BAB 3

1113 Words
"Formula cowok sama dengan nggak peka berbanding lurus dengan logika." Bel istirahat berdering. Seperti biasa, uluran lembaran uang mulai berdatangan. "Nitip ya." "Aku juga." "Roti melon 2, teh kotak 3, terus bakwan sebungkus dengan seladanya yang banyak, kecapnya dikit aja trus nggak usah sambal." Oke. Terserah. Ini tugasku. Aku sudah biasa. Aku tersenyum kecil saat  melihat Duta dari kejauhan. Cowok ganteng itu sedang berlari kecil. Deretan kelas X di depan kelas XI IPS benar-benar menyegarkan. Terlebih lagi ada cogan lewat. Aku mempercepat langkahku, berusaha mengejar Duta yang sudah tiba lebih dulu di barisan antrean mie Pak Cing. Kami mengantre di barisan yang sama meski berjarak beberapa meter. Walau begitu mataku masih bisa bebas menatapnya. "Dek Duta!" Seorang cewek mencolek Duta pelan. Cowok itu tersenyum dan membalas panggilannya. "Ya, Kak, hm.." Duta terdiam, sedang berusaha mengingat nama cewek di sampingnya. "Angel. Senior kelas XII.IPA-2," kata cewek itu memperkenalkan dirinya. " Owh.. kak Angel. Sorry lupa," ujar Duta sambil tersenyum. "Nggak apa-apa." "Duta, mau beli mie ya? Ikut dong. Boleh?" tanya Angel sambil mencoba terlihat semanis mungkin. "Boleh, Kak. Kkak ke belakang aja! Antreannya ntar tambah banyak lho klo nggak buruan," jawab Duta dengan wajah polos. Jawaban Duta tanpa sadar membuatku tersenyum geli. Beberapa cewek di barisan itu bahkan menertawakan kak Angel dengan prinsip idzar: terang dan jelas. Hal itu membuat Angel marah karena merasa dipermalukan. Kakak kelasku yang termasuk cewek popular di sekolah itu mendengus sebal. "s**t. Diem deh kalian!" Angel memalingkan mukanya lalu pergi meninggalkan Kantin. Aku melirik Duta dan cowok itu sudah menghilang. Aku celingak-celinguk mencarinya dan tersenyum lega saat melihatnya sudah di tempatnya, membantai mie legendaris Pak Cing dengan lahapnya. Beberapa saus dan kuah mie bahkan udah belepotan di wajahnya. Ah... andai bisa mengusap noda di wajahnya. *** Aku kembali ke kelas dengan banyak membawa banyak pesanan dari para majikan dadakanku. Ketika mereka melihatku tiba, mereka datang mengambil pesanannya lalu menghilang secepat kecepatan cahaya. Aura kehadiranku pun kembali zero. Sungguh kekuatan yang tidak bisa bebas digunakan sesuka hati. Waktu istirahat masih tinggal 5 menit. Aku memutuskan untuk ke kantin. Perutku keroncongan. Sejak pagi belum makan apapun untuk mengganjal produksi asam lambung di perutku. Alhasil, perutku kini cekit-cekit mirip mesin jahit. Saat aku kembali ke kantin, keadaan di sana mulai sepi dan aku setengah berlari menuju roti cokelat yang masih nangkring di tempatnya. Roti terakhir! "Pak, beli roti. Nih uangnya!" Seorang cowok mengambil harapan terakhirku, membayar dan berjalan santai melewatiku yang hanya tinggal sedikit lagi mendapatkan roti itu. Aku menghela napas Panjang lalu mencari pengganti roti itu. Aku mulai memindai makanan di kedai Pak Cing. Mie pentol habis, siomay habis, dan roti pun baru saja sold out. Apes! Aku meninggalkan kantin dengan sebuah botol aqua di tanganku. Brak!! Suara itu cukup keras dan membuatku menegokkan kepalaku. Kepo. Aku melihat seorang cewek bertabrakan dengan... Duta? Untung banget. "Duh, sorry, Dek! Nggak sengaja," ujar cewek itu sambil mencoba membantu Duta berdiri. Duta bersikap tak acuh. Cowok itu menegokkan kepalanya ke kiri-kanan seolah sedang mencari sesuatu. "Duh.. berdarah, nih," ringis cewek itu sambil mencoba memperlihatkan sikunya yang berdarah. Darahnya sedikit. Lecet. Beneran. Modus. Aku secara otomatis merutuki cewek itu. Dan siapapun cewek yang melihat kejadian ini juga akan melakukan hal yang sama. Untungnya, Duta masih sibuk sendiri. Cewek itu memukul pelan lengan Duta, meminta diperhatikan. "Dek berdarah nih. Anterin ke UKS, dong," pinta cewek itu manja. Duta hanya menoleh seperkian detik dan kembali mengabaikannya. Si cewek itu mulai kesal. Dia manyun dan meninggalkan Duta yang masih sibuk ngeliat kesana-kemari. Bel masuk berbunyi. Aku melihat raut mukanya berubah. Duta terlihat sedih membuat hatiku sakit melihatnya begitu. Dengan langkah gontai dia masuk ke kelasnya. Aku berjalan menuju tempat Duta berdiri tadi setelah memastikan cowok itu sudah masuk ke sarangnya. Eh kelasnya. Aku menengok ke kiri-kanan, ke bawah-ke atas. Nothing. Kira-kira apa yang Duta cari? Aku hendak pergi dan aku menemukan sebuah magnetic earrings dengan manik hitam yang indah di dekat pot bunga. Aku memungutnya. Mungkinkah ini yang Duta cari? Jika benar, sungguh lucky. Mungkin ini kesempatan bagiku untuk bisa mengobrol dengan Duta. *** Dering bel pulang Sekolah terdengar merdu di telingaku. Sejujurnya aku memang menunggu waktu pulang agar bisa segera mengembalikan benda yang aku temukan tadi pada Duta. Jika dia sampai begitu fokus mencari benda ini, artinya ini sesuatu yang sangat berharga baginya. Aku senang jika bisa sedikit berguna untuknya. Walau sangat bersemangat, aku masih diam di tempat dudukku. Duta bukanlah tipe cowok yang terburu-buru untuk pulang. Cowok itu selalu menunggu sekolah sepi agar bisa pulang dengan nyaman. Aku juga begitu. Aura kehadiranku begitu lemah sehingga jika memaksakan diri untuk menerobos dinding beton, hanya akan tersingkir dengan cepat. Kelasku hening. Penghuninya telah meninggalkan ruangan ini sejak tadi. Aku mulai berdiri dari dudukku lalu berjalan pelan keluar kelas. Sesekali aku menegok ke deretan kelas X yang berada di depan kelas IPS. Cowok yang aku tunggu tampak melangkah dengan gontai. Senyumnya menghilang. Aku tidak suka itu. "Oi, Dut. Lemes banget." Sapa seorang cowok yang entah muncul dari mana. Aku perhatikan cowok itu baik-baik, sedikit mengenalnya. Berdasarkan hasil stalkerku, cowok itu bernama Dika Pratama, temen SMP Duta. Cowok itu memiliki tinggi di atas rata-rata walau tidak setinggi Duta. Badannya kurus—lebih kurus dari Duta tetapi otot-otot tangannya menggiurkan, mungkin karena atlet basket. Warna kulitnya agak pucat dengan bibir yang merah merekah. Berbeda dengan Duta yang menata rambutnya dengan sistem kaktus—berdiri k eatas, Dika ini tipe yang membiarkan rambutnya jatuh beraturan. Entah kenapa cocok sekali dengan bentuk wajahnya yang tidak kalah ganteng dengan Duta. Mereka sudah berteman sejak SMP, bisa dibilang sahabat. Walau beda kelas di SMA, mereka masih beberapa kali pulang dan nongkrong bareng di kantin tiap istirahat atau jam kosong. Bisa dikatakan jika dekat dengan Duta, maka aku juga akan berurusan dengan Dika. Aku sedikit tidak suka dengan hal itu. Di mataku, Dika terkesan seperti cowok tengil walau penampilannya seperti cowok polos. Entahlah. Intuisi perempuanku mengatakan begitu. "Nggak, kok. Laper aja hehe," ujar Duta memaksakan dirinya tersenyum. Begitulah Duta. Cogan yang aku kagumi itu akan selalu mencoba tersenyum meski hatinya tengah dilanda badai. Dia terlalu baik atau bodoh untuk menyimpan masalahnya sendiri. Tipe yang tidak mau menyusahkan orang lain. "Pulang bareng yuk!" ajak Dika. "Sorry, hari ini nggak bisa. Ada urusan," tolak Duta halus. "Urusan apa sih?" tanya Dika setengah kecewa. "Sorry ya. Bye," kata Duta lalu kabur. Aku mulai mempercepat langkahku untuk mengejar Duta. Aku ingin mengembalikan benda ini. Saat melihat Duta sudah berbelok, aku menambah kecepatan lariku untuk menyusulnya. Namun langkahku terhenti. Pemandangan yang membuatku sedikit menyesal terlihat olehku. Di manik mataku, kini terpantul bayangan seorang cewek yang tidak akan bisa dikalahkan meski seribu tahun berperang. Dia sedang memeluk Duta, Cogan yang kusukai. Ng-jleb-nya Duta membalas pelukannya dan bagaimanapun aku menilainya. Dari bahasa tubuhnya, itu cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD