Siapa bilang berkecimpung di dunia perkantoran itu enak? Setiap hari hanya ketemu dengan angka, deretan pekerjaan yang tiada habisnya, juga dering pesawat telepon sampai kadang ingin sekali dia putus kabelnya.
Seperti saat ini, Lucas membanting tubuhnya pada sandaran kursi, tangannya bergerak untuk melonggarkan dasi.
"Ini kerjaan kayak gak ada habisnya," gumam laki-laki berkulit tan itu, matanya agak kabur sekarang saking seringnya menatap layar komputer.
Tok. Tok
Dengan malas Lucas menatap pintu kaca di depannya, sosok yang lebih mainly, matang, dengan jambang tipis itu masuk.
"Purchase Order yang harus gue taken lo taruh mana?"
Dialah Kaisar, direktur sekaligus kakak Lucas yang sekarang bertanggung jawab penuh atas perusahaan keluarga.
"Ada di atas meja lo. Dicari dulu bisa gak sih? Gak usah kebanyakan tanya."
Lucas yang menjabat sebagai sekretaris Kaisar mendengus, dia tak perlu berbicara formal dan bersikap santun pada sang kakak yang kadang berubah menyebalkan.
"Udah gue cari gak ada, buru dah cariin. Abis ini gue ada dinner sama Berlin."
"Bang, gue baru istirahat loh. Sekali aja gak ngerecokin gue gak bisa ya?"
"Cas, ini peritah atasan."
Lucas menghembuskan nafas kasar, wajahnya masam, dia akhirnya bangkit dari posisinya.
"Lo bosnya, Kai." Kalau sudah kesal begini, Lucas malas memanggil Kaisar dengan sebutan abang.
Kaisar mengekor dibelakang Lucas, keduanya masuk ke ruangan Kaisar, Lucas langsung berjalan menuju atas laci, disana ada beberapa tumpukan dokumen. Dia jelas hafal dimana letak Purchase Order tersebut karena dia sendiri yang meletakkannya disana.
"Nih!"
"Ini mah diatas laci, bukan meja!"
"Serah dah, Kai. Capek gue, balik duluan deh."
"Kerjaan lo udah selesai emang?"
"Gue lanjut besok aja, daripada gue mati kelelahan"
Kaisar menyugar rambut, dia membiarkan Lucas keluar dari ruangan, sebelum duduk dia sempat bergumam, "Emang ada orang mati karena kelelahan mukulin dokumen-dokumen?"
○○○
Kejadian yang sama juga terjadi pada Daniel, dia harus tertahan di kantor hingga malam hari. Mommy Ana sendiri yang minta tolong agar Daniel melakukan cross check dokumen yang sudah selesai taken sebelum diserahkan ke Antonio. Malam ini Mommy Ana ada jamuan makan malam bersama customer dari India.
"Nggak salah, Niel, lo pesen pizza sebanyak ini?"
Antonio masuk ke dalam ruangan sembari menenteng tiga box pizza.
"Nggak salah, emang sengaja gue pesen banyak."
"Mau ada party apa gimana nih?"
"Enggak, buka aja. Makan sebanyak yang lo mau, itung-itung sebagai kompensasi karena gue udah nahan lo di kantor sampai jam sembilan malem" Daniel nyengir, berbanding terbalik dengan Antonio yang hanya mendengus.
"Kalo gak ada uang lemburan gue juga ogah, Niel."
"Duit mulu otak lo"
"Iyalah, era sekarang semua butuh duit bos!"
Daniel hanya menggelengkan kepalanya, dia beranjak, menumpuk beberapa dokumen yang telah selesai di cross check ke atas meja Antonio.
"Gila, banyak bener."
Antonio setuju ikut lembur sebab esok hari dia harus ikut Ana ke kantor pemerintahan sebelum ikut ke luar kota, Surabaya. Jadi, dia harus menyelesaikan pekerjaannya malam ini.
Sementara Antonio kembali bekerja, Daniel mencomot satu slice pizza, mengunyah sembari menatap city light dari lantai 20.
"Kata orang, jadi orang kaya itu enak, Gus."
"Emang enak, kan? Punya banyak duit, mau apapun pasti bisa" Antonio menimpali, tetapi tangan dan matanya tak beralih dari dokumen didepannya.
"Iya, tapi pernah nggak lo mikir, kalo hidup sebagai orang kaya itu nggak tenang. Lo harus jaga atau cari cara supaya uang lo bertambah, ngga ada waktu buat leha-leha karena takut kekayaan lo akan berkurang."
"Orang kaya kebanyakan serakah tanpa sadar kalau mereka serakah"
Daniel mengangguk setuju. Tidak usah jauh-jauh, kedua orang tuanya juga seperti itu.
"Sebenernya apasih yang orang kaya cari? Kepuasan? Tapi kalian nggak pernah merasa puas"
"Ntahlah, Gus. Nanti gue kasih tau kalo gue udah jadi orang kaya itu"
Keduanya sama-sama terdiam, Daniel sibuk dengan isi pikirannya, masih ada beberapa dokumen yang belum dia cross check, Daniel masih mengistirahatkan otaknya sebentar.
"Btw, Niel. Lo seriusan beli pizza sebanyak itu cuma buat kita berdua?"
"Nggak lah, malam ini gue ada tamu."
"Tamu?"
Tepat saat bibir Antonio terkatup, ketukan pintu kaca terdengar, seseorang masuk ke dalamnya seraya menenteng paper bag.
"Wah, gue kira salah kantor, ruangannya mirip sama yang sebelah" Lucas masuk dan kembali menutup pintu.
“Siapa??”
Antonio bertanya tanpa mengindahkan ucapan Lucas barusan. Daniel menghampiri Lucas, "Dia temen gue, Gus. Namanya Lucas"
"Lucas"
"Antonio Gustomi"
"Nih, pesenan lo"
Daniel menerima uluran paper bag tersebut, menatap isinya sebelum meloloskan tawanya.
"Kok bisa lo bawa masuk nih minuman"
"Aelah, selipin aja dua lembar, beres."
Salam tempel biasanya digunakan untuk memuluskan sesuatu, hal tersebut seperti di legalkan di negara yang anti korupsi, kolusi, dan nepotisme ini.
"Bawa apaan sih?" Tanya Antonio penasaran.
"Anggur merah,"
"Gila lo, Daniel!"
Melihat ekspresi Antonio membuat tawa Daniel kembali pecah. "Kenapa syok gitu? Jangan kira gue gak tau mommy sering minta lo buat bawain anggur ke ruangannya, ya"
Bungkam, Antonio memang sering diminta Ana untuk membawa anggur merah ke ruangannya saat lembur seperti ini.
"Santai aja kali, anak bos yang bakal bertanggung jawab kalo ada sesuatu" Lucas menambahi seraya merangkul pundak Daniel.
Membawa langkahnya ke meja, Daniel mengambil tiga gelas wine, menuang sepertiga gelas secara rata, dia berikan kepada Lucas dan Antonio.
"Lucas kesini buat bantuin gue, biar cepet selesai nih kerjaan."
"Dulu pas sekolah, Daniel yang sering bantu gue ngerjain tugas, gak pernah pelit contekan."
"Branding lo bagus juga, Niel" Antonio terkekeh mendengarnya.
"Sama dia doang, kalo sama yang lain mah gue ogah."
"Privilege temenan sama anak pinter" Lucas nyengir, meski diucapkan dengan nada bercanda, aslinya dia serius. Sebuah keberuntungan bisa berteman dengan Daniel.
Pekerjaan Antonio kelar setelah dua jam kemudian, pun Daniel yang akhirnya mematikan komputer. Ketiganya seperti kerja rodi, jarum jam menunjukan pukul setengah dua belas malam.
"Besok lo jadi nemenin mommy, 'kan?"
"Jadi, gue udah booking tiket pesawat ke Surabaya juga" Antonio mengemasi barang-barangnya, bersiap untuk kembali ke peraduan. "Lo nggak balik, Niel?"
"Ntar lagi deh, lo duluan aja"
"Yaudah, balik duluan gue, see you"
"Tiati, Gus!"
"Antonio!" Tegur si pemilik nama saat Lucas ikut-ikutan memanggilnya dengan sebutan Gustomi.
Lucas hanya tertawa mendengar rekan kerja Daniel. Posisi Lucas dan Antonio sebenarnya sama, jadi dia bisa merasakan secapek apa ada diposisi Antonio. Lucas tidak ingin melemparkan jokes berlebih, takut justru memancing emosi Antonio.
○○○
Gue takut, Niel. Gue takut kehilangan lo untuk selamanya.
Nggak bisa ya kita balikan aja?
Promise me, someday you'll come back.. for me.
Nafas Daniel tersenggal, dia terbangun dengan bulir keringat yang menetes turun dari pelipisnya. Mimpi itu lagi, Daniel merasa di hantui oleh janji masa lalu. Padahal jika ditilik, sang empunya sudah menepati janji untuk kembali.
Cahaya matahari masuk melewati tirai jendela, jam diatas nakas menunjukan pukul setengah sebelas pagi, Ana ataupun Nathan tidak membangunkan Daniel sebab tau anaknya lembur semalam. Membiarkan Daniel cukup istirahat dan tidur.
"Ck. Sampai kapan gue harus dihatui sama mimpi buruk itu" gumam bibir tipis itu, Daniel masih dalam posisi tengkurap tanpa mengenakan pakaian atas. Kebiasaan tidurnya memang telanjang d**a, lebih nyaman.
"Lagipula, mau cari juga dimana. Bahkan sosial medianya pun ikut deactivate"
Melupakan Tiara bukan perkara mudah bagi Daniel, suara, wajah, sepasang netra, juga rambutnya yang selalu pendek seakan terpatri di ingatan.
Laki-laki berparas tampan bak anime hidup itu akhirnya bangkit dari tempat tidur. Daniel berjalan malas menuju kamar mandi, mencuci muka, gosok gigi, lantas memakai kembali kaosnya.
Rumah sepi, sepertinya Mommy Ana sudah pergi sejak pagi tadi, jadwal Mommy-nya lebih padat dari presiden sekalipun. Sementara Daddy Nat ada jadwal golf hari ini. Melangkahkan kaki menuju pintu, Daniel hendak mencari sarapan. Tak jauh dari rumahnya, ada penjual bubur ayam keliling, dia cukup berjalan sekitar 1 kilometer hingga tiba ditempat mangkal si abang bubur ayam.
Perumahan tempat tinggal Daniel cukup sepi, di jam-jam seperti ini, kebanyakan penghuninya sudah meninggalkan peraduan, sibuk bekerja, kuliah, atau bermain golf.
Setiba di tempat abang bubur ayam, Daniel memesan satu porsi makan ditempat. Bersamaan dengan Daniel yang selesai memesan, datang seorang gadis yang cukup familiar.
"Tavisha?"
Merasa ada yang memanggil namanya, Tavisha menoleh, gadis itu menemukan Daniel tengah duduk sendiri diatas kursi plastik.
"Mas Daniel?"
"Biasanya kalo sering ketemu secara nggak sengaja gini jodoh lho, Sha."
Tavisha terkekeh, kalau boleh jujur sejak pertama kali melihat Daniel, Tavisha agak salah tingkah, tatapan mata Daniel membuat dirinya terpesona. Lagipula, siapa sih yang tahan dengan pesona Daniel Dirgantara?
"Teori cocoklogi darimana sih" Tavisha menyelesaikan pesanannya, dia ikut duduk disamping Daniel seraya menunggu.
"Rumah lo disekitar sini juga?"
"Enggak, Mas. Justru rumahku agak jauh dari sini, tadi abis ada urusan di kampus, pas mau balik Mama nitip bubur ayam disini, katanya enak banget"
"Oh ya? Gue malah baru mau nyoba ini, padahal rumah gue gak jauh, sekiloan dari sini"
"Jangan-jangan abis ini mas Daniel ketagihan lagi" Tavisha tersenyum.
Senyum itu rasanya menular ke Daniel, bibirnya ikut melengkung keatas, "Kayaknya, sama kayak senyum lo, bikin gue ketagihan buat liat lagi"
"Jangan didengerin, Kak. Omongan laki-laki nggak bisa dipercaya" Abang bubur ayam menyela seraya memberikan semangkuk bubur ayam ke Daniel.
"Abang sendiri juga laki-laki,"
"Ya iya, tapi saya gak pernah gombal begitu ke istri"
"Itumah karna abang gak pinter gombal aja, cewek-cewek sekarang suka kalo digombalin, Bang."
"Kata siapa? Aku lebih suka dijajanin ketimbang di gombalin, Mas" Tavisha tak setuju dengan opini Daniel barusan, dia mengatakan hal itu dalam konteks bercanda.
"Dua-duanya juga boleh, tapi jadi pacar gue dulu, gimana?"
Tavisha berdiri, "Enteng banget mulut buaya ngajak pacaran" gadis itu hendak mengeluarkan uang untuk membayar bubur, namun Daniel lebih dulu mencegahnya.
"Gak usah, Sha. Gue traktir"
"Nggak usah, Mas. Pesananku banyak loh, ada empat"
"Jangankan empat, sepuluh pun gue sanggup bayarin, udah gak papa"
"Udah, Kak, terima aja. Anggap aja rejeki nomplok"
Tavisha dan si abang penjual bubur tertawa, lantas mengangguk setuju.
"Makasih ya, Mas. Kalo gitu aku duluan--"
"Eh, Sha, Sha!"
"Kenapa, Mas?"
"Boleh minta nomor telepon lo nggak? Atau sosmed deh"
"Boleh, siniin hapenya"
Resmi sudah keduanya berkenalan dan bertukar nomor kontak, Daniel dan Tavisha sama-sama tidak tau kalau ada takdir yang mulai bermain-main dengan mereka. Saat itu yang ada dipikiran Daniel hanyalah iseng, Tavisha pun tidak berharap Daniel akan mengubunginya, sosok setampan Daniel tidak mungkin tertarik padanya.
○○○
“Jam segini baru pulang?”
Lucas terperanjat saat mendengar suara yang sebenarnya sudah tidak asing lagi di telinganya. Ditilik dari wajahnya, usia gadis itu tak jauh beda dengan Lucas, mungkin sepantaran. Wajah Lucas langsung berubah masam, sudah beberapa hari terakhir hidupnya sedikit bebas sebab gadis ini tak muncul di depannya. Tapi sekarang, lihatlah, dia kembali datang.
"Gadis mana yang bertamu dirumah orang dari pagi? Nggak punya malu? Atau nggak punya attitude?"
Semalam, Lucas menginap dirumah Kaisar, dan dia bergegas kembali ke rumahnya saat mendengar kabar Ayudia bertamu sejak pukul tujuh pagi, hingga kini menjelang siang gadis itu masih tetap disana.
"Kasar banget, gak bisa ya lebih lembut dikit aja ke gue?"
Katakanlah Ayudia gila, gadis itu naksir berat ke Lucas bahkan dari jaman SMA dan masih berlanjut sampai sekarang. Setelah bertahun-tahun lamanya, sikap Lucas terhadap Ayudia masih tidak berubah, dia membenci gadis ini karena kejadian masa lalu. Ayudia itu bak stalker, dia pasti tau dimana posisi Lucas dan kemana cowok itu pergi.
Ayudia bukan lagi remaja SMA, gadis itu sudah bertransformasi menjadi gadis cantik, desainer muda yang karyanya sering dipakai oleh artis-artis terkenal baik dalam negeri maupun luar negeri. Singkat cerita Ayudia udah jadi orang yang punya karir mentereng.
Ratusan kali Ayudia mencoba meyakinkan Lucas kalau dirinya telah berubah, dia tidak jahat seperti dulu. Tapi Lucas tetap tidak peduli, dia seperti menutup telinga dan matanya.
“Nggak ada alasan yang bikin gue dateng kesini pagi-pagi selain pengen ketemu sama lo, Cas”
Mengalah, Ayudia kembali buka suara.
“Kapan sih lo berhenti ngejar gue??”
“Sampai lo mau terima keberadaan gue.” Ayudia mendekat, dia berdiri di depan Lucas, dia harus mendongak agar bisa menatap rahang kokoh milik Lucas, tinggi mereka terpaut 15cm.
"In your wildest dream"
Respon seperti ini Ayudia anggap sebagai camilan, dia tidak tersinggung sama sekali, “Susah banget dapetin hati lo itu, Cas. Kurang usaha apa gue selama ini"
"Bukan gue yang minta."
"Iyasih, tapi gak ada ruginya lo bersikap baik sama gue"
"Terserah gue mau bersikap kayak gimana"
Lucas duduk di sofa, sementara Ayudia masih berdiri disana.
Gadis itu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, waktunya tidak banyak.
"Gue kesini karena kangen sama lo, udah beberapa hari nggak ketemu, gue juga baru nyampe subuh tadi, paginya langsung kesini. Beberapa jam lagi gue harus ke Malay, ada pameran busana disana"
Tanpa diminta, Ayudia dengan sabar memberitahu niat awalnya datang kesini.
"Nggak masalah kalo sikap lo masih sedingin ini ke gue, udah sejauh ini, gue nggak mungkin mundur gitu aja."
"Serah lo, Dy."
Ayudia menghela napas, dia mengambil tas jinjing di sofa, "Ntar gue kesini lagi setelah urusan di Malay selesai" Ayudia melangkahkan kaki menuju pintu, waktunya terbatas.
"Tunggu disitu!"
Langkah Ayudia benar-benar langsung terhenti, dia menoleh ke belakang menatap Lucas yang malah melenggang pergi menaiki anak tangga.
"Lah? Nyuruh gue tunggu, dianya malah pergi"
Tak sampai lima menit, Lucas kembali seraya membawa sebuah hoodie hitam, alih-alih memberikan hoodie itu dengan kelembutan, Lucas langsung melemparnya ke arah Ayudia.
"Gerah gue liat pakaian terbuka lo. Pake!" Setelah itu sang empunya kembali melenggang menuju kamar.
Ayudia masih terdiam di tempatnya. Dia menatap punggung Lucas sampai menghilang dari pandangan.
“Beneran peduli apa cuma basa-basi sih?” Ayudia menatap rok pendek, atasan croptop yang ia pakai, memang cukup terbuka sih. Ayudia menurut dan memakai hoodie itu, menghargai Lucas yang udah perhatian kepadanya. Ya, ya, mungkin Ayudia saja yang kepedean, tapi biarkan saja.
“Kenapa gue tenggelem gini sih” perempuan itu memutar tubuhnya, bahkan rok pendek yang ia kenakan tertutup oleh hoodie itu.
“Dasar titan” Ayudia tersenyum, Lucas mengkhawatirkan keadaannya meski dengan cara yang brutal. Tak apa, Ayudia tidak masalah. Memutuskan untuk segera pergi, Ayudia beranjak keluar meninggalkan kediaman Lucas.
Dari balik jendela kaca kamarnya, Lucas mengawasi mobil Ayudia yang bergerak pergi. Laki-laki itu melepaskan jaketnya, meletakan di atas ranjang. Kalau dipikir, Ayudia yang sekarang memang banyak berubah. Dia tidak pernah melakukan hal-hal negatif seperti saat SMA. Tidak ada alasan bagi Lucas untuk menolak Ayudia, namun sayangnya entah kenapa menerima gadis itu masuk ke dalam kehidupannya terasa begitu sulit.
Kalau Daniel punya Antonio, maka Kaisar punya Lucas.
Niat hati ingin tidur, tapi telepon dari Kaisar membuat Lucas harus kembali ke rutinitas hariannya. Memaksakan diri untuk tetap produktif, Lucas segera mandi lantas memakai kemeja dan pergi ke rumah Kaisar, lagi.
Tiba dirumah sang kakak, hanya ada Kaisar di meja makan, Daniel bergabung.
“Kak Berlin kemana?”
“Bangunin Elvira sama Elvina” Kaisar menjawab pendek, ada hal lain yang ingin ia sampaikan pada sang adik. “Minggu depan mama ulang tahun. Gue nggak tau lo mau ikut kesana atau stay disini. Yang pasti gue akan kesana jadi please atur jadwal gue supaya nggak bentrok”
“Berapa hari?”
“Seminggu paling lama”
“Bang, please lah. Seminggu???”
“Cas,” Kaisar memegang punggung tangan Lucas, “Mama udah makin berumur, dan kita bukan lagi remaja yang mementingkan ego. Biar bagaimanapun, nggak peduli semenyebalkan apapun mama dulu, beliau tetap orang tua kita”
“Kenapa mama sama papa nggak tinggal di Indo aja? Mereka bisa tinggal bareng gue”
Kaisar menghela nafas, “Gue nggak perlu menjelaskan karena lo udah tau alasannya.”
Tepat saat Kaisar berhenti berbicara, Elvira dan Elvina datang bersama Berlin.
“Uncle!”
“Good morning, kids”
“Uncle, mama bilang minggu depan kita mau ke rumah Granny. Uncle ikut??” Vira bertanya, dia duduk di depan Daniel sementara Vina duduk di sebelah Vira.
“Uncle banyak kerjaan disini, kids.”
“Yaaah, granny pasti kangen sama uncle”
Lucas hanya menanggapi dengan senyuman. Berlin dengan cekatan menyiapkan makanan di piring anak-anaknya dan suaminya. Sementara Lucas yang masih bujang ini mengambil makanannya sendiri. Melihat keluarga harmonis kakaknya kadang membuat Lucas ingin merasakan hal yang sama juga.
“Usia lo udah 25 tahun. Kalo lo mau married pun gue rasa udah siap”
“Pa, lagi?” Berlin menyela ucapan Kaisar. Bahkan Berlin sampai panas kuping mendengar suaminya mengingatkan ke Lucas untuk segera menikah.
“Gue bakalan nikah, tenang aja lagi. Tapi untuk sekarang gue belum menemukan sosok yang tepat”
“Santai aja, Cas. Nikmati saja masa lajang mu, nggak usah dengerin Kaisar. Kadang dia emang suka sesat”
“Nah kan, kakak ipar aja paham.”
Kaisar melirik ke arah Berlin, sang empu segera mengalihkan tatapan. Mereka berlima makan dengan lahap. Kesibukan pagi ini Lucas dan Kaisar akan bertemu klien sementara Berlin bersama dua putrinya akan pergi ke toko bunga miliknya.
Berlin adalah seorang florist, kalau dilihat dari sepak terjangnya dulu nggak akan ada yang mengira kalau keinginannya sesederhana menjadi florist. Padahal Lucas kira Berlin pengen jadi sosok girl boss yang tiap hari bisa memperbudak Kaisar serta memoroti uang sang kakak.