Episode 4 : Istri Rasa Pembantu

1429 Words
Tamparan panas langsung Diana dapatkan dari Romi. Diana merasa tak habis pikir, sempat-sempatnya Romi menamparnya padahal Milla sudah meringkuk tak berdaya seperti apa yang Diana lihat. Diana menunduk, membeku tanpa bisa melakukan apa pun. Tak ada pemberontakan layaknya ketidakadilan yang Diana dapatkan sebelumnya. Pun dengan permohonan ampun yang bisa saja Diana lakukan untuk membela diri. Diana pasrah, mengakui dirinya salah. Meski pada kenyataannya, Diana sudah memperingatkan Milla untuk menjaga jarak. Namun tetap saja, apa pun yang terjadi, Diana pasti akan tetap disalahkan. Sebab pada kenyataannya, kehadirannya di kehidupan Romi memang tak pernah diharapkan. “Kamu sengaja mencelakai istriku?!” bentak Romi sambil menunjuk-nunjuk kepala Diana yang menunduk, menggunakan telunjuk tangan kanannya. “Istri?” pikir Diana yang seketika langsung menyadari. “Oh, iya. Yang istrinya hanya Milla. Aku bukan,” batinnya tanpa berani mengutarakannya. Terlalu pedih Diana rasakan, karena sekadar status saja, Romi tidak mau mengakui hubungan mereka. Pernikahan bisnis yang Diana jalani dengan Romi, membuat hidup Diana semakin dipenuhi ketidakadilan. Diana tak sekadar merasa asing kepada suaminya sendiri, karena pada kenyataannya, Diana hanya dianggap sebagai orang lain, pembantu, bahkan mungkin budakk. “Sayang, sudah … aww … ya ampun, sakit ... banget ….” Rintih sakit Milla langsung mengalihkan perhatian Romi yang sempat melewatinya. Bergegas Romi pergi dari hadapan Diana, memboyong Milla pergi dari sana. “Cepat ambilin kunci, goblock! Kamu sengaja biar keadaan istriku tambah parah!” bentak Romi. Segera Diana lari, melupakan air yang masih ada di lantai dan akan ia lalui, hingga yang ada, ia terjatuh bahkan lebih parah dari apa yang Milla alami. “A-duh ….” lirih Diana nyaris tak terdengar. Diana sampai sulit bernapas. Namun, apa yang dia dapat? Romi kembali membentaknya, mencacinya dengan kata-kata yang begitu keji. “Sudah enggak usah pura-pura! Cepet ambilin kunci mobilnya!” “S-sakit … S-sayang … darah ...?” Rintih sakit Milla langsung membuat Diana syok, lantaran dari ujung jemari tangan kanan Milla dan baru saja merogoh ke salah satu pahha, memang disertai darah. “Diana, cepat!” bentak Romi dan jauh lebih keras dari sebelumnya. Romi sangat panik. Diana sampai terlonjak syok dan buru-buru menyerahkan kunci mobil yang ia ambil kepada Romi. “Bukakan pintu!” bentak Romi lagi. Dan setelah itu, Diana tahu apa yang harus ia lakukan. Tak hanya membuka pintu dan ia lakukan masih dengan buru-buru, melainkan semua hal yang biasanya ART di rumahnya lakukan, ketika ia sekeluarga akan bepergian. Tanpa terkecuali, membuka sekaligus mendorong gerbang. Anehnya, Romi tak langsung pergi dan justru turun dari mobil. Diana yang sudah kembali menggembok kunci gerbang rumah, bergegas membuka kembali gemboknya. “Sudah, jangan dibuka. Balikin kuncinya!” omel Romi yang kemudian menyodorkan tangan kanannya kepada Diana. Sambil memberikan kunci gembok garasi yang beberapa saat lalu ia terima dari Romi, Diana berpikir, apakah Romi memang sengaja menguncinya tanpa membiarkannya pergi melewati gerbang rumah? “Kalau kamu berani kabur dari sini, orang tua dan keluargamu akan membayar semuanya!” ancam Romi sesaat sebelum pergi. Diana memang hanya diam, masih bungkam. Namun dari kedua matanya yang refleks melepas kepergian mobil Romi, cairan yang terasa hangat tak hentinya mengalir dari sana. Suasana sudah semakin terang bersama sang fajar yang mulai keluar dari persembunyiannya, tapi Diana masih mematung di depan gerbang. Disadarinya dedaunan kering telah membuat lantai di sana kotor. Tentu, ia harus segera membersihkannya sebelum Romi kembali memarahinya bahkan parahnya, memberinya hukuman tak terduga. Dengan cekatan, Diana menyapu lantai di sana. Ia melakukannya dengan hasil yang sangat bersih. Tanpa peduli dengan keadaan pakaiannya yang masih kuyup bahkan perlahan kering dengan sendirinya. Bukkk .... Lipatan koran terbilang tebal dan sampai terasa cukup panas, mendarat di sebelah pipi Diana, bertepatan ketika Diana beranjak dari jongkoknya sesaat setelah memungut beberapa helai daun yang keluar dari pengki tempatnya menampung. “Opps ... sori, Mbak! Saya enggak lihat ada orang.” Seorang pria pengemudi motor dengan paras wajah terbilang muda, merupakan dalang dari hantaman koran yang menimpa Diana. Diana yakin, pria yang mengenakan jaket hitam berikut helm seragam dari sebuah ojol ternama di negara mereka, merupakan tukang antar koran. Diana hanya mengangguk enteng kemudian membungkuk untuk memungut koran yang sempat menghantam wajahnya. Suasana hatinya masih sangat buruk, dan sepertinya akan selalu begitu seumur hidupnya, selama ia masih menjadi bagian dari kehidupan Romi yang begitu membencinya. “Mbak ...?” Panggilan barusan yang terdengar sangat dekat, sukses memecahkan keheningan dan membuat Diana terkejut. Diana refleks menoleh ke sumber suara dan ada di belakangnya, persis di depan pintu gerbang. Pria pengantar koran dan sepertinya usianya memang jauh lebih muda dari Diana, menatap Diana sambil tersenyum ceria. “Coba senyum, biar mataharinya lebih cepet bangun,” ucap si pria masih menatap Diana sambil tersenyum ceria. “Nih orang kurang kerjaan apa bagaimana?” pikir Diana memilih abai, bahkan meski pria tersebut mengulurkan tangan kanannya dari sela jeruji gerbang bercat hitam kediaman Romi. “Kenalan, Mbak. Nama saya Willy. Will you marry me?” lanjut si pemuda. Diana refleks terbatuk-batuk saking syoknya. Bergegas ia pergi sebelum kahadiran pemuda tersebut semakin membuatnya bermasalah dengan Romi. “Eh, Mbak. Nama Mbak siapa? Jangan lupa mandi terus ganti pakaian, karena aku enggak mau masa depanku sakit!” teriak si pemuda dan semakin membuat Diana mempercepat langkah. *** Sambil mengatur napas pelan, Diana yang mendekap koran lemparan pemuda tadi, memastikan keadaan luar khususnya pemuda tadi, dari balik gorden tipis yang menutupi jendela sebelah pintu keberadaannya. Beruntung, pemuda tadi telah pergi, mengemudikan motor sambil bersiul ceria, menaruh koran yang dibawa ke setiap rumah di sekitar sana. “Mungkin sebaiknya besok aku enggak usah keluar rumah di jam segini. Buat jaga-jaga. Syukur-syukur tuh pemuda cuma iseng,” pikir Diana. Ketika Diana tak sengaja melihat pakaiannya yang memang masih agak basah, Diana mendadak teringat kata-kata pemuda tadi. “Pantas dia bilang begitu. Ternyata pakaianku memang basah.” Dan baru Diana sadari kedua lutut dan beberapa bagian kedua tangannya membiru dan mungkin efek karena jatuh. “Pantas, rasanya sakit semua.” Rasa sakit berikut lelah yang menguasai sekujur tubuh tanpa terkecuali hati Diana, membuat Diana ingin beristirahat secepatnya. Namun, kenyataan rumah yang belum Diana bereskan semua, teramat mencolok mata. Tentunya, Diana bisa kembali bermasalah dengan Romi jika ia sampai membiarkan rumah dalam keadaan berantakan. Meski Diana sadar, tanpa harus membuat masalah pun, dirinya akan selalu salah. Bahkan bisa jadi, bersama Romi dan tinggal di rumah Romi, Diana juga akan menemui ajal. **** Gedoran pintu bertepatan ketika Diana akan memasuki kamar mandi di dalam kamarnya, di mana Diana yang menghiasi pundak kanannya dengan handuk memang akan mandi, langsung membuat Diana putar balik. Diana melangkah menuju pintu dengan cukup terseok, mengingat pegal bekas jatuh yang disertai lebam di tubuhnya, terasa semakin parah. Dan yang membuat Diana harus melakukan segala sesuatunya dengan cepat, tak lain karena gedoran yang masih berlangsung, sangat keras sekaligus cepat. Penggedornya terkesan sudah sangat tidak sabar dan seolah akan melenyapkan Diana, detik itu juga ketika Diana membuka pintu. Romi. Sudah Diana duga, pelakunya memang masih orang yang sama. Orang yang selalu memperlakukannya dengan keji, padahal Romi sendiri mendapatkan banyak keuntungan setelah menikahi Diana. Tak hanya bisnis yang menjadi lancar, melainkan pekerjaan rumah yang beres dan membuat Romi tak harus keluar uang untuk membayar. “Gara-gara kamu, Milla nyaris keguguran! Awas saja kalau sesuatu yang fatal sampai terjadi ke Milla.” Nada bicara Romi terdengar mengancam. Sedangkan Diana yang sejak melihat sosok Romi sebagai penggedor pintu langsung menunduk, memilih diam. “Pastikan orang tua dan keluarga kita tidak ada yang tahu. Apa pun yang terjadi di rumah ini. Dan jika mereka bertanya aku di mana, katakan aku sedang keluar kota! Pastikan, mereka tahu kamu ada bersamaku. Jadi, jika telepon rumah sampai bunyi atau mereka datang ke sini, ... biarkan saja.” Diana tetap bungkam sama sekali tak merespons. Itu juga yang membuat Romi murka dan membentak Diana. “Sekejam-kejamnya majikan, bahkan orang yang sangat kaya sekelas sultan, mereka enggak asal main pukul kayak Mas, Mas.” Tak beda dengan ucapannya, Diana juga menatap Romi dengan tatapan tegas, lantaran pria itu nyaris kembali mengamuknya. Tangan kanan Romi dan terbilang kekar masih terangkat di atas kepala. Tak mau membuang-buang waktu untuk berurusan dengan Romi yang hanya semakin membuatnya terluka, Diana memilih menutup sekaligus mengunci pintu. Ia bersandar ke pintu dengan d**a bergemuruh. Kesal, muak, bahkan ingin lenyap, itulah yang ia rasakan. “Istri rasa pembantu!” gumam Diana yang bergegas menyeka air matanya. Pembantu? Bahkan pembantu jauh lebih berharga dari kamu! Sisi lain Diana berbisik, membuat Diana semakin berkecil hati, merasa bertahan hidup hanya sia-sia. Karena seandainya Diana bisa lepas dari Romi, kehidupan orang tua Diana yang mengepentingkan bisnis akan menarik Diana untuk menjalani pernikahan bisnis baru. Diana, Wanita yang Terluka ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD