Pandora – 10

1416 Words
“Hei, apa yang kamu pikirkan, Al?” Gladies menyikut pelan bahu Aliando. Pemuda itu tampak masih merenung. Aliando tersentak, “Ah, tidak! Bisa kita masuk ke gua sekarang?” “Oiya, aku sampai lupa tujuan utama kita ke sini.” Gladies memukul pelan keningnya, “Ayo kita masuk sekarang.” Gladies menggenggam tangan Sovia dan menarik gadis itu untuk masuk lebih dahulu ke dalam gua sementara Al mengikuti dari belakang. Mereka bertiga pun masuk ke dalam gua gletser dan betapa terpananya Aliando melihat keindahan isi gua itu. Gua itu benar-benar sangat indah dan berkilauan. Bunyi gemericik air yang turun dari atap gua, menambah suasana tenang, damai dan eksotis. “Bagiaman, Al? Ini masih bagian tepi lho, kita belum masuk ke bagian dalam.” Gladies mengukir senyum ketika Aliando sedikit ternganga memerhatikan keindahan gua. Pantulan sinar warna warni itu menari-menari dengan sangat indah. “Memangnya di dalam ada apa?” tanya Al setelah lamunannya tersentak. “Mari kita lihat. Aku pastikan kalau kamu akan sangat menyukainya,” ucap Gladies seraya melangkahkan kakinya menyusuri gua yang langit-langitnya penuh dengan es dengan ujung meruncing. “Al, hati-hati dengan bongkahan es yang meruncing. Es-es itu sangat tajam dan kuat. Kalau kamu tidak hati-hati, maka es-es itu bisa melukaimu,” Aliando mengangguk. Sebelum Gladies mengatakan hal itu, Aliando sudah menghindari bagian runcing dari bongkahan es-es itu. “Gladies, apa ada bagian terlarang di dalam gua ini? Misalnya  tidak boleh disentuh atau ejenisnya?” Gladies menggeleng, “Tidak, Al. Kalau kamu ingin menyentuh atau ingin mematahkan esnya, lakukan saja. Akan tetapi kamu harus tetap berhati-hati sebab salah-salah, malah akan mencelakaimu jika yang kamu patahkan itu berhubungan dengan bongkahan es besar. Kamu paham’kan?” Aliando mengangguk. Kakinya terus saja membawanya semakin dalam hingga tiba-tiba ... “Waw ....” Aliando melototkan ke dua matanya. Apa yang ia saksikan saat ini memang diluar nalar dan sangat amat mustahil bisa terjadi di Indonesia. Pemuda itu berdiri dengan gagah tanpa berkedip. Pendaran cahaya warna warna yang begitu berkilauan membuatnya begitu takjub hingga sulit untuk memercayainya. Cahaya-cahaya itu seakan menari-nari menyambut kedatangan keturunan Geneva di sana. “Gimana, Al?” Gladies kembali tersenyum. “Amazing ....” gumam Al, lirih. “Kamu menyukai tempat ini, Al?” Sovia yang sedari tadi hanya diam, kini mulai bersuara. “Nggak ada alasan untuk aku tidak menyukainya. Ini benar-benar sangat keren. Beruntung sekali kalian yang menjadi warga desa Pandora,” ucap Al lagi tanpa mengalihkan pandangannya ke arah depan. Sebuah kolam dengan air yang sangat amat bening, terpampang indah di depan mata Aliando. Tidak hanya kolam bening dan bebatuan yang tersusun rapi saja yang membuat Aliando terpana, tapi pendaran cahaya warna warni itu juga membuatnya takjub. “Mau coba nyebur dan berenang di sana?” Kali ini, kembali Gladies yang bersuara. Aliando menatap Gladies, “Memangnya boleh?” “Bolehlah, siapa yang melarang? Apa lagi kamu adalah keturunan Geneva.” “Memangnya ada apa dengan keturunan Geneva?”  “Dulu, sebelum kakek aku meninggal, beliau pernah bercerita kalau keturunan Geneva adalah keturunan yang sangat istimewa. Yang membuat desa Pandora sejahtera seperti saat ini adalah seorang Geneva yang bernama Alvoso.” “Alvoso?” “Iya, kakek buyut kamu. Ialah yang sudah membawa beberapa masyarakat lari ke dalam hutan akibat adanya sebuah peperangan kala itu.” “Maaf Gladies, aku masih bingung dengan semua ini.” Gladies menatap Aliando, “Untuk masalah, itu, sebaiknya kamu tanyakan langsung pada kakek Kaddar. Aku tidak ingin salah bicara atau salah menceritakannya. Lagi pula, tujuan kita ke sini bukan untuk menceritakan silsilah keluarga kamu atau menceritakan asal muasal desa ini. Aku mengajakmu ke sini untuk berjalan-jalan dan bersenang-senang.” Aliando tersenyum, “Ya, aku mengerti, Gladies ....” “Bisa kita berenang, sekarang?” Sovia yang sedari tadi kembali diam, tiba-tiba bersuara. Pendapatnya membuat Gladies dan Aliando kembali bersemangat. “Ayo, ucap Al seraya melangkahkan kaki menuruni bebatuan yang tersusun secara alami sehingga berbentuk seperti anak tangga. Setelah sampai di tepi kolam yang begitu jernih dengan air terjun di bagian ujungnya, Aliando tiba-tiba terdiam dan tercenung. “Ada apa, Al?” “Sepertinya aku tidak akan kuat berenang di kolam ini.” Aliando terus memerhatikan kolam alami yang memancarkan pantulan sinar warna warni yang sangat indah. Kolam itu juga mengeluarkan asap, persis seperti danau Pandora. Sovia terkekeh ringan, “Kamu coba aja dulu, Al. Atau aku dorong aja nich.” Sovia bersiap mendorong Aliando. Aliando seketika menghindar. “Hahaha ... aku hanya bercanda, Al. Tidak mungkin aku berani menceburkan cucunya kakek Kaddar, apalagi kita ini baru berteman. Kecuali kalau kita sudah akrab.” Sovia terkekeh. Lagi, Gladies tidak suka dengan sikap bercanda Sovia. Bukan karena bercandanya berlebihan, tapi karena ada yang sakit di bagian hati Gladies. “Al, kamu tidak perlu khawatir. Air di kolam ini tidak dingin seperti yang kamu bayangkan. Justru sebaliknya, ini adalah kolam air hangat yang sangat nyaman.” “Benarkah?” Aliando kembali mengernyit. Ia tidak percaya. “Mari kita sentuh.” Gladies memegangi tangan Aliando dan menuntun pemuda itu mendekati kolam. Gladies berjongkok, Aliando juga mengikuti. Perlahan, Gladies menceburkan tangannya dan juga tangan Al yang masih ia genggam ke dalam air kolam. “Hangat ...,” ucap Al disertai dengan senyuman. Gladies menatap Aliando, Aliando pun sama. Netra hazel itu bertemu dengan netra abu-abu milik Aliando. Gladies segera melepaskan tangannya dari tangan Al. Gadis itu pun seketika membuang muka. “Hhmm ... ayo kita berenang,” ajak Gladies. Ia segera bangkit, melepas sendalnya dan langsung menceburkan diri ke dalam kolam air hangat yang berada di dalam gua pandora. “Gladies, kenapa tidak menungguku dulu?” Sovia juga seketika melepas sendalnya dan langsung ikut menceburkan diri ke dalam kolam. “Al, ayo ikut.” Sovia memanggil Aliando. Ke dua gadis manis asli desa Pandora itu mulai berenang menyisiri setiap sisi kolam. Mereka pun berlomba menuju air terjun yang ada di sana. Melihat ke dua bidadari itu asyik berenang, Aliando pun menjadi tidak sabar. Pemuda itu segera melepas hodienya dan sendal gunung bertali yang kini masih menempel di kakinya. Byuuurrr ... Seketika tubuh Al masuk ke dalam kolam. Pemuda itu pun basah dan menghilang, masuk ke dalam dasar kolam. Sovia dan Gladies secara bersamaan menatap ke arah Al yang belum naik ke permukaan. Mereka bisa melihat dengan jelas, Aliando masih berenang di dasar kolam jernih itu. Tidak lama, Aliando pun naik kepermukaan kolam. Pemuda itu menyibak rambutnya dengan kencang hingga percikan air di rambut lebatnya mengenai Sovia dan Gladies. Sovia dan Gladies terpana secara bersamaan. Namun berbeda dengan Sovia, Gladies menatap pemuda tampan itu dengan rasa yang tidak biasa. Gladies terpana hingga iris berwarna hazel itu tidak berkedip sedikit pun. Sovia yang sebelumnya menatap Aliando, kini beralih menatap Gladies. Sovia bahkan menggoyang telapak tangannya ke depan mata Gladies, namun gadis manis keturunan Belanda itu sama sekali tidak bereaksi. Gladies seakan terhipnotis. Aliando tidak sadar jika ia tengah diperhatikan oleh gadis tercantik di desa Pandora. Setelah mengusap wajahnya yang basah, Aliando kembali menghilang, masuk ke dasar kolam dan mulai meliuk-liukkan tubuhnya di dalam sana seperti ikan. Ikan-ikan yang di sekitar sana bahkan mengikuti gerakan berenang Aliando. “Gladies ... Gladies ....” Melihat sahabatnya yang masih berdiri kaku, Sovia pun mulai mengguncang tubuh Gladies untuk membuat sahabatnya itu tersadar. Tidak lama, Gladies tersadar, “He—eh ....” Gladies nmengucek matanya dan berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah lain. “Gladies, kamu suka sama Aliando?’ tanya Sovia memutar wajah sahabatnya hingga wajah Gladies mengarah ke arahnya. “Ka—kamu bicara apa?” Gladies tergagap. “Kalau pun iya, apa salahnya? Al memang sangat tampan. Setampan-tampannya pemuda di sini, belum ada yang mengalahkan ketampanan Aliando. Aku saja terpesona. Coba kalau aku nggak pacaran sama Boby, pasti aku sudah goda pemuda itu, hehehe ....”Sovia terkekeh ringan. “Kamu ini.” Gladies memukul pelan bahu Sovia. “Lagian kalau aku perhatikan, kamu dan Aliando memang cocok kok. Kalau nanti kalian menikah, kalian akan memimpin desa Pandora berdua. Pasti akan sangat keren.” “Halu aja!” Gladies mengambil air dengan telapak tangan kanannya lalu membalur air itu dengan kasar ke wajah Sovia. “Dari halu, bisa berubah jadi nyata, Cinta ... hahaha ....” Sovia berlalu, menjauh dari Gladies. Gadis itu lebih dulu mencapai air terjun sebab ia sudah tidak sabar ingin membasahkan tubuhnya di bawah air terjun hangat yang berada di gua gletser. Cukup aneh memang, sebuah kolam air hangat yang sangat indah, berdiri di antara tumpukan es yang mengelilingi setiap sisi gua. Namun itulah keunikan desa Pandora. Desa paling indah yang di dalam cerita ini ada di negara Indonesia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD