Dibawah pekatnya mendung yang menggantung, bersamaan dengan jatuhnya setiap tetesan air hujan, di sebuah pusat perbelanjaan yang tampaknya tak pernah berhenti berdenyut, seorang wanita berdiri didepan pintu masuk, menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong.
Hujan turun deras, menyamarkan suara hiruk-pikuk pengunjung mall yang sejak tadi sibuk keluar-masuk bergantian seolah tak peduli dengan jutaan air yang tumpah secara bersamaan. Wanita berambut panjang itu menggigit bibir bawah menatap setiap tetes yang jatuh ke aspal, menambah lapisan lembap pada kenangan-kenangan yang perlahan memudar dari ingatannya.
"Ck. Udah lima belas menit, susah banget cari driver" Wanita berusia dua puluh lima tahun itu menatap kesal ke arah layar ponsel, lantas menghela nafas.
Di sekelilingnya, lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan, berpendar redup dalam kabut hujan. Dia tidak sendiri, beberapa orang juga tengah menunggu hujan reda sama seperti wanita itu.
Getaran ponsel memecah lamunannya, seolah mendapatkan bala bantuan, wajah yang semula lesu mendadak berubah lebih cerah.
"Halo, Sam. Lo dimana? Sumpah, gue butuh bantuan,"
Entah apa yang Sam katakan disebrang sana, wanita itu mengangguk sekilas, dia kembali bersuara, "Gue di lobi Mall Taman Anggrek... gimana? Nggak bisa ya? Yah, gimana dong, gue cari driver gak dapet-dapet dari tadi."
Wajah penuh harap itu kembali lesu, Sam sepertinya tidak bisa menjemputnya, final.
Panggilan telepon itu berakhir cepat, tidak ada yang bisa ia lakukan selain kembali menunggu sampai dapat driver.
"Mbak Tiara?"
Merasa namanya dipanggil, ia menoleh, "Tavisha?"
"Iya, Mbak. Lagi nunggu hujan reda ya?"
Wanita si pemilik nama lengkap Tiara Maharani itu kembali mengangguk, meskipun baru bertemu sekali dengan Tavisha, dia ingat gadis ini yang mengembalikan jam tangannya saat di masjid hari itu.
"Iya nih, dari tadi gue cari driver nggak dapet-dapet. Lo juga lagi nunggu hujan reda?"
Tavisha menggeleng, dia tersenyum tipis kemudian menjawab, "Nggak, Mbak. Aku mau ke parkiran"
"Parkiran? Aduh, gimana ya, gue boleh nebeng lo nggak, Sha? Mana tau kalau pindah lokasi gue bisa dapet driver lebih mudah"
"Mbak Tiara rumahnya dimana?"
Tiara menyebutkan alamat lengkapnya, Tavisha tau kawasan perumahan itu, jaraknya lumayan jauh dan lawan arah dari rumahnya. Dia sebenarnya mau saja mengantar Tiara sampai ke rumah kalau saja situasinya tidak seburuk ini, nekat menerobos hujan bukan pilihan yang tepat.
"Kejauhan ya, Sha? Nggak perlu anter sampai rumah, turunin aja di halte yang dekat persimpangan depan"
"Aduh, mbak. Rumah mbak Tiara lumayan jauh dari sini, mana hujan deres. Aku nggak mungkin tega nurunin mbak di halte," Tavisha menimang sejenak sebelum akhirnya memberi opsi lain, "Gimana kalo mbak ikut aku? Rumahku juga lumayan jauh, tapi cafe milik keluargaku deket sini, Mbak. Nanti mbak Tiara cari driver dari sana aja, daripada berdiri disini"
"Boleh, boleh. Gue mau! Tapi.. lo mantel, Sha?"
Tavisha mengangkat dua jempolnya seraya tersenyum, "Aman mbak!"
"Okay, sori ya jadi ngerepotin"
"Iya, nggak apa-apa, ayo!"
Dua perempuan itu akhirnya nekat menerobos hujan lebat, mereka berdua mengenakan mantel masing-masing, meski begitu mantel tersebut tak mampu menahan dinginnya udara disekitar. Untung saja, tak sampai dua puluh menit, motor Tavisha belok memasuki halaman cafe SummerX.
Buru-buru mereka berteduh diteras, keduanya segera melepas mantel.
"Ayo masuk, Mbak"
Ada beberapa pengunjung yang sedang duduk disana, mereka mengobrol santai dengan teman atau pacar. Tiara mengekor dibelakang Tavisha menuju ke arah pantry.
"Mbak Tiara duduk disini aja ya, nanti aku bawain coklat panas. Mau roti bakar nggak? Aku traktir, tenang aja."
"Hahaha, masuk aja dulu, Sha. Gue bisa pesen sendiri kok"
Tavisha nyengir, dia mengangguk paham, lantas menghilang dibalik pintu. Tiara meraih buku menu, melihat-lihat daftarnya, mana tau ada yang menarik perhatian. Tak lama, gadis itu berdiri menuju ke meja kasir.
"Saya mau pesen sop buntut, nasi putih, sama minumnya teh panas, tanpa gula"
"Ditunggu sebentar ya, Kak" Seorang Ibu-ibu, usianya kisaran 45 tahun tersenyum melayani.
"Iya"
Tiara kembali ke tempat duduknya, dia mengeluarkan ponsel, memberi kabar ke Bunda kalau masih terjebak hujan deras. Mungkin satu-dua jam lagi dia akan tiba dirumah. Tavisha tak lama kembali muncul dengan kaos dan celana panjang, rambut panjangnya tergelung rapi.
"Mbak Tiara jadi pesen? Atau mau aku rekomendasiin sesuatu?" Tavisha meraih buku menu, "Hujan-hujan gini enaknya makan sop, lagi ada menu baru, ini, sop buntut! Dijamin, enak banget!"
Mendengar gaya promosi Tavisha membuat Tiara terkekeh, "Gue udah pesen itu kok tadi, tertarik karena ada tulisan diskon 25%"
Keduanya sama-sama tertawa, "Coba aku cek kebelakang dulu ya, Mbak"
Sebagai jawaban Tiara hanya mengangguk.
Aroma sedap tercium oleh hidung mungilnya, Tiara menoleh mengikuti darimana arahnya aroma tersebut. Tavisha muncul beberapa meter darinya, tersenyum seraya membawa nampan.
"Wah, aromanya enak banget, Sha"
"Jelas, masakan Mama belum pernah ada yang gagal, Mbak. Ayo dicoba, mumpung masih panas"
Tanpa disuruh dua kali, Tiara mulai menyendok, meniup pelan sebelum ia masukan ke dalam mulut.
Mata wanita itu membulat, "Sha! Ini enak banget, loh!"
"Kan, bener apa kataku" Tavisha ikut duduk, dia tidak makan, hanya membawa secangkir coklat panas.
"Aduh, pas banget gue laper. Terakhir kali gue nyentuh makanan pas makan siang di kantor,"
"Pelan-pelan aja makannya, Mbak. Masih panas" Melihat betapa lahapnya Tiara makan membuat hati Tavisha menghangat. Tidak sia-sia menambahkan menu baru di cafenya.
"Kamu masih kuliah atau udah kerja?"
"Masih kuliah, Mbak. Kalo malem bantuin Mama disini"
"Sekarang umur berapa?"
"Dua puluh"
"Wah, masih muda banget, gue jadi merasa tua"
"Ah, usia cuma angka, Mbak. Lagipula kalo orang gak tau, pasti bakal mengira kalo mbak Tiara sepantaran sama aku"
"Bisa aja kamu"
"Emm, mbak Tiara udah punya suami? Aduh, maaf ya mbak, nggak bermaksud kepo atau apa"
Tiara tau, sepasang bola mata coklat itu hanya ingin tau, tak ada intimidasi dalam tatapan mata itu. Dia menggeleng sebagai jawaban.
"Belum kepikiran, Sha. Masih sibuk mikir karir, umur-umur segini lagi menghadapi quarter life crisis"
"Wah, bisa ya mbak Tiara sesantai itu. Mama-ku tuh ya, sering banget nyuruh aku cepetan cari pacar terus nikah, takut banget anaknya jadi perawan tua"
"Maklum, semua orang tua pasti gitu. Bunda juga gitu, awalnya. Cuma sekarang udah jarang nyuruh nikah, capek kali ya, gue selalu menghindar kalau udah mulai bahas-bahas nikah"
Ternyata bukan hanya Mama-nya yang seperti itu, kebanyakan Ibu selalu menekan anaknya untuk segera menikah jika dirasa usianya sudah genap 20 tahun.
"Masalahnya lagi, dari sejak remaja sampai sekarang aku belum pernah pacaran, Mbak"
"Hah? Seriusan? Cewek cantik kayak lo belum pernah pacaran?"
Tavisha mengangguk seraya mengangkat kedua bahunya. Saat duduk dibangku SMP dan SMA, Tavisha seperti kuda pacu, dia sibuk belajar, mengejar beasiswa di salah satu universitas terbaik di Indonesia. Sampai-sampai dia mengesampingkan urusan percintaan. Setelah kuliah, dia melihat betapa buruknya tabiat laki-laki saat pacaran sehingga membuat Tavisha malas untuk pacaran, dia lebih nyaman berteman saja dengan mereka.
Keduanya mengobrol santai, tidak pernah kehabisan topik, seru sekali melihatnya.
"Mbak sendiri gimana? Pernah pacaran?"
Kali ini Tiara terdiam, kepalanya menoleh ke luar, dimana rintik hujan masih turun membasahi tanah.
"Pernah,"
"Biar aku tebak, pasti pacar mbak dulu idaman seluruh sekolah? Terus dia pinter, tipe goodboy gitu, soft, bisa jadi ketua osis"
"Kenapa bisa nebak gitu?"
"Kalo dilihat dari cara mbak berpenampilan, terus bersikap, aura dewasanya kerasa banget. Nggak mungkin pacaran sama cowok asal-asalan kan? Apalagi tipe cowok badung gitu"
"Kurang tepat, justru pacar gue dulu playboy. Suka banget bikin gue naik darah sama kelakuannya. Dia juga bukan anak osis, kebalikannya, dia sering bolos. Kalo pinter, iya, dia pinter banget."
"Waaahh, gak nyangka, ternyata tipenya yang kayak begitu. Terus, sekarang gimana? Udah putus atau masih pacaran?"
Tiara meletakan sendok dan garpu, dia menyeruput teh tawar panasnya, wanita itu tersenyum ke arah Tavisha.
"Next time gue cerita lagi, sekarang udah oversharing banget"
"Ish! Yaudah nggak apa-apa," Tavisha mengangguk, dia mengeluarkan ponsel, "Boleh minta nomer telepon nggak, Mbak? Kalo nggak keberatan sih, kayaknya seru juga kalo temenan sama mbak. Atau mau jadi kakak aku aja?"
"Gue yang males punya adik cerewet kayak lo"
"Ehehehe"
Pertemuan hari itu membawa Tiara dan Tavisha ke hubungan pertemanan, atau lebih tepatnya kakak-adik ketemu gede.
○○○○
"Astaga!!"
"Kenapa, Kak?"
"Aku lupa tugasku belum dikerjain, Ma!"
"Kamu ini, ck. Udah tinggalin aja pancinya, biar Mama yang beresin, kamu pulang duluan aja gak papa."
Tavisha meletakan panci yang semula hendak ia cuci, tugas yang harus dikumpulkan besok belum ia sentuh sejak siang tadi. Gadis itu merogoh ponsel, mencoba menghubungi teman-temannya, nihil, tidak ada satupun yang merespon.
"Ma, aku beneran pulang duluan? Gak masalah? Dosennya killer banget, Ma. Bisa-bisa nilaiku 0 kalo gak ngumpulin tugas."
"Iya, iya, kakak pulang aja dulu. Nanti Papa suruh jemput Mama disini, ya"
"Iya, maaf ya, Ma."
"Udah nggak apa-apa, Kak. Pastiin juga adikmu udah makan malam dirumah"
"Iyaaaa"
Tanpa menunggu, Tavisha segera meluncur pulang ke rumah. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, besok cafe libur, untuk itu Mama dan Tavisha tutup lebih awal. Gadis itu menaiki motor dengan kecepatan diatas 60 km/jam, cukup tiga puluh menit akhirnya ia tiba.
Cklek!
"Astaga, Kakak! Pelan-pelan buka pintunya, kaget tau!"
"Sori-sori." Tavisha berjalan cepat menuju kamar tanpa sempat menaruh perhatian pada ekspresi Vanesha, adik perempuannya. "Eh, dek. Lo udah makan malem?" tanya Tavisha mendadak berhenti di anak tangga.
"Udah,"
"Oke, good!" Lalu, dia melanjutkan langkahnya.
Awalnya Tavisha ingin mengerjakan tugasnya sendirian, toh, teman-teman yang lain tidak ada respon, mungkin sudah tidur, atau sibuk nongkrong. Namun, ditengah mengerjakan soal, gadis itu mengalami kendala. Dia butuh bantuan, tapi dengan siapa dia meminta tolong? Sekarang hampir pukul sebelas malam.
Daniel.
Entah siapa yang membisikan nama tersebut, Tavisha sudah diambang putus asa. Mencoba keberuntungan, Tavisha mengirim pesan pada Daniel, padahal baru pagi tadi mereka bertukar nomor telepon.
Viola!
Daniel membalas pesannya!
Dan luar biasa, laki-laki berparas tampan itu juga bilang dengan senang hati mau membantu Tavisha mengerjakan tugas kuliahnya.
Tanpa pikir panjang, Tavisha mengirimkan PDF tugasnya ke Daniel.
"Lima belas menit, gue kirim jawabannya ke lo ya, Sha. Jangan tidur dulu" Kata Daniel lewat chat.
Lagian, siapa yang bisa tidur disaat tugas belum selesai? Tavisha menunggu seraya mengoreksi ulang jawaban atas tugas yang lainnya.
"Kak,"
Tavisha menoleh kebelakang, "Papa,"
"Mama nggak bareng kamu?"
"Mama masih beres-beres di cafe, Pa. Aku pulang duluan soalnya ada tugas. Tadi Mama pesan, Papa disuruh nyusul"
Papa mengangguk, "Yaudah, Papa nyusul Mama sekarang. Jangan begadang,"
"Iya, suruh Vanesha juga, Pa. Dia masih nonton drakor di ruang tengah"
"Adikmu itu, susah."
Lima belas menit persis, notifikasi ponsel Tavisha berbunyi, gadis itu segera mengeceknya, ada file PDF yang baru saja dikirim Daniel.
Disusul panggilan video masuk, Tavisha gugup dibuatnya. Apa yang harus dia lakukan? touch up? Tidak sempat! Bodo amat, gadis itu mengangkat telepon, dan seketika wajah Daniel memenuhi layar membuat Tavisha salah tingkah.
"Sori ya, mendadak telepon. Lebih efisien kayak gini, biar enak juga kalo lo mau tanya sesuatu"
"Eh, itu, mas Daniel nggak tidur?"
"Belum, baru balik kantor tiga puluh menit yang lalu, Sha" Daniel memotong percakapan mereka, "Malah ngobrol, cek dulu file yang gue kirim"
"Iya, iya.."
Kalau boleh jujur, Tavisha jadi tidak fokus. Sejak tadi Daniel memperhatikannya, wajah tampan itu membuat Tavisha grogi parah.
"Kayaknya aku udah paham semua, Mas."
Lebih baik bohong, daripada jantungnya yang jadi taruhan.
"Serius? Muka lo kayak nggak yakin"
"Besok aku ulas lagi, makasih ya atas bantuannya, maaf aku ngerepotin mas Daniel malem-malem gini"
"Nggak repot kok, lo bisa minta tolong gue kapan pun"
"Tapi mas Daniel pasti sibuk kerja, kan."
"Tiap hari juga sibuk, Sha. Semua tergantung prioritas"
Hah? Maksudnya... apa?
Tavisha prioritas Daniel begitu? Ini bukan Tavisha yang salah mengartikan, kan?
"Ah, gitu.."
"By the way, lo udah punya cowok belum, Sha?"
Apalagi ini, Tavisha memang belum pernah pacaran, bukan berarti dia tidak paham bagaimana lelaki saat punya niatan PDKT. Tavisha meremas ujung bajunya, mendadak jantungnya berdebar-debar tak karuan hanya karena pertanyaan spele itu.
"Belum, Mas" Suara Tavisha berubah jadi lebih kecil.
Daniel tersenyum seraya mengelus d**a, "Untung aja, aman berarti kalo gue maju"
"Maju? Tunggu, tunggu, aku gak mau salah paham, maksudnya gimana, Mas?"
"Ya maju, maju buat deketin lo, Sha."
Tavisha menyugar rambut, "Mending mas Daniel pikir-pikir lagi, aku masih anak kuliahan. Nggak setara sama Mas Daniel yang udah kerja, masa depan jelas."
"Gue baru mau deketin lo, Sha. Bukan mau ajak lo married besok, santai aja"
Oh...
Lebih baik Tavisha tidak perlu menaruh perasaan terlalu dalam pada Daniel.
○○○
Tavisha ingat, semalam dia baru bisa tidur pukul satu dini hari setelah melakukan panggilan video dengan Daniel. Keduanya membahas banyak hal tentang satu sama lain, Daniel lebih aktif bertanya sementara Tavisha hanya menjawab seadannya. Berkali-kali dia mengingatkan pada diri sendiri agar tidak termakan gombalan Daniel Dirgantara.
Gadis itu harus bangun pagi sebab ada mata kuliah 2 SKS pagi, dan 3 SKS siangnya. Ia menyadari kalau satu hari itu cepet banget berlalunya. Tau-tau sekarang udah pukul setengah empat sore. Dan Tavisha baru menyelesaikan mata kuliah 3 SKS nya.
“Cieee yang dapet pujian dari dosen karena essay nya paling bagus sekelas” Puji Clara, sobat satu-satunya yang Tavisha punya.
“Jelas, gitu doang mah kecil!”
“Halah, palingan juga ngejoki, ngaku lo”
“Palelu sini gue joki. Gue ngerjain sendiri tau” Balas Tavisha lantang. Pokoknya dia harus terlihat meyakinkan, meski pada kenyataannya Daniel-lah yang mengerjakan essay milik Tavisha. Jangan sampai ada yang curiga kepadanya.
Mereka berdua beranjak dari kelas, hari ini Tavisha tidak membawa motor sendiri, Clara yang menawarkan diri menjemput. Dia merasa bersalah sebab semalam tidak merespon chat Tavisha.
"Oh iya, Sha, lo inget kating anak Teknik yang kemarin nyamperin gue ke kelas?"
"Ehem, kenapa tuh? Nembak?"
Dari cara Clara merespon, Tavisha yakin tebakannya tidak meleset. Gadis itu memutar bola mata malas, setahu dia Clara dan Mike anak Teknik itu baru kenalan dua hari, dan dengan gampangnya mereka pacaran?
Kalau Tavisha tidak pernah pacaran, maka Clara sebaliknya, dia seolah tidak bisa hidup jika tidak punya pacar. Hari ini putus, lusa udah ada gandengan baru.
"Dia bilang gak mau jalanin hts, Sha. So sweet gak sih?"
"Alah, paling seminggu juga putus"
Clara manyun, dia mendorong pelan bahu Tavisha. "Kok lo ngomongnya gitu sih, tapi nggak masalah, gue bisa cari pacar baru, kayak yang udah-udah."
"Gue hapal banget sepak terjang percintaan lo ya, Ra. Pacaran paling lama cuma sebulan, udah nggak kehitung berapa banyak mantan lo itu"
"Dua lusin mungkin"
"Stres."
Mereka berdua tiba di parkiran, hari ini Clara bawa mobil. Biasanya dia dan Tavisha sama-sama bawa motor, alasan sederhana, menghindari macet. Kalo naik motor bisa menyalip kanan-kiri.
"Makanya punya pacar, Sha. Biar lo paham sama apa yang gue rasain"
"Ribet. Gue harus buang-buang waktu mikirin perasaan orang lain yang belum tentu bakal jadi suami, belum lagi gue harus izin kalo mau kemana-mana, sial banget kalo dapet yang posesif, nggak mau gue."
"Ah, lo mah gitu. Belum apa-apa udah negatif thinking. Gak semua cowok kayak gitu kali, Sha."
"Iya sih, tapi sejauh yang gue temui gitu semua"
"Susah, udah trust issue duluan bocahnya." Clara mulai mengemudikan mobilnya menuju rumah Tavisha. Mereka rencananya mau nonton drakor bareng, udah janjian sama Vanesha juga. Tavisha sih nggak terlalu suka drakor, tapi ngikut aja lah, adik dan sobatnya yang kecanduan drama asal Korea Selatan itu.
"Tapi, Ra. Ada satu cowok yang bikin gue penasaran"
"Siapa? Anak kampus kita? Yang mana? Biar gue bantu pdkt, atau cari tau silsilah keluarganya"
"Gak gitu juga, Clara.."
"Ehehehe, jadi siapa?"
"Nanti deh, kalo semuanya udah jelas, gue spill ke lo siapa orangnya"