Happy Reading
*****
BOOM..
Letusan sebuah benda mirip petasan tapi di modifikasi seperti penggunaan boom itu memang hanya mengeluarkan sedikit percikan api, meski begitu efek yang di timbulkan langsung menjadi perhatian penuh dari para zombie.
'Graa... Graa...'
Suara langkah kaki yang berbondong-bondong sontak memenuhi pendengaran Bitna dan Raden.
Para Zombie terus berlari menuju arah Selatan dan melewati lift yang di dalamnya ada dua sosok manusia itu. Meski sudah tahu kalau Zombie tak dapat melihat di kegelapan, untuk mengantisipasi Bitna juga Raden tetap bersembunyi di samping kanan dan kiri _pojok_ pintu lift.
Setelah menunggu beberapa detik langkah-langkah kaki itu sudah berhasil melewati lift, meski begitu suara ganas Zombie tetap terdengar kuat dari arah selatan.
Bitna hampir memanggil nama Raden, tapi langsung tertahan ketika ternyata ada sesosok Zombie laki-laki dengan kaki pincang dan tangan berputar ke belakang itu berjalan pelan di lorong depan lift.
Tentu saja Bitna takut, ia hanya bisa terus merapalkan doa agar Zombie cepat berjalan pergi dari sana. Tapi nyatanya seolah doa itu tak ter-ijabah, karena Zombie malah berhenti tiba-tiba, dan berbalik memasuki lift yang di dalamnya terdapat Bitna dan Raden itu.
Bitna berusaha menahan nafasnya dengan sekuat tenaga, begitupun juga Raden. Raden sendiri malah sudah siap dengan pistol yang ia acungkan. Sebenarnya Raden takut menimbulkan suara yang mana akan mengundang para Zombie di luar untuk datang, tapi di sisi lain ia lebih takut jika bisa saja Zombie ini malah menyerang tiba-tiba.
Zombie kaki pincang ini berjalan masuk seraya menyeret kakinya _pelan. Kepalanya tak henti-hentinya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan mulut terbuka, seolah dia sudah siap untuk memangsa seseorang yang akan di lihatnya.
Bitna tercekat, ia pikir setelah mengendus Zombie mati di bawah itu, Zombie kaki pincang akan langsung pergi, tapi ternyata tidak. Karena sekarang zombie kaki pincang tengah menatap ke arahnya lama.
Meski sangat panik, Bitna berusaha mungkin tak menimbulkan suara apapun, hanya matanya saya yang bergerak terpejam terbuka beberapa kali, sebagai ungkapan kalau ia benar-benar ketakutan.
Drtt... Drtt...
Nasib sial seperti memang menyelimuti Bitna sekarang, karena pada akhirnya perjuangannya menahan nafas lama di mana ia bahkan hampir kehilangan nafas itu sia-sia.
Bitna tak menyangkan ponsel di sakunya akan bergetar di saat yang tidak tepat seperti ini. Apalagi sudah di pastikan itu pesan singkat dari operator.
"Sial!" Umpat Raden pelan, tapi masih bisa di dengar oleh Bitna yang saat ini ketakutan hebat.
"Graa__"
Dorr...
Raden yang tak tahan pun langsung menembakan pistolnya ke arah kepala Zombie itu, dan sang Zombie langsung jatuh ke bawah.
Ow, Bitna dah Raden baru menyadari kalo keadaan luar menjadi hening, sebelum,
"Graa."
Teriakan penuh di sertai langkah bersama-sama menuju ke arah mereka terdengar.
"Lari!" Pekik Raden, seraya menarik pergelangan tangan kiri Bitna.
Bitna yang sedikit linglung karena panik hanya mengikuti langkah lari-an Raden. Tapi setelah itu Bitna tersadar kalau ia harus sedikit mengurangi Zombie yang paling depan.
Pistolnya langsung ter-acung ke belakang. Dengan penuh emosi, ia melepaskan pelatuk senjata beberapa kali.
Dor...
Dor...
Dor...
Dor...
Para Zombie yang terkena peluru Bitna pun berjatuhan.
Raden melepaskan cekalan-nya dari tangan Bitna ketika melihat sebuah meja tertata di lorong.
"Lari terus sambil tembak, Na!" Perintah Raden yang mana langsung mendapat anggukan dari Bitna.
Menyadari Bitna yang melakukan perintahnya untuk menembak dan terus berlaripun, membuat Raden melakukan apa yang ia pikirkan. Ia menendang meja itu keras-keras ke arah Zombie, meski tak membuat Zombie mati, setidaknya akan sedikit memperlambat Zombie yang mengejar.
Brakk...
Brakk...
Raden terus menendang meja itu ke belakang, seraya menyusul Bitna yang sudah berlari di depan.
Dor...
Dor...
Dor...
Tiga meter lagi mereka mencapai pintu tangga darurat. Tapi sialnya di belakang ada dua sosok Zombie yang berlari begitu cepat dari yang lain.
Bitna berlari sekuat tenaga, begitupun Raden di belakangnya.
Dan berhasil, Bitna masuk di ikuti Raden.
Tapi kesialan yang entah keberapa kalinya itu terjadi, saat hendak menutup pintu besi sesosok tangan Zombie telah mengganjal pintu, sehingga mengakibatkan pintu tak dapat di tutup.
Panik bukan main.
Pasalnya banyak Zombie di belakang sudah hampir mencapai pintu. Jika tidak segera di tutup Zombie akan terus mengejar mereka.
"Na," Raden menarik gagang pintu besi sekuat tenaga sama halnya Bitna. "Ayo tarik sama-sama Na."
Bitna mengangguk setuju, ia menghembuskan nafasnya kasar, sebelum Raden memberi aba-aba hitung mundur. Mereka harus mengeluarkan semua tenaga yang di miliki agar pintu dapat tertutup.
"Satu."
"Dua."
"Tiga!"
Brakk...
Dengan kekuatan yang tersisa Raden dan Bitna berhasil menarik pintu hingga benar-benar tertutup rapat. Bahkan mereka melupakan kalau tangan Zombie yang menghadang pintu langsung putus begitu saja, dan jatuh ke bawah.
Bitna sungguh merasa mual melihat tangan penuh darah itu. Tapi mau bagaimana lagi, setidaknya mereka bisa selamat meski harus mengorbankan tangan itu.
Bitna dan Raden yang lelah pun duduk di tangga sebentar. Nafas mereka masih tak beraturan, begitupun jantungnya yang masih berpacu kencang.
"Den,"
Meski masih dengan nafas yang tersengal-sengal, Bitna ingin mengucapkan sesuatu pada Raden. "Makasih ya Den ..., dan maaf."
"Kenapa?" Tanya Raden tanpa melihat ke arah Bitna, ia juga tengah menyesuaikan pernafasan-nya.
"Makasih, hanya karena gue, lo korban-in nyawa hampir melayang terus kayak tadi." Bitna menundukkan kepalanya, merasa sungkan dengan Raden, karena tadi ia yang ngotot ingin pulang. Dan alhasil Raden ikut merasakan dampak buruk hanya karenanya.
"Na," Raden menoleh kearah Bitna, lalu mengangkat wajah Bitna agar menatapnya. Di lihatnya mata Bitna yang sudah berubah berkaca-kaca itu sejenak. "Lo sendiri tau, gue nggak akan bisa biarin lo pergi sendiri. Dan ya, gue bahkan siap mati kalau itu demi elo. Dari pada gue hidup sendiri di dunia ini tanpa elo Na, ..."
"Em, tapi akan lebih baik kalau kita berusaha sehat Na, biar kita sama-sama terus hidup untuk nikmatin dunia ini." Raden tersenyum mencoba memberi kekuatan pada temannya itu.
"Gue nggak nyangka lo bakal begini, hiks." Bitna kembali menunduk, air matanya malah mengalir turun mendengar penjelasan Raden.
Raden segera merangkul bahu Bitna dan menepuknya pelan. Sekuat-kuatnya Bitna, dia tetap lah perempuan yang pada dasarnya perasa, jadi Raden bisa memaklumi. "Na, lo keluarga gue satu-satunya. Jadi jangan dipikirin. Yang penting kita harus berusaha buat nggak di gigit sama Zombie-zombie si*lan itu. Okay?"
Bitna mengangguk pelan, "Ok-Okay. Hiks. Maaf karena selama ini terus remehin lo pas bahas Zombie. Maafin gue Den, hiks."
Bitna menumpahkan tangisnya, tanpa perduli suara raungan Zombie di balik pintu belakang mereka terdengar seperti backsound.
"Iya, udah Na. Udah gue maafin. Jangan di bahas. Lebih baik kita pikirin cara keluar dari sini dulu." Raden menepuk kepada Bitna sebelum bangkit berdiri dari tempatnya. Mereka memang harus segera menyelesaikan ini, dan bukan membuang-buang waktu di tengah mara bahaya.
"Iya." Bitna menghapus air matanya dan ikut berdiri. Ia mengambil pistolnya yang tadi sempat ia lempar akibat panik harus menarik pintu.
Bitna dan Raden melakukan pemanasan badan sebentar, dan meluruskan sendi-sendi tubuh.
"Lo siap?"
"Siap Den."
"Em, karena di luar sana jauh lebih banyak Zombie. Lo nggak perlu tunggu aba-aba gue saat tembak. Karena gue tau, gue nggak bisa lindungin elo seratus persen, Na."
*****
Tbc
.
.
.
.
Kim Taeya