ia yang sempat melamun kini kembali fokus.   "Apakah seperti ini?" Keenan menunjukan sketsa yang sudah ia buat.   Mata Aimee menunjukan kebencian yang mendalam. "Benar. Itu dia."   "Kau tahu siapa namanya?" tanya Shane.   "Claudia." Aimee tentu tidak akan melupakan nama wanita itu. Sampai ia mati ia akan terus mengingat nama itu. "Dia memiliki tatoo bunga teratai di bagian punggungnya. Yang aku tahu dulu dia adalah pelayan di bar."   "Temukan wanita itu dalam waktu satu bulan, Kee!" perintah Shane pada Keenan.   Keenan menggulung sketsa yang sudah ia buat. "Baik." Ia segera meninggalkan Aimee dan Shane. Menghubungi bawahannya untuk mencari Claudia.   "Aku akan pergi untuk urusan bisnis. Malam nanti Keenan akan membawamu ke restoran. Kenakan pakaian yang nanti Keenan bawa untukmu."   "Baik."   Shane tersenyum tipis. "Kau benar-benar manis, Aimee."   ♥♥♥♥♥   Aimee tidak bisa menghitung seberapa kaya seorang Shane. Ia telah bepergian dengan mobil mewah yang berbeda dari yang menjemputnya di bandara. Dan sekarang ia berada di sebuah restoran bintang 5 tanpa ada satu pelangganpun di sana. Penjelasan dari sepinya restoran itu adalah Shane telah memesan tempat itu untuk dikosongkan.   "Shane di sana." Keenan mengarahkan tangannya ke arah piano.   Mata Aimee otomatis berpindah. Ia melihat Shane tersenyum padanya kemudian dentingan piano terdengar. Shane dengan piano, kombinasi pria tampan dan romantis, itu jika orang tidak tahu bahwa Shane adalah pembunuh berdarah dingin.   Aimee berdiri memandangi Shane hingga lagu yang Shane bawakan berakhir. Beginikah cara Shane mempermainkan para wanita? Memainkan sebuah lagu kemudian membunuhnya.   Shane melangkah menuju Aimee. Pria memikat itu menebarkan aura yang akan membuat wanita sulit melewatkannya. Shane terkenal tampan di kalangan wanita, tetapi ia juga terkenal setia. Hal itu membuat para wanita yang basah karena membayangkan Shane jadi patah hati. Mereka menggunakan berbagai cara untuk menggoda Shane, tetapi mereka tidak pernah berhasil. Ya, Shane tidak tergoda oleh wanita mana pun kecuali Aimee. Ckck, Shane bahkan tidak perlu digoda untuk tergoda pada Aimee.   "Kau sangat cantik, Aimee." Shane tersenyum. Ia merengkuh pinggang Aimee, menariknya hingga menempel pada perutnya. Mata Shane terlihat hangat untuk sejenak, ia memandangi Aimee beberapa saat kemudian melumat bibir ranum Aimee. Jika saja Aimee menggunakan lipstik murahan, mungkin saat ini warna merah akan mengitari sekitar bibirnya karena ciuman Shane yang terlalu menuntut.   "Ayo, makan malam sudah menunggumu." Shane membawa Aimee ke meja makan. Ia duduk di salah satu kursi dan Aimee di kursi lainnya.   "Aku suka suasana sepi seperti ini." Shane meraih pisau dan garpu yang ada di tangannya.   Aimee melihat Shane datar. Ia sudah mulai terbiasa dengan sisi mengerikan Shane. Suasana sepi dan pisau, bukankah itu paduan yang sangat pas untuk Shane yang suka mencabut nyawa orang lain? Mungkin Shane juga suka hujan, tambahan yang tepat untuk dua hal sebelumnya.   "Makanlah, Aimee." Shane mengiris steak-nya.   Aimee meraih pisau dan garpu, kemudian ikut makan bersama Shane. Aimee tidak pernah memakan masakan seenak itu sejak sekian tahun lamanya. Aimee harus bertahan hidup dengan uang pas-pasan. Jadi makanan yang bisa ia nikmati adalah makanan yang tidak akan menguras uang gajinya yang tidak besar.   Bagi Aimee makan itu untuk bertahan hidup, tidak perlu mewah yang penting bisa membuat ia tidak kelaparan. Toh, makanan semewah apapun tidak akan berarti lagi untuk dirinya yang sudah tenggelam dalam kehidupan hampa.                          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD