Tiara Maharani.
Ingatkah kalian pada nama cantik tersebut? Beberapa tahun lalu, dirinya hanyalah gadis SMA yang selalu memotong pendek rambutnya. Gadis berseragam putih abu-abu itu memiliki sepasang mata cokelat yang senantiasa menatap tajam siapapun, wajah jutek, intonasi ketus sudah seperti label yang diberikan untuknya. Paras yang cantik itu tak pernah terkikis oleh usia, bahkan ketika usianya menginjak angka 25, Tiara malah terlihat semakin matang dan memesona.
Perempuan yang saat ini mengenakan rok pendek selutut, dipadukan dengan blouse berwarna senada terlihat berdiri didepan sebuah gedung perkantoran yang letaknya ada di pusat kota.
"Sam!"
Tiara melambai, wajah yang semula datar seketika berubah cerah. Berbanding terbalik dengan sosok laki-laki yang ia panggil, wajahnya masam.
"Bagus lo begitu, Ti?" tanya Sam saat mereka sudah saling berhadapan, "Resign tanpa bilang gue dulu, gue pikir selama ini kita akrab, nyatanya sebatas rekan kerja"
"Kalau gue ngomong soal resign ini, gue yakin lo pasti nahan gue"
Benar, Sam tidak akan membiarkan Tiara keluar dari perusahaan. Selain karena Sam akan kehilangan satu teman akrabnya, dia juga akan kehilangan salah satu anak dari department Creative. Sulit untuk menemukan pengganti Tiara.
"Kenapa harus resign sih, Ti? Gaji lo kurang? Atau ada anak tim Creative yang rese? Coba kita omongin baik-baik"
Tiara terkekeh, Sam juga bagian dari Tim Creative namun levelnya sudah setara senior, sementara Tiara masih junior.
"Kalo soal gaji perusahaan ini top banget, Sam. Tim Creative juga solid semua. Alasan kenapa gue resign, karna gue pengen fokus sama butik"
"Lo kuwalahan ngurus butik sendirian? Gue bisa bantu cariin lo pegawai, gak perlu resign"
Melihat betapa seriusnya wajah Sam saat ini, Tiara mengulum senyum sebentar, jadi begini rasanya dibutuhkan. Tapi keputusan Tiara sudah bulat, dan HRD juga sudah approved pengajuan resign-nya.
"Thanks ya, Sam. Tapi gue rasa belum butuh pegawai, semuanya masih bisa gue handle sendirian. Ada bunda juga yang bantu," Tiara menjeda kalimatnya, "Soal resign itu, sori ya, Sam. Gue bener-bener harus lepas salah satu"
Sejak dulu, Tiara ingin memiliki butik sendiri. Dia terinspirasi saat melihat Bunda Intan bekerja di butik. Sibuk melayani customer, memilih kain premium, mengikuti harga pasar, dan mengurus banyak hal.
Satu tahun yang lalu, saat Tiara mengutarakan keinginannya untuk memiliki butik sendiri, Bunda Intan menyetujuinya. Untuk membantu anak semata wayangnya, Bunda Intan dan Tiara sepakat menggabungkan butik baru milik Tiara dan butik milik Bunda Intan, mengubah namanya menjadi, PROSERPINE.
Jadi, selain bekerja di perusahaan itu, Tiara memiliki side job sebagai designer sekaligus pemilik butik Proserpine.
"Kita nggak akan lost contact, 'kan?"
"Ya enggak lah. Lagian lo tau dimana rumah gue, dimana butik gue, kapanpun lo bisa main kesana."
"Sumpah, Ti.. ini beneran lo resign?"
Mendengar pertanyaan retoris itu Tiara kembali memecahkan tawanya.
Semenjak selesai kuliah di London, dan kembali ke Indonesia, sikap Tiara banyak berubah. Tatapan matanya tak setajam dulu, senyumnya lebih sering mengambil atensi orang-orang, alih-alih menunjukan sikap jutek itu, Tiara lebih suka beramah-tamah dengan siapapun.
Perubahan besar terjadi pada gaya rambutnya. Saat gadis dulu, Tiara lebih suka rambut pendek, namun kini dia membiarkan surainya memanjang hingga punggung. Menjaga warna alamiahnya tetap ada tanpa memberi sentuhan pewarna rambut sedikit pun.
"Oh iya, ini buat lo" Tiara memberikan paper bag ke Sam. "Hadiah perpisahan, selama lo jadi senior gue, udah bantu gue belajar banyak hal"
"Ck! Makin berasa perpisahannya" Sam menarik lengan Tiara, membawa perempuan itu ke dalam pelukan singkat, salam perpisahan.
"Kalo gitu gue cabut dulu ya, Sam. Bunda udah nunggu dirumah"
"Iya, take care ya, Ti"
"Siipp, semangat lembur ya, Sam!"
"Kurang ajar!"
Keduanya lantas tertawa sebelum akhirnya Tiara berjalan menuju tempat dimana mobilnya terparkir.
Tujuannya langsung ke rumah.
Rumah yang biasanya menjadi tempat ternyaman akhir-akhir ini sedikit berubah. Tiara lebih banyak menghabiskan waktu di kantor dan butik, dia baru pulang saat jarum jam menyentuh angka sebelas malam. Jam-jam segitu Bunda Intan sudah lelap, dan Tiara terbebas dari topik paling menyebalkan.
Topik tentang pernikahan adalah topik yang paling Tiara hindari, telinganya sampai panas sebab Bunda Intan tak pernah absen bertanya kapan Tiara akan menikah.
Perjalanan dari kantor ke rumah membutuhkan waktu sekitar satu jam setengah, itupun karena macet, jam-jam pulang kantor.
Ia sampai dirumah saat matahari sudah tumbang di kaki barat.
"Assalamualaikum"
Sepertinya Bunda tidak mendengar salam Tiara sebab tak ada satupun yang menjawab. Gadis berambut panjang yang dipotong rapi itu membawa langkahnya menuju dapur. Tercium aroma wangi pandan saat Tiara memasuki area dapur.
"Hmmm, wanginya..."
"Loh, udah pulang, Ti? Kok bunda nggak denger kamu salam"
"Gimana mau denger, orang bunda disini" Tiara mencium punggung tangan Bunda Intan. Netranya beralih ke dalam panci yang terus mengeluarkan aroma wangi pandan dan santan.
"Kolak, Nda?"
"Iya, ada pisang sama ubi nganggur, yaudah bunda eksekusi aja jadi kolak" tangan Bunda meraih sendok, mengaduknya pelan. Wanita paruh baya itu mengambil sedikit kuah kolak, meniupnya sebelum ia sodorkan ke depan mulut Tiara.
"Hmmm, enak, Nda. Manisnya pas. Selera aku banget!" kata Tiara memuji, Bunda Intan sangat tau selera Tiara. Perempuan cantik dengan postur tinggi semampai itu tidak pernah suka makanan yang terlalu manis.
"Yaudah kamu naik dulu, terus mandi. Abis itu kita makan kolaknya sama-sama"
"Siap, komandan!"
Baru saja kaki Tiara bergerak dua langkah, suara Bunda Intan kembali mengintrupsi.
"Eh, Ti, Ti, tadi temen bunda tanya soal gaun buat lamaran. Kamu bisa nggak ambil projeknya?"
"Bikin gaun maksudnya, Nda?"
Bunda Intan mengangguk, "Orangnya udah kirim referensi, sama konsepnya. Jadi kamu tinggal matengin lagi"
"Boleh, sih. Kebetulan Proserpine juga nggak lagi banyak pesanan"
"Jadi kamu setuju ya?"
"Iya, asal deadlinya jangan sehari atau dua hari, soalnya aku bukan roro jonggrang"
Dua perempuan itu terkekeh hanya karena lelucon lawas.
"Aman pokoknya, Ti. Kamu bisa bikin pakaian tradisional Korea, 'kan? Calon menantu temennya bunda dari Korea, pinter ya anaknya cari pasangan"
Ah, sial.
Tiara pikir akan terhindar dari topik pernikahan, nyatanya tak semudah itu. Bunda Intan akan selalu cari cara untuk mengode Tiara agar segera memiliki pasangan.
"Bunda mau menantu dari Korea juga?"
"Nggak harus sih, lokal juga nggak masalah, Bunda mah terserah kamu aja, asal nggak lama-lama"
"Oke, ntar aku cari dulu di marketplace, mana tau ada yang jual"
Bunda Intan hanya menatap Tiara membisu, membiarkan perempuan itu berlalu dan berjalan menuju kamarnya.
Ada beberapa hal yang Tiara pahami saat usianya memasuki angka 25, kehidupan terasa seperti jembatan antara dua dunia. Ada perasaan terombang-ambing antara kepolosan masa muda dan tuntutan kedewasaan yang semakin nyata. Seperti menysuri jalan setapak ditengah hutan lebat, setiap langkahnya membawa rasa ingin tahu dan kegembiraan sekaligus ketidakpastian dan tanggung jawab.
Di usia ini, banyak mimpi yang mulai membentuk wujudnya, sementara harapan dan realitas sering kali bertabrakan.
Dengan wajah lesu, Tiara hanya berbaring diatas ranjang menatap langit-langit kamarnya. Ingatan gadis itu terlempar kebelakang, beberapa tahun yang lalu.
Pertengkaran hebat antara dirinya dan bunda Intan, saat itu Tiara masih ada di London, secara tiba-tiba Bunda Intan menelepon hanya untuk memberi kabar Tiara akan di jodohkan.
"Nggak pernah sekalipun bunda nuntut sesuatu dari kamu, Tiara! Justru bunda lagi bantuin kamu supaya nggak susah-susah cari calon suami!"
Untuk pertama kalinya, intonasi suara Bunda Intan setinggi itu.
"Aku nggak mau di jodohkan, Nda. Sampai kapanpun. Urusan jodoh, cukuplah aku sama yang di atas, bunda nggak bisa maksa aku!"
"Kamu kayak gini karena Daniel, 'kan?! Jangan kamu kira bunda nggak tau hubungan kalian selama ini."
"Kenapa harus bawa-bawa, Daniel?! Dia nggak ada urusan sama topik kita, Bunda!"
Pertengkaran itu berakhir buruk. Berbulan-bulan Tiara menonaktifkan semua sosial media, dia melepas sim card, menutup akses semua orang demi kewarasannya sendiri. Tiara mulai menggila dengan buku-buku, dia menyibukan diri, bahkan dia sempat bekerja paruh waktu di salah satu toko roti.
Hari itu, Tiara benar-benar kehilangan Daniel, Lucas, dan yang lainnya. Sampai hati gadis itu benar-benar tenang dan lapang, dia akhirnya membeli nomor telepon baru, dan kembali menghubungi Bunda Intan.
Keduanya saling meminta maaf, merasa khilaf, menjelaskan satu persatu dari awal apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Bunda Intan bersikeras menjodohkan Tiara.
Laki-laki yang hendak di jodohkan dengan Tiara ternyata bukan laki-laki yang baik. Dia bahkan menghamili perempuan lain, Bunda Intan jadi bersyukur karena anaknya terselamatkan. Sejak saat itu, Bunda Intan tidak ingin menjodohkan Tiara dengan siapapun. Beliau juga berhenti membahas soal Daniel.
Kembali ke masa kini, dari posisinya tangan Tiara meraba-raba laci, membuka pelan, mengeluarkan sebuah polaroid.
Sudut bibir Tiara menukik ke atas, tersenyum tipis. Netranya menatap penuh kerinduan pada sosok yang berdiri disampingnya. Itu foto dirinya dan Daniel saat menghadiri prom night.
"Ck. Lo udah janji bakal kembali buat gue, Niel. Tapi mana, sampai hari ini lo bahkan nggak kembali, lo nggak bener-bener cari keberadaan gue"
Semenjak insiden pertengkaran itu, Tiara juga lost contact dengan Lucas. Padahal sebelumnya, Lucas-lah yang paling dekat dengan Tiara. Bahkan cowok itu rela bolak balik Indo-London tiga bulan sekali untuk berkunjung, mereka akan naik bus merah, berkeliling kota. Lucas juga hapal dimana alamat rumah lamanya. Sayangnya, dia tidak tau lokasi butik Bunda Intan, sejak Tiara menghilang dan Bunda Intan pindah rumah, Lucas benar-benar kehilangan jejak gadis itu.
○○○○
Di dalam dinding-dinding kantor yang dikelilingi oleh hiruk-pikuk wilayah perindustrian, kesibukan adalah langgam yang tak terhindarkan. Setiap pagi, deru mesin cetak dan klik mouse menyambut hari dengan irama yang seragam namun tidak pernah sama. Para staf dengan langkah cepat dan tatapan penuh tekad, melintasi lorong-lorong yang dipenuhi oleh tumpukan berkas dan layar komputer yang bersinar.
Setelah hari-hari sibuk menyiapkan audit, hari yang di nanti akhirnya tiba. Daniel sudah lima belas menit tadi stand by di ruangan, menunggu mommy Ana menyiapkan beberapa dokumen dibantu Antonio.
Tok. Tok.
"Niel, ayo turun. Auditnya udah mau mulai" Sekretaris laki-laki itu menggenggam beberapa lembar dokumen yang sekiranya akan diperlukan oleh bosnya.
"Emang kalo direk dapet giliran paling awal ya, Gus?"
Mereka bertiga berjalan menuju ruang meeting, saat ini mereka tidak ada di gedung perkantoran lantaj 20. Saat ini mereka ada di pabrikan. Sepanjang perjalanan, satu-dua staf membungkuk saat bersimpangan dengan mommy Ana, memberikan salam.
"Biasanya sih gitu, Niel. Soalnya Bu Ana kan sibuk, jadwalnya banyak. After audit aja beliau langsung ke tempat golf, Pak Nat ada pertandingan katanya"
Daniel menepuk dahi, dia bahkan tidak tau kalau Daddy Nat ada pertandingan golf hari ini. Lahkah mereka melambat.
"Gue boleh ikut nggak sih?"
"Ikut aja lagi, apa mau gue sampaikan ke Bu Ana?"
"Ntar deh biar gue aja yang ngomong langsung ke mommy"
Mereka akhirnya tiba di depan ruangan tapat, hanya Daniel dan mommy Ana yang masuk ke dalam ruangan, sementara Antonio memunggu di luar.
"Dokumen saya mana?"
"Ini, Bu"
"Thanks"
Di ruangan dapat yang terjaga ketat, suara diskusi dan debat menggema. Daniel diperkenalkan sebagai calon penerus tunggal PT Kupido, sehingga dia diperbolehkan ikut ke dalam ruangan. Selama audit berlangsung, Daniel mencatat dengan cermat apa saja yang di pertanyakan oleh auditor.
Mulai dari topik kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur, kinerja keuangan apakah ada perbedaan antara anggaran yang di rencanakan dan hasil yang dicapai, hubungan dengan stakeholder, pencapaian target dan sasaran, serta banyak lagi.
Suatu saat, Daniel-lah yang akan di introgasi oleh para auditor berwajah datar ini.
Daniel diizinkan keluar saat semuanya selesai, ada beberapa hal tersisa yang ingin dibahas oleh mommy Ana bersama auditor berdua saja.
"Gimana, Niel?"
Todong Antonio, bediri dari tempat duduknya.
"Lancar, Gus. Gue di suruh keluar sama mommy, soalnya ada beberapa hal yang gak harus gue ketahui, jadi mereka lagi bahas itu"
"It's okay, yang penting semuanya lancar" Antonio menepuk bahu Daniel, "Setidaknya kerja keras kita lembur bagai kuda nggak sia-sia"
Mereka berdua kembali duduk, menunggu Mommy Ana. Sembari menunggu, Daniel memperhatikan kesibukan sekitarnya. Ditengah kesibukan, meskipun terbenam dalam rutinitas dan tenggat waktu, ternyata masih ada momen-momen kecil yang menjadi oase dalam padatnya jadwal.
"Gue salut sama staf disini, Gus. Wajah-wajah terlipat karena kesibukan, deadline, dan pressure"
Antonio ikut menatap sekitar, dahinya berkerut, Daniel ini sepertinya belum tahu jika di kantor, ketika ada staf yang dahinya terlipat bukan karena dia sibuk bekerja, bisa aja mereka sibuk memilih menu makan siang.
"Nggak semua yang nunjukin wajah serius itu lagi kerja, Niel. Lo harus belajar hal basic kayak gini"
"Maksud lo?"
"Hanya karena mereka duduk diam, bukan berarti mereka nggak kerja. Pun, hanya karena mereka sering membawa dokumen kesana-kemari, dahi terlipat, atau suara keyboard yang tiada henti, nggak bisa diartikan mereka orang paling loyal dan bekerja keras di perusahaan"
"Singkatnya, ada yang muka dua, penjilat, dan lain-lain?"
Antonio mengangguk, "Jangan mudah percaya"