Kediaman pemimpin desa Pandora—Kaddar Geneva.
Kaddar baru saja kembali dari balai desa, memenuhi tugasnya sebagai pemimpin desa Pandora. Ia terduduk di salah satu sofa ruang tamu rumahnya. Melepas penat seraya mengipas-kipaskan topi bundar ke wajahnya. Padahal wajah itu sama sekali tidak panas dan tidak berkeringat.
“Minum dulu, Kek.” Morena datang seraya membawakan segelas air mineral untuk suaminya.
“Terima kasih.” Kaddar menerima gelas itu dan menenggak minuman itu hingga habis.
“Sepertinya kau sangat lelah?” Morena duduk di sofa berbeda seraya memerhatikan suaminya yang terus mengibaskan topi bundar miliknya ke wajahnya.
“Tidak, aku hanya memikirkan Aliando. Ternyata ia sudah tahu mengenai ruangan menuju kerajaan Pandora.”
“APA?! Bagaimana Al bisa tahu, Kek?” Morena tersentak, ia tidak percaya.
“Katanya semalam ia bosan dan mencoba berkeliling rumah ini sendirian. Ia menemukan ruangan itu tanpa sengaja.”
“Bagaimana kau bisa tahu kalau Aliando baru dari sana? Apakah ia yang bercerita?”
Kaddar menggeleng, “Tidak, Al belum menceritakan apa pun.”
“Lalu?”
“Ketika aku membangunkannya, aku melihat buku panduan sudah ada di sampingnya. Buku yang ditulis ole kakekku, Alvoso Geneva.”
Morena menutup mulutnya, seakan tidak percaya dengan apa yang sudah disampaikan oleh suaminya.
“Sepertinya Aliando memang sudah dipilih oleh kakek Alvoso untuk meneruskan misi kerajaan Pandora,” ucap Kaddar seraya menatap langit-langit rumahnya.
Morena tertunduk. Seharusnya ia senang dengan apa yang disampaikan oleh suaminya. Dengan begitu, artinya Aliando akan tinggal lebih lama di desa Pandora. Akan tetapi, Morena khawatir. Masuk ke dalam kerajaan Pandora sama saja dengan mengantar nyawa ke sana. Ada kemungkinan mereka yang masuk ke sana tidak akan pernah kembali lagi ke dunia nyata seperti yang terjadi pada Alvoso kala itu.
“Ada apa, Nek?” Kaddar melihat gurat kekhawatiran di wajah istrinya.
“Seharusnya aku senang dengan apa yang baru saja kau sampaikan, Kek. Akan tetapi, tempat itu sangat berbahaya. Apa kau lupa bahwa Alvoso tidak pernah kembali lagi?”
Kaddar menggenggam telapak tangan istrinya. telapak tangan yang masih kecil karena sudah bertahun-tahun Morena tersiksa menanggung sakit dan kerinduan terhadap anak dan cucunya.
“Sayang, semua itu adalah takdir. Lagi pula, kerajaan Pandora memang butuh keturunan Geneva untuk meraih kembali kejayaannya. Kau lupa, kita sudah sangat lama tidak kembali lagi ke sana.”
“Ya, bahkan Sammy pun tidak tertarik dengan semua itu.”
“Aku rasa bukan karena tidak tertarik, Nek. Akan tetapi Sammy memang bukan manusia pilihan. Apa kau tidak melihat cara Gladies menatap Al?”
Morena yang sebelumnya tertunduk, kembali mengangkat kepalanya dan menatap Kaddar dengan pandangan nanar.
“Apa maksudmu, Kek?”
Kaddar tersenyum lebar, “Entah mengapa, aku meyakini jika Aliando memang sudah ditakdirkan untuk melanjutkan kepemimpinan desa ini. Ia akan tetap bersama kita. Ia dan Gladies sudah di takdirkan untuk bersama.”
“Tapi bukankah Al sudah punya pacar di Jakarta? Apa kau lupa apa yang dikatakan sammy waktu kita menghubunginya?”
“Baru pacar, belum istri, Sayang ....” Senyum Kaddar semakin lebar.
Morena melepaskan tangannya dari genggaman Kaddar. Ia menopang mulutnya dengan ke dua tangannya yang kecil karena kekurangan daging.
“Ada apa, Morena?”
Morena menggeleng, “Aku taku, Kek.”
“Apa yang kau takut’kan?”
“Aku memang senang jika Al mau tinggal di sini dan meneruskan kepemimpinan desa Pandora. Akan tetapi, aku takut jika Al harus ikut petualangan mengerikan itu di sana. Apa kau lupa, sudah berapa kali kau hampir kehilangan semua nyawamu di sana? Apa kau lupa, bagaimana aku dulunya juga hampir kehilangan semua nyawaku. Tempat itu sangat berbahaya.” Morena menghela napas sejenak. Kondisinya yang masih sedikit lemah, membuatnya sulit untuk berbicara terlalu banyak.
Kaddar tertunduk. Paruh baya itu kembali menatap langit-langit rumahnya.
“Kek, sudah berapa kali aku minta kau untuk menghancurkan perangkat itu. Atau kau tutup saja ruangan itu secara permanen agar siapa pun tidak ada yang bisa pergi ke sana.” Suara Morena sedikit bergetar.
“Tidak Morena, aku tidak mungkin melakukan hal itu. Jika aku melakukannya, maka aku akan melawan takdir. Kakek Alvoso dan ayahku pasti akan sangat kecewa. Apa kau lupa pesan dari mendiang ayahku sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya? Ia meminta kita berdua tetap menjaga kejayaan Desa Pandora dan juga kejayaan Kerajaan Pandora. Kita berdua diminta untuk tidak mengabaikannya.”
Kali ini, Morena yang mengambil telapak tangan kanan Kaddar. Wanita yang sudah setia menemani Kaddar selama ini, menyilangkan jari-jari kecilnya di sela-sela jari-jari kekar suaminya.
“Maaf’kan aku, Sayang ...,” ucapnya bergetar.
Kaddar kembali tersenyum. Pria itu mengelus punggung tangan Morena dan menepuk-nepuknya dengan lembut.
“Aku tahu apa yang kau khawatirkan, Sayang ... Aku tahu, betapa bahagianya kau ketika cucu kita datang ke sini. Binar yang sudah lama menghilang, kini kembali. Wajah cantik yang sudah lama tidak bersinar, kini kembali merona.” Kaddar membelai wajah istrinya yang masih terlihat jauh lebih tua dari usia yang sesungguhnya.
“Sayang, percayalah ... semua akan baik-baik saja. Cucu kita itu adalah manusia pilihan. Aku yakin, ia adalah seorang petualang hebat. Ia pasti mampu mengembalikan kejayaan kerajaan Pandora.”
“Tapi bagaimana kalau Al gagal, Kek?”
“Ssttt ... jangan bicara seperti itu. harusnya kita mendoakan dan yakin jika Al bisa dan mampu melakukan semua itu.”
“Aku tahu, tapi bagaimana kalau ga—.”
Kaddar seketika menutup mulut istrinya, “Sayang ... kita tidak bisa menentang takdir. Jika Al memang gagal, itu adalah takdirnya dan kita harus menerima. Maut, rezeki, dan jodoh semua itu di tangan Tuhan. Bagaimana pun, Al tidak bisa menolak takdirnya. Begitu juga dengan kita dan semua manusia di dunia. Apa pun sukunya, apa pun agamanya, apa pun status sosialnya, tidak seorang pun yang bisa menentang takdirnya.”
Morena mengangguk pelan. Ia mencium punggung tangan Kaddar dan mengusap sendiri air matanya yang sudah mengalir tanpa bisa dicegah.
“Maafkan aku,” lirihnya dengan suara bergetar.
“Sudahlah, Sayang ... Kita doakan saja, semoga Al mau tinggal dan menetap di sini. Kita doakan yang terbaik untuk cucu kita.” Kaddar kembali membelai lembut wajah istrinya.
Morena membalas dengan senyuman.
***
Aliando benar-benar begitu menikmati kesejukan dan kehangatan kolam di gua Pandora. Pemuda itu bahkan enggan untuk keluar dari sana, padahal sudah lebih dari satu jam ia berendam dan berenang di kolam air hangat yang begitu jernih yang terdapat di antara tumpukan es.
“AL, KAMU NGGAK BERNIAT KELUAR?” teriak Gladies yang duduk santai di tepi kolam bersama Sovia.
Aliando yang masih berada di bawah air terjun, menggeleng, “SEPERTINYA AKU INGIN TINGGAL DI SINI SAJA?” balas Al.
Gladies dan Sovia saling pandang.
“Gladies, akankah mitos itu benar?” ucap Sovia dengan kening mengernyit.
Gladies hanya terdiam. Ia kembali melabuhkan pandang kepada pemuda tampan bermata abu-abu yang masih menikmati tubuhnya diguyur air terjun.
“Gladies, jika mitos itu memang benar, mungkinkah sepasang manusia itu adalah kamu dan Aliando?”
Gladies kembali melabuhkan padang ke arah Sovia. Gadis itu diam seribu bahasa.
Walau dalam hatinya, Gladies memang tertarik dengan sosok Aliando, bahkan jauh sebelum Aliando datang ke desa Pandora, namun Gladies tidak yakin dengan mitos yang beredar di desa itu.
Selama ini, Kaddar dan Morena memang selalu menceritakan sosok Aliando kepada Gladies. Gadis itu selalu tertarik mendengarkan segala cerita mengenai Aliando. Semuanya, hingga gadis itu lupa waktu dan makan jika sudah membayangkan sosok Al yang selalu ia dengar dari Kaddar dan Morena.
Kali ini, ketika ia sudah menatapnya langsung, rasa itu semakin kuat bersarang di jiwanya.
“Gladies, mengapa kamu malah melamun?” Sovia memukul pelan bahu kiri Gladies.
“He—eh ... tidak ada apa-apa.”
“Kamu mikirin mitos itu ya?”
“Entahlah ....”
“Tapi kamu memang suka sama Al’kan?”
“Aku memang selalu menyukai semua cerita tentangnya. Bahkan jauh sebelum ia datang ke sini, aku sudah menyukai semua cerita tentang keluarga Geneva. Kakek Kaddar dan nenek Morena selalu menceritakannya kepadaku.”
“Sekarang kamu makin suka setelah melihat sosoknya langsung?”
Jantung Gladies seketika berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang kini tengah ia rasakan. Namun mitos yang sudah ia dengar dari ayah dan ibunya, cukup membuatnya bergidik.
“Ada apa, Gladies?”
“Mitos itu sangat menyeramkan,” gumam Gladies seraya menatap Aliando dengan tatapan nanar.
“Hanya mitos, Gladies. Kamu tidak perlu terlalu memikirkannya.”
“Entahlah ....” Kali ini Gladies tertunduk.
“Mitos itu bisa saja terjadi, bisa saja tidak. Yang pasti sekarang, kita nikmati saja hari-hari kita. Berharap semoga Aliando mau tinggal di sini dan meneruskan kepemimpinan desa Pandora. Kakek Kaddar sepertinya sudah butuh istirahat dan menikmati masa tuanya tanpa disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai pemimpin.”
“Ya, dan sayangnya yang bisa memimpin desa ini hanyalah keturunan Geneva. Jika desa ini sudah dipimpin oleh orag lain, maka kehancuran akan terjadi.”
Sovia dan Gladies kembali saling berpandangan. Kening dua gadis cantik itu sama-sama mengernyit. Setelah berperang dengan dengan pikiran mereka masing-masing, mereka berdua kembali menatap Aliando yang masih enggan untuk keluar dari kolam air hangat itu.
Entah berapa lama lagi Gladies dan Sovia menunggunya di tepi kolam seraya menikmati wajah tampan dan tubuh indah Al yang tengah berenang di sana.