Dua hari dua malam menginap di rumah sakit tanpa kabar, sore ini akhirnya Romi dan Milla pulang. Keduanya tampak sangat semringah sekaligus bahagia. Tanpa terkecuali, Romi yang tak hentinya merangkul mesra Milla, di mana tangan Romi juga begitu aktif mengelus perut Milla yang sudah terlihat mencolok. Perut Milla terbilang buncit dan sepertinya usia kandungannya sudah menyentuh lima bulan bahkan lebih.
Berbeda dengan Romi dan Milla, kepulangan keduanya justru membuat Diana lesu. “Padahal sudah enak dua hari enggak ada gangguan,” pikir Diana.
Awalnya, Diana akan masuk dan mandi atau melakukan aktivitas lain. Namun, Diana baru ingat dirinya belum menyiram taman depan.
***
“Selamat sore. Paket spesial sudah datang untuk pelanggan yang spesial.”
Seruan barusan dan terdengar dari balik pintu gerbang, membuat Diana yang baru saja beres menyiram taman, mengoreksi anggapan mengenai ketenangan yang Diana rasakan selama dua hari terakhir. Sebab meski tak ada Romi yang berbakat melakukan KDRT kepadanya, ada pemuda bernama Willy yang begitu hobi menjerat Diana dengan rayuan.
Diana bergegas menggulung selang keran bekasnya menyiram taman, dan keberadaannya tidak begitu jauh dari gerbang.
“Selamat sore … paket spesial sudah datang ….”
Lantaran suara Willy kembali mengalun ceria tapi bagi Diana juga terbilang genit, Diana sengaja melongok dan menjeda kesibukannya dalam menggulung selang.
“Bisa enggak, sih, enggak bikin emosi?” omel Diana.
Seperti biasa, pemuda bernama Willy berlaga tak bisa berkata-kata. Seolah-olah pemuda itu sangat terpesona kepada Diana. Dan kenyataan tersebut dikuatkan dengan salah satu tangan Willy yang sampai menahan dadda.
“Mbak rajin banget, ya? Jam segini sudah nyiram taman ... sekalian dong, Mbak, siram hati aku,” ucap Willy.
Diana tak mengindahkan ucapan Willy. Ia baru saja membereskan kinerjanya dalam menggulung selang. Diana melangkah tergesa mendekati Willy. Tentunya, gerbang rumah yang dikunci menjadi pemisah kebersamaan mereka.
“Bentar, deh. Kenapa setiap aku order, yang urus selalu kamu padahal yang kerja di perusahaan kamu banyak?” ucap Diana masih mengomel.
“Masihkah harus dijelaskan? Kalau keadaannya sudah begini, tandanya jodoh, kan?” balas Willy dengan santainya.
Dan seperti biasa, Willy menatap Diana penuh cinta. Kenyataan yang langsung membuat Diana merinding dan buru-buru menjaga jarak.
“Sudah, sini pesenanku!” tagih Diana sambil cemberut.
Willy langsung mesem. Ia berangsur mengambil satu kantong besar yang tersimpan di kotak ransel yang ada di boncengannya. “Berarti, itu nomor Mbak, ya? Hayo, ngakunya nomor suami? Mana ordernya pakai nama Didi, lagi. Kirain Didi artis.”
Diana menghela napas kasar. “Jadi orang kok genit banget, sih? Enggak usah genit-genit. Kamu cukup fokus sekolah saja!”
“Aku sudah lulus lho, Mbak. Kemarin. Memang baru lulus SMA, tapi sekarang sambil kerja, sambil kuliah juga, sama sambil … berusaha lolos masuk ke hati Mbak!”
Diana semakin risih. “Sudah, sini.”
Dengan senang hati, Willy memberikan pesanan Diana. “Enggak usah bayar, kalau memang itu pesanan punya Mbak.”
“Enggak perlu, makasih.” Diana tetap mengangsurkan uangnya, tapi Willy menggeleng dan tak menerima.
“Heii, ambil!” omel Diana yang sudah menerima pesanannya.
“Enggak usah, Mbak. Itu buat kamu. Tapi kok Mbak doyan makanan Jepang? Mbak asli mana, sih? Kampung Mbak di mana? Mbak beda, lho. Putih … sipit … dan … Mbak makannya buanyak juga, ya? Berarti aku wajib bekerja keras, biar Mbak enggak kelaperan! Semangat!” Willy masih menyikapi Diana dengan kelewat santai.
“Nih bocah serius, yakin kalau aku pembantu di sini?” batin Diana tak percaya. “Masa iya, bocah seusianya kan biasanya lagi badung-badungnya?” batinnya lagi sambil menatap heran Willy, dan sialnya ketahuan.
Willy langsung tersenyum lepas kepada Diana. Ia merasa sangat bahagia hanya karena sedikit diperhatikan oleh Diana.
Di mata Diana, Willy tersenyum tulus tak berbeban dan terlihat sangat manis.
“Diana …?”
Suara galak Romi terdengar dari dalam. Diana yang panik refleks meraih tangan Willy kemudian menaruh paksa uangnya di sana.
“Diana …?”
Suara galak Romi kembali terdengar, tapi Willy justru menahan tangan Diana yang sempat menaruh uang di tangannya.
“Lep-pas!” pinta Diana panik.
“Namamu Diana?” tanya Willy memastikan.
Meski sempat tertegun dengan tatapan dalam Willy yang dipenuhi keseriusan, Diana buru-buru mengenyahkan cekalan tangan Willy dengan kasar.
“Uangnya!” sergah Willy yang dengan begitu cepat langsung berhasil mengembalikan uang Diana ke tangan kanan Diana.
Diana menatap aneh Willy sambil terus berlari memasuki rumah Romi.
“Itu Bos-nya galak banget, ya? Diana langsung ketakutan begitu. Eh ….” Baru William sadari, tadi, di tangan berikut kedua kaki Diana ada banyak lebam yang begitu mencolok. Karena selain Diana mengenakan lengan pendek dan celana selutut, kulit Diana sangat putih.
Mengingat itu, rasa cemas langsung menguasai Willy. “Kok firasatku jadi enggak enak, ya? Kok aku jadi mikir, di dalam, Diana jadi korban kekerasan?”
****
Tak lama setelah Diana masuk dengan buru-buru termasuk dalam menutup pintu yang sampai Diana gunakan untuk bersandar, pandangan Diana juga langsung dipenuhi sosok Romi.
Romi yang telah mengenakan kaus lengan pendek berikut celana kolor warna hitam selutut sebagai bawahannya, langsung menatap curiga Diana. Dahinya berkerut tipis, dan kantong putih besar yang Diana bawa, turut menjadi bagian dari perhatiannya. Jaraknya dan Diana hanya terpaut sekitar tiga meter.
“Makananku. Aku pesan di luar. Kenapa? Mas lebih memilih aku penyakitan bahkan mati karena kelaparan dan kekurangan gizi? Lagian aku pesan sendiri,” ucap Diana yang sadar Romi memperhatikan kantong belanjaannya.
Romi tak menjawab. Ia hanya menatap malas Diana yang kemudian bergegas dan nyaris melewatinya, hingga ia memilih melipir demi menghindar dan tak sampai berpapasan dengan Diana.
Meski sudah melewati Romi, Diana sengaja berhenti. “Tolong lepaskan aku, Mas. Aku ingin pergi. Biarkan aku pergi dan buatlah seolah aku melakukan kesalahan fatal. Aku janji, aku akan menghilang bahkan dari kehidupan orang tuaku,” ucapnya yang tetap menunduk memunggungi punggung Romi.
“Tentu aku akan melakukan itu. Tapi belum saatnya,” balas Romi dingin.
Mendengar balasan tersebut, Diana langsung tersenyum miris. “Memangnya, Mas mau ngapain aku lagi? Mas mau jual aku, begitu? Ya Tuhan, Mas. Ada orang sekeji Mas. Astaga ....” Diana menghela napas dalam. Merasa tak habis pikir dengan cara Romi yang membuatnya seolah hidup dalam penjara. “Enggak apa-apa, Mas. Tuhan enggak tidur, kok. Aku percaya, setiap ketidakadilan yang Mas lakukan, semuanya akan berbalas.”
“Please, deh ... jangan bikin mood aku hancur!” keluh Romi dengan suara terbilang lantang.
“Kalau cuma ngomong begini saha, Mas bilang aku sudah bikin mood Mas hancur, lalu, bagaimana denganku yang sudah Mas hancurkan? Aku harus sebut Mas apa?” balas Diana yang refleks balik badan.
Tak beda dengan Diana, Romi yang kesal juga melakukan hal serupa. Romi menatap Diana dengan emosi yang menyala.
“Meski pernikahan kita pernikahan bisnis, bukan begini caranya memperlakukanku, Mas.” Tak tahan lama-lama menatap apalagi bersama Romi, Sasmita memutuskan pergi.
“Cepat bersihkan dirimu, kemudian temui Milla. Dia ingin bertemu denganmu!” seru Romi meledak-ledak.
Diana masih bisa mendengarnya dengan jelas, tapi Diana memilih abai dan tetap melangkah cepat demi menghindari Romi.
Diana, Wanita yang Terluka ....