Happy Reading
*****
Indonesia, 13 Januari 2021
_____
Kata benci memang sudah tidak asing lagi di pendengaran manusia. Sifat itu biasanya muncul, karena di dasari ketidak sukaannya akan sesuatu.
Begitupun dengan Bitna Sarita, ia sangat Benci, oh ralat bukan benci, tapi lebih tepatnya muak.
Ia muak dengan teman di sampingnya ini _Raden_, yang terus saja mengoceh tentang Zombie, padahal sudah jelas Bitna sangat tidak menyukai pembahasan ini.
Menurutnya Zombie itu tidak ada dan hanya terdapat dalam khayalan juga film saja.
By the way, saat ini mereka sedang berada di kafetaria kampus. Dan sedang menunggu kelas berikutnya di mulai.
"Den, bisa diem nggak sih!" Teriak Bitna seraya mengepalkan kedua tangannya erat. Mungkin sudah 1000 kali, Bitna marah pada Raden hanya karena pembahasan Zombie.
"Hm?" Raden acuh tak acuh, seperti nya dia malah sama sekali tak mendengarkan apa yang Bitna katakan, dilihat dari ekspresinya yang masih sangat fokus dengan buku besar yang dia pegang.
"Waw, gilak ya. Zombie tuh__"
Kan, benar. Raden seolah langsung budek dadakan ketika sudah berhubungan dengan Zombie.
"Sialan!" Maki Bitna kesal.
Dan,
Bugg..
Kepalan tangan Bitna berhasil melayang _keras_ pada pipi Raden, membuat sang empu sontak memekik kesakitan.
"Arghhh.. Sakit Na." Raden menatap Bitna dengan mata tajam, beriringan dengan tangan yang mengelus pipinya pelan. Bukan sekali dua kali Raden mendapat hadiah tinjuan dari Bitna, dan menurutnya masih sama sakitnya hingga saat ini.
Bukannya merasa bersalah Bitna malah tersenyum miring sambil menyeruput es teh manis _yang tinggal setengah_ itu dengan santai.
"Na!" Panggil Raden karena merasa tersinggung temannya itu malah mengabaikannya.
"Ya, salah lo sendiri, gue udah bilang. Stop ngomongin zombie-zombie sialan itu di depan gue. Karena jelas Zombie itu nggak ada, jadi percuma lo baca buku dan pelajari tentang zombie." Cerocos Bitna panjang lebar, serta menekan setiap katanya, agar Raden bisa segera tercerahkan.
"Kalo dari buku yang gue baca, Zombie itu ada Na." Ck, Raden benar-benar kekeh dengan pendiriannya.
"Halah, tai. Zombie cuma karangan fiksi penulis doang lo percaya. Jangan lakuin hal sia-sia napa, Den."
Dengan lancang, tangan Bitna terulur menutup buku berbahasa Inggris, yang sudah jelas berisi tentang Zombie itu cepat.
Raden sontang memelototi Bitna. Ia jelas sangat marah dengan tindakan lancang Temannya ini.
"Apa? Apa? Marah heumm?" Bukannya takut dengan kemarahan Raden, Bitna malah seolah menantang Raden. Hey, harusnya di sini yang marah Bitna dong, bukan sebaliknya. Sejak awal ia yang terganggu akan hobi aneh Raden ini.
"Terserah." Raden mendengus kesal, sebelum kembali membuka buku yang tadi sempat di tutup Bitna.
Ck, lagi-lagi hanya ber-ending seperti ini. Dimana Raden yang akan mendiami Bitna untuk satu jam kedepan.
Raden Pangalila, teman nya itu benar-benar terobsesi dengan yang namanya Zombie. Sejak awal Bitna mengenal Raden 2 tahun lalu, keterobsesian Raden makin menjadi-jadi hingga sekarang.
Dimulai dari pembahasan kecil, seperti cerita film, n****+, dan lainnya. Sampai berlanjut ke buku-buku ilmiah dan resmi lainnya.
What the hell, Raden benar-benar akan membuang waktunya untuk hal tak berguna seperti ini.
Maka dari itu sebagai teman yang baik, Bitna ingin sekali menyadarkan Raden dari kegilaannya akan semua yang berhubungan dengan Zombie.
Tapi untuk sekarang, sepertinya ia akan menyerah dulu. Apalagi Raden juga sudah marah. Tapi tidak untuk besok, Bitna siap kembali menyemburkan petuah-petuah anti Zombie pada Raden.
Sekarang Bitna harus pergi, mengingat kelasnya akan di mulai lima belas menit lagi. Tapi ia urungkan ketika mendengar suara teriakan di sana.
"JANGAN MENDENGAT!"
Bitna sontak mengalihkan pandangannya ke asal suara itu. Bukan hanya Bitna, tapi suluruh orang yang berada di kafetaria, bahkan Raden yang biasanya tidak perduli sekitar sekalipun juga menatap ke arah asal suara seperti dia.
Ada apa?
Bisa dilihat, di depan sana nampak ada kerumunan kecil, di mana terdapat juga sosok Fateh, si pentolan kampus. Sepertinya ada yang mencari gara-gara dengan si Fateh itu.
Mata Bitna tertuju pada seorang pria berkaca mata yang berlari menjauh dari kerumunan. Setelah itu orang yang berkerumun itu pun membubarkan diri.
Tapi nyatanya Bitna masih sangat penasaran dengan apa yang terjadi. Alhasil ia pun memanggil Mia _salah satu kenalannya dari jurusan yang berbeda_, karena tadi Mia memang duduk di dekat kerumunan.
"Ada apa, Na?" Tanya Mia setelah mendekat pada meja Bitna.
"Itu tadi ada apaan sih Mi?" Bitna benar-benar penasaran.
"Oh, itu. Ada orang 'make' di kampus."
"What?"
Bitna paham betul dengan istilah 'make'. Di mana seseorang telah menggunakan zat-zat adiktif berbahaya seperti opium, kokain, ganja, dan heroin. Tapi yang membuat Bitna tidak percaya, orang itu berani menggunakannya di kampus.
"Tapi udah pergi sih orangnya." Lanjut Mia.
"Gilak sih, make di kampus. Berani banget ya."
"Iya Na, padahal tampilannya kayak anak baik-baik gitu loh."
Iya juga ya, Bitna sempat melihat jika cowok yang lari tadi berkacamata dan menggunakan pakaian yang sama sekali tidak kekinian, atau cenderung kuno. Waw, bahkan Bitna sulit percaya kalau orang seperti itu pemakai.
Tapi bisa juga sih, karena penampilan salah satu cara mengelabui orang-orang sekitar.
"Iya-ya. Yaudah makasih ya Mi." Bitna tersenyum tanda terima kasih. Dan di balas acungan jempol oleh Mia.
"Sip."
Setelah Mia pergi, Bitna melihat kearah jam tangganya. Yang sialnya ternyata waktu kurang dari 10 menit sebelum kelasnya di tutup. Ia harus bergegas.
"Den__lhoh,"
Bitna terkejut, ternyata Raden sudah pergi meninggalkannya. Kampret banget memang itu orang.
Apa mungkin karena Raden marah pada Bitna, jadi dia pergi begitu saja tanpa memberi tahu.
Sebenarnya Bitna dan Raden memiliki jadwal kelas yang berbeda, jadi tak masalah kalau di tinggal atau tidak pun.
Tapi masalahnya, semarah-marahnya Bitna pada Raden, ia tak pernah tuh langsung pergi tanpa berpamitan.
"Awas lo Den."
*****
Sore Ini cuaca sangat tak mendukung. Awan gelap di iringi suara petir yang menyambar membuat aura mencekam melingkupi seluruh kota ini. Sepertinya sebentar lagi akan ada badai.
Bitna segera menambah kecepatan mobilnya, karena ia tidak ingin tertahan hujan badai.
Lima belas menit Bitna menempuh perjalanan, akhirnya ia sampai di rumahnya. Rumah minimalis dengan tiga penghuni di dalamnya.
Baru saja ia memarkirkan mobil di bagasi, ia melihat ibunya _Sinta_ keluar dari rumah dengan pakaian super minimnya itu.
Bitna mendesah kasar, sial. Matanya terpejam sebentar sebelum melangkah maju.
Ia hendak diam dan tak menyapa ibunya itu, tapi saat bersimpangan, ibunya malah memanggilnya.
Dan Bitna hanya bergumam sebagai balasan.
"Nanti kalo Bayu udah bangun, kamu ambilin makan ya."
Tak menjawab, Bitna malah langsung menyelonong pergi begitu saja memasuki rumah.
"Arghhh.." Teriak Bitna setelah menutup pintu kamar. Ia melempar tasnya ke arah sofa. Tidak perduli jika di dalam tas ada sebuah laptop.
Bitna benci ibunya. Sangat-sangat benci. Bahkan untuk sekedar melihat wajahnya Bitna sangat muak.
"Sialan."
Bitna benci ibunya bukan tanpa alasan. Ibunya bekerja di sebuah bar. Bukan sebagai barista atau apa, tapi sebagai p*****r. Catat, p*****r.
Bagaimana bisa Bitna tidak membenci, jika profesi ibunya benar-benar memalukan.
Sial.
Tok..tok..tok..
"Kak."
Tak menjawab, Bitna diam saja dengan nafas masih memburu.
"Kakak."
Tok..tok..tok..
"Sialan!" Untuk kesekian kalinya Bitna mengumpat. Memang kalau ia sudah berada di rumah, umpatan demi umpatan akan mengalir terus dari bibirnya.
Cklekk..
Bitna menatap kebawah, kearah bocah laki-laki berumur tujuh tahun itu _malas.
"Kakak, aku laper."
Menekan ego dalam-dalam, Bitna memilih langsung melangkah pergi menuju dapur, tanpa perlu mengeluarkan sepatah kata pun.
Fakta lagi, Bitna juga sangat membenci bocah ini _Bayu.
Bayu adalah anak ibunya hasil dari profesi melacurnya. Karena memang ayah Bitna sudah meninggal sejak ia kecil.
Kadang Bitna menyayangkan kenapa ibunya melakukan ini semua. Jika kekurangan uang, Bitna bisa membantu bekerja. Jika memang butuh lelaki yang mendampingi, Bitna siap jika ibunya menikah lagi. Tapi nyatanya ibunya itu memilih jalan kotor seperti ini.
"Kakak, telurnya dua boleh? Bayu laperrrr banget, pengen makan banyak." Ucap Bayu melihat kakaknya hendak menggorengkan telur untuknya.
Lagi-lagi Bitna tak menjawab, memilih langsung mengambil telur lagi di kulkas.
Sementara Bitna menggoreng telur, Bayu menyalahkan televisi agar tidak bosan.
Lima menit menunggu, Bitna membawakan satu piring nasi lengkap dengan dua telur mata sapi di atasnya.
Bitna meletakkan piring di meja depan Bayu, tanpa mengatakan apapun.
Saat hendak pergi, telinga Bitna mendengar sebuah tayangan berita terbaru dari televisi.
"Breaking news, seorang pria pemabuk berhasil di amankan aparat. Pria tersebut di duga memiliki kelainan ODGJ, karena terus bersikap sangat aneh dan mengamuk."
Bitna terkejut karena pria yang nampak di layar televisi adalah mahasiswa di kampusnya, lebih tepatnya pria tadi siang yang di duga memakai narkoba di kampus.
"Pria tersebut masih dalam pemeriksaan dan polisi tengah menyelidiki lebih lajut."
Bitna mengambil remote televisi, dan mengganti channel pada serial kartun kesukaan Bayu, cerita tentang sepasang mochi yang berusaha tidak di makan oleh manusia. Hal ini ia lakukan, agar Bayu tidak menonton acara tidak jelas.
Setelah itu Bitna pergi meninggalkan Bayu. Sejujurnya Bitna masih sangat kepikiran dengan pria yang ada di televisi tadi.
*****
TBC
.
.
.
.
Kim Taeya