Di malam yang berembun itu, sinar lampu restoran memantulkan warna-warna hangat ke atas trotoar yang basah. Cuaca akhir-akhir ini sulit diprediksi, siang yang cerah tidak bisa dijadikan patokan bahwa malam tidak akan turun hujan.
Angin malam menerbangkan helai rambut gadis yang baru saja turun dari taksi, dengan hati berdebar, dia melangkah masuk ke dalam restoran yang memancarkan keharuman masakan Italy.
Kedua netranya menyapu ke seluruh penjuru ruangan, mencari sosok yang mengundangnya untuk datang ke restoran tersebut.
Senyum manis merekah dari bibir plumpy berwarna kemerahan itu, sepasang slingback berwarna cream mulai melangkah mendekat ke arah seseorang yang tengah duduk membelakangi pintu.
"Mas,"
Kepala Daniel otomatis menoleh, tatapan matanya langsung terkunci pada sosok yang berdiri di sampingnya.
Cantik, feminim, cute.
Tiga kata yang menggambarkan sosok Tavisha dengan penampilannya malam ini. Dia memakai riasan, mengenakan dress selutut berwarna cream, rambutnya yang hitam mengusung hair-up style curly, tampak sangat cocok dengan bentuk wajah gadis itu.
"Mas? Halooo," Tavisha melambaikan tangan didepan wajah Daniel, "Kok malah melamun, ada yang aneh sama penampilanku malam ini?" tanya gadis itu akhirnya, memastikan.
Buru-buru Daniel menggelengkan kepalanya, senyum dari bibir tipis cowok itu akhirnya menukik ke atas.
Daniel segera berdiri, menarik salah satu kursi tepat di hadapannya, "Duduk, Sha"
"Thank you,"
Di meja bundar yang terkena cahaya lilin, mereka duduk berhadapan. Pandangan pertama mereka bertemu, menciptakan getaran yang sulit dijelaskan. Bahkan, suara disekitar mereka mendadak hening, hanya sesekali pengunjung mengobrol dengan intonasi rendah.
"Mas Daniel kenapa sih? Daritadi liatin aku gitu banget"
"Sebelum datang kesini, lo ketemu sama siapa, Sha?"
"Hah?" Tavisha membeo, dia bingung dengan pertanyaan Daniel. Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan, "Nggak ketemu sama siapa-siapa, Mas. Dari rumah aku langsung kesini"
"Serius??"
Tavisha jadi mikir sekali lagi, dia bertemu siapa sebelum Daniel. Gadis bersurai hitam itu menjentikkan jarinya, "Ah, iya! Aku baru inget. Sebelum ketemu Mas Daniel, aku ketemu sama driver taksi"
Aduh, gemes.
Bagaimana ini, Daniel tidak bisa menahan seringainya.
"Udah lama?"
"Apanya, Mas?"
Berhadapan dengan Daniel malah membuat Tavisha terlihat t***l, buktinya sedari tadi dia tidak langsung paham dengan pertanyaan laki-laki berkemeja satin itu.
"Lucu gini, udah lama?"
Ini mah Tavisha gak perlu pakai blush-on! Pipinya udah pasti merah merona, Daniel selalu bisa melontarkan gombalan basi itu, sialnya Tavisha menelan mentah-mentah setiap gombalan yang dilontarkan Daniel.
"Eh? Pipi lo merah, Sha. Are you okay?"
Are you okay, are you okay, jantung gue nih mau lompat! Tavisha hanya bisa berteriak di dalam hati.
"Iyakah? Kayaknya blush-on ku ketebalan, Mas."
Tangan Tavisha hendak mengusap pipi, berusaha mengurangi kemerahan disana, namun tangan Daniel secepat kilat menahan, masih dengan senyum mautnya, Daniel mengatakan, "Jangan dihapus, gue suka make-up lo malam ini, gorgeous."
Tavisha, please jangan meleleh. Please tahan jangan melakukan hal-hal diluar nalar saking saltingnya dibilang cantik, aaaaa!!!!!
Oke, tenang..
Daniel mengangkat sebelah tangannya, seorang waiters mendekat, meletakan dua buku menu di hadapan mereka masing-masing.
"You can choose everything what you want"
Tangan Tavisha sedikit gemetar saat kedua bola matanya menatap deretan menu, selain karena harganya... ya ampun!
Nama menunya juga sulit banget dimengerti, kenapa mereka suka sekali memberi nama menu menggunakan bahasa alien seperti ini?!
Untungnya, Daniel bisa membaca gerak gerik, Tavisha. Dengan yakin Daniel mengambil kendali situasi.
"Well, karena gue yang ajak lo kesini, I'll pack out the menu for you"
Seketika Tavisha langsung menutup buku menunya, menyerahkan kepada waiters sementara Daniel langsung menyebutkan beberapa menu dengan aksen yang luwes.
Setelah waiters tersebut pergi, Tavisha buru-buru menyatukan telapak tangannya, meminta maaf.
"Mas, maaaaaffff banget. Aku nggak bermaksud bikin kamu malu. Cuma, ini pertama kalinya aku diajak fancy dinner, liat menu sama harganya udah bikin dompet aku bergetar"
Entah bagian mana yang lucu, Daniel tertawa mendengar permintaan maaf Tavisha. Tangan Daniel meraih tangan Tavisha, tanpa permisi dia menggegam erat disana.
"Hey, that's okay. You don't have to apologize" Daniel mencoba meyakinkan keraguan Tavisha yang tergambar jelas pada kedua manik matanya. "Semua bills aku yang bayar, lo tinggal duduk manis, terus makan"
"Nggak salah, Mas? Ini kita nggak split bills? Aku mampu kok bayarnya, meskipun harus ngutang di tabungan,"
"Nggak ada split bills kalo keluar sama gue, Sha. Tenang aja, simpan uang lo untuk keperluan lain," Kali ini Daniel tersenyum begitu memesona sekaligus meyakinkan, "Anggap aja ini traktiran dari gue, karena kemarin audit di kantor lancar semua"
"Waahh, selamat ya, Mas.. dan, makasih.."
"Sama-sama, Tavisha"
Ah, seperti ini rasanya di treat baik oleh laki-laki. Tavisha tidak pernah menyangka dalam hidup dia akan dipertemukan dengan sosok laki-laki sebaik Daniel. Boleh nggak sih, Tavisha menaruh rasa?
Ponsel Tavisha bergetar, memecah obrolan hangat mereka berdua. Disaat Tavisha sibuk membalas pesan, menu yang mereka pesan telah tiba.
"Aduh, ribet banget nih anak"
"Kenapa, Sha?"
Kepala Tavisha mendongak, dia kembali meletakkan ponsel diatas meja, "Ini adik aku minta dibayar tagihan apps buat nonton drakor, nanti aja deh, biarin"
"Oh gitu, bisa kita makan sekarang? Lo harus cobain Pasta disini, juara banget!"
"Oh ya? Mau, mau. Kayaknya aku juga bisa masak pasta ini," Tavisha terkekeh, dia hanya bercanda. Daniel menanggapi dengan tawanya.
Sambil menikmati hidangan, mereka berbagi cerita, waktu seolah ikut melambat di restoran itu, memberi mereka kesempatan untuk mengenal satu sama lain lebih dalam.
Daniel mencomot topik random, tentang saudara Tavisha.
"Seperti kebanyakan adik-kakak, Mas. Aku sama Vanesha juga sering berantem, dari kecil sampai sekarang," Tavisha menyeruput minuman segarnya, "Tapi ya namanya saudara, kalau jauh pasti saling kangen, kangen berantemnya, suara berisiknya"
"Setiap denger cerita tentang saudara, gue selalu merasa punya saudara itu menyenangkan"
"Iya, kita jadi nggak kesepian, Mas." Tavisha yang pada dasarnya belum terlalu mengenal Daniel melontarkan sebuah pertanyaan, "Mas Daniel punya saudara?"
"Punya, gue punya kakak cowok." Tangan Daniel berhenti menggulung pasta, matanya terasa panas, namun sebisa mungkin Daniel tahan. "Tapi saudara gue udah meninggal, Sha"
“Oh, maaf, Mas. Aku nggak tau..”
“Namanya Bima Aga Dirgantara. Kita satu SMA, tapi kayak orang asing. Dia nggak pernah mau mengakui gue karena sebuah alasan. Kita bahkan tinggal di rumah yang berbeda, mommy sama daddy waktu itu tinggal di luar negeri, kalo diinget-inget dulu keluarga gue seaneh itu"
Daniel tersenyum kecut, Tavisha bisa merasakan ada kesedihan yang tergambar dari cerita Daniel.
"Wah, pasti Mas Daniel sedih banget nggak di akui sama saudara sendiri"
"Sedih, nggak juga. Karna disitu gue juga marah sama dia. Gue belum bisa ceritain detail, pokoknya hubungan kita membaik meski butuh waktu.."
"Beneran membaik? Tatapan mata Mas Daniel nggak bilang begitu, ada sesal disana"
"Sesal... penyesalan ini, entah sampai kapan, Sha. Gue menyesal karena di hari terakhirnya, gue, mommy, sama daddy nggak ada disamping Aga."
Setelah sekian lama, Daniel akhirnya membuka lembaran masa lalunya lagi. Seperti seorang pendongeng yang sedang mengartikan sebuah buku usang untuk diceritakan kepada gadis kecil yang manis. Daniel juga harus memilah karena di buku usang itu banyak kenangan yang tidak seharusnya ia ceritakan kepada setiap orang termasuk Tavisha.
“Mas, maaf banget. Aku nggak ada niatan bikin Mas Daniel mengingat almarhum”
Rasa sesal yang sempat tergambar tadi memudar, Daniel kembali tersenyum.
"Nggak masalah, Sha. Gue sendiri yang suka rela cerita soal masa lalu ini ke lo. Setidaknya sekarang lo sedikit tau tentang gue"
Sepotong asparagus masuk ke dalam mulut Tavisha, gadis itu mengernyit. Merasakan tekstur asing yang menjamah rongga-rongga mulutnya. Meski aneh, rasanya lumayan sehingga Tavisha bisa menelannya.
"Mas," Tavisha meletakan sendok dan garpu, dia ingin bertanya sesuatu yang sedari tadi memenuhi isi kepalanya. "Aku penasaran sama sesuatu, tapi terserah kalo Mas Daniel nggak mau jawab juga nggak masalah"
"Kenapa?" Daniel ikut meletakan sendok dan garpu, dia memberikan atensi penuh ke Tavisha.
"Mas Daniel pernah jatuh cinta sama perempuan di masa lalu?"
Sedari kemarin, topik yang membuat Tavisha penasaran adalah hubungan asmara Daniel. Dia ingin benar-benar memastikan kalau Daniel single dan selesai dengan masa lalunya (jika punya).
"Pernah."
Jantung Tavisha rasanya mau lompat dari kerangka kalau saja perempuan itu tak mengendalikan salah satu organ tubuh itu, ritme jantung yang berdebar kencang membuat tubuh Tavisha bergerak gelisah.
"O-oh ya? Harusnya aku nggak tanya sih, lagipula dulu pasti banyak yang naksir Mas Daniel"
"Lo pasti penasaran banget sama kehidupan cinta gue ya, Sha? Perasaan dari kemarin pertanyaannya seputar itu mulu"
Daniel menambahi seraya terkekeh, tangannya kembali meraih sendok dan garpu, lanjut makan.
"Maaf, Mas. Nggak perlu dijawab lebih lagi kalau sekiranya Mas Daniel nggak nyaman sama pertanyaanku"
"Gue jarang jatuh cinta sama perempuan, Sha. Masa lalu gue buruk banget, gue sering pacaran tanpa melibatkan perasaan, tiap ada yang nembak pasti gue terima. Jadi, kalo ditanya pernah pacaran atau enggak, jawabnya pernah, sering malah. Tapi kalau jatuh cinta, mungkin cuma satu kali."
Entah bagaimana rasanya, yang pasti satu hal yang Tavisha pikirkan saat ini. Dia mungkin bisa bersaing dengan seratus perempuan yang menyukai Daniel, tapi dia tidak akan pernah bisa bersaing dengan satu perempuan yang Daniel sukai.
Kok rasanya ada yang terbakar ya?
"Wah, jadi penasaran perempuan malang mana yang akhirnya dicintai sama sosok buaya darat macam Mas Daniel"
Tawa Daniel pecah, sementara Tavisha hanya tersenyum tipis. Sekarang dia paham, Daniel sangat pandai mengumbar gombalan, karena saat remaja dia adalah predator.
"Gue udah kehilangan jejak dia, kita terpisah jarak buat menempuh pendidikan masing-masing."
"Kalau sekarang, Mas Daniel masih suka sama perempuan itu?"
Kali ink tawa Daniel reda, dia meraih gelas berisi minuman, meneguknya sedikit sampai dirasa tenggorokannya basah. Bukannya menjawab, Daniel malah membelokkan pertanyaan.
"Gimana sama lo, Sha? Lo pernah pacaran sebelumnya?"
Mendapatkan pertanyaan tersebut secara tiba-tiba membuat Tavisha nge-freeze selama beberapa saat. Gadis itu berdehem sebelum akhirnya menjawab.
“Lupa."
○○○○
Di pagi yang tenang, dua laki-laki berparas tampan nan matang itu duduk diatas kursi kayu, mereka berdua kompak mengenakan kaos dan celana cargo selutut.
Udara masih segar dengan aroma rempah-rempah yang menyengat lembut dari panci besar yang tutupnya baru saja dibuka. Daniel dan Lucas saat ini sedang berada di tempat bubur ayam depan komplek, waktu itu Daniel pernah iseng datang dan membeli bubur ya, lidah laki-laki itu langsung cocok.
Semangkuk bubur untuk masing-masing, mereka menatap penuh minat ke arah makanan tersebut.
"Semalem gue dinner sama Tavisha, lo nggak kepo sama apa yang terjadi?"
Tanpa Lucas kepo dan sibuk bertanya, dia yakin Daniel akan menceritakan semua dengan sendirinya. Itu kebiasaan sejak remaja yang tidak pernah berubah dari sosok Daniel.
"Hm, udah ketebak. Lo pasti banyak nge-gombal, terus bikin Tavisha selalu penasaran sama kehidupan lo, 'kan?"
"Exactly!" Kepala Daniel menoleh sejenak ke arah Lucas, sebelum akhirnya kembali menatap mangkuk bubur. "Jujur gue nggak tega buat lanjutin semua ini, dia beneran polos banget, Cas. Bahkan gue yakin dia nggak pernah pacaran"
"Sialnya, dia naksir sama predator kayak lo, Niel"
"Eh, tau darimana dia naksir gue?!"
"Keliatan." Lucas menelan kunyahannya, dia kembali melanjutkan, "Dari sisi lo sendiri, sebenarnya lo beneran iseng atau mulai tertarik sama Tavisha?"
Harusnya Daniel bisa menjawab pertanyaan itu dengan mudah, tapi kenapa lidahnya kelu seakan otak dan hatinya tidak bisa berkomunikasi dengan lancar.
Lucas menganggukkan kepalanya, "Menurut gue lo mulai tertarik sama Tavisha. Hanya saja, lo masih denial karna merasa Tiara masih bertahta disana"
"Tapi jujur nih, Cas. Untuk sekarang kalo misal Tiara ada di depan gue, pasti gue lebih milih dia dibanding Tavisha, gue rela nungguin dia"
“Ya terus lo mau nunggu dia sampe kapan, Niel? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Lo sendiri nggak tau kan keadaan dia gimana, udah punya suami atau belum”
Ucapan Lucas tidak salah dan sedikit menampar Daniel untuk kembali ke realita. Tiara memang hanya angan yang selalu Daniel harapkan wujudnya, sementara Tavisha adalah harap yang menunggu untuk dijadikan sebagai miliknya. Tavisha selangkah lebih maju dibanding Tiara, untuk saat ini.
Melihat Daniel yang galau, Lucas menepuk pundak sahabatnya.
"Life has to go on, Daniel. Jangan terjebak di masa lalu, melewatkan masa sekarang, dan menyesal di kemudian."
"So, I'm supposed to give her a chance not to regret it in the future?" Daniel mengernyit, "Gimana kalau suatu saat dia kembali?"
"Gak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, Niel." Bubur dalam mangkuk Lucas telah tandas, laki-laki itu meneguk hingga setengah botol air mineral. "Kalo dia kembali, gampang, biar dia sama gue."
Wajah Daniel seketika berubah datar, “Tega lo giniin gue, Cas?"
Lucas terkekeh, kapan lagi bisa menggoda Daniel. “Ck. Posesif amat, lo nggak inget siapa yang dikasih coklat diem-diem? Bahkan dia ke rumah gue cuma buat kasih surat sama coklat se-box, wajahnya aja galak, kalo sama gue sweet banget"
Daniel ancang-ancang menggulung lengan. Tapi Lucas yang tidak kenal takut terus saja menggoda Daniel.
"Maju lo anjing!"
"Waduh, realita, Bro! Kalo sama lo dikasih juteknya aja, galaknya aja. Hahahaha"
“Lucas b******k! Sini lo!” Lucas segera kabur tunggang langgang, saat Daniel hendak mengejar suara tukang bubur menghentikan gerakannya.
"Main kabur aja! Bayar, Mas!"
Daniel merogoh saku celana, mengeluarkan pecahan uang pas.
"Mati lo di tangan gue, anjing!"
Daniel segera berlari mengejar Lucas yang sudah menghilang di tikungan menuju rumahnya.
○○○○
Cher Journal..
Pada awalnya, rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dia muncul dengan pesona yang sulit untuk diabaikan, dengan senyumnya yang mampu mencairkan hatiku yang keras. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti melodi yang mengalun indah di telinga, membuatku merindukan kehadirannya setiap saat.
Tapi,.. aku merasa sedang terjebak dalam siklus yang tak terduga, antara kebahagiaan yang dia berikan dan ketidakpastian tentang bagaimana dia akan melabuhkan hatinya.
Sekali lagi, meskipun semua ini terjadi, sulit untuk meniadakan perasaan yang sudah tumbuh di dalam hati. Aku merasa terikat padanya, terlepas dari ketidakpastian dan rasa sakit yang kadang terasa. Aku bertanya-tanya apakah cinta sejati seharusnya melibatkan begitu banyak konflik dan kebingungan?
Dari aku, untuk yang telah terjadi..
Tavisha menghela napas setelah menumpahkan isi hati lewat goresan tinta, dia menatap ke arah tulisannya, lantas tersenyum tipis.