Chapt 11. Unusual Feeling

1712 Words
---**--- Mansion Mr. Palguna, New York, USA., Pagi hari.,             Kicauan burung-burung mulai menyapa pagi yang indah. Sangat sejuk sekali, sebab tetesan embun masih enggan pergi dari dedaunan yang biasa mereka hinggapi.             Matahari memang belum sepenuhnya bercahaya. Namun terangnya sedikit membuat suasana pagi hari terlihat sangat indah.             Bayang-bayang warna orange langit menyorot indah di wilayah mansion pria berstatus Mafia. Mansion sederhana yang terletak di tengah-tengah wilayah itu, menjadi mansion utama yang tidak pernah terjamah oleh siapapun. Sekalipun pihak kepolisian, mereka tidak berani menyambangi mansion yang identik dengan kata mewah itu. Hanya satu alasannya, karena dia merupakan salah satu pria yang selalu dimintai bantuan oleh pihak kepolisian untuk mengungkap berbagai macam kasus, terutama kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan penggelapan dana. Dan tentu saja pria berstatus Mafia itu lihai dengan berbagai macam permainannya. Terutama menyembunyikan pekerjaan illegalnya dari berbagai tempat pendistribusian. Bukan karena mengejar kemewahan, tapi itu hanya hobi yang mereka jalani bersama pengusaha elit lainnya. … Kamar Enardo.,             Dari sisi kiri ruangan kamar, jendela dengan tirai panjang berwarna putih. Cahaya matahari masuk melewatinya. Ruangan gelap itu mulai sedikit terang.             Wajah pria berahang kasar itu menghadap ke arah sana. Tentu saja sinarnya sedikit mengganggu penglihatannya.             Dirinya hendak menggeliat, meregangkan tubuhnya. Sepertinya tidurnya sangat nyenyak sekali malam ini. “Eungghh …” Desahnya hendak menarik kedua tangannya ke atas. Hingga kepala terjatuh di bantalnya. Deg!             Kepalanya sedikit tegak dan tertunduk ke bawah. Kedua matanya mulai mengerjap perlahan. ‘Ah … dia masih tidur.’ Bathinnya bergumam dalam hati.             Dia lupa kalau Aishe seranjang dengannya. Terlihat tangan Aishe masih melingkar di tubuhnya. Dan wajah damai itu sedikit terhalangi oleh helaian-helaian rambut emasnya.             Tangan kanannya menyingkirkan itu. Dengan leluasa dia melihat wajah cantik alami itu. Dengkuran nafasnya sedikit membuatnya geli.             Oh sungguh, ini adalah pertama kalinya dia menikmati wajah wanita di pagi hari tanpa perasaan jijik atau apapun itu yang membuatnya hilang perasaan. Bahkan dia enggan melepas pelukan itu dari tubuh telanjangnya.             Mungkin dia merasa tubuhnya masing atau sangat dibutuhkan. Atau mungkin, dia yang menikmati pelukan dari tubuh mungil Aishe.             Dia merebahkan kepalanya kembali ke bantal. Masih membiarkan wajah yang terlalu nyenyak itu menempel di ketiaknya.             Sedikit senyuman yang tidak terlalu tampak, tercetak di kedua sudut bibirnya. Entah kenapa dia merasa hari ini adalah sejarah dalam hidupnya merasakan pagi yang sangat indah sekali.             Dia teringat sesuatu, tangan kanannya sedikit bergerak dan meraba area bawah ranjang dari sisi kanan. Menarik laci kecil yang ada di bawah sana. Dia meraba remote control yang merupakan pengatur segala ruangan ini, mengambilnya.             Jemari kanannya menekan tombol, dan mengarahkannya ke arah jendela kamar. Hingga tirai panjang putih disana bergeser otomatis.             Cahaya matahari sudah sepenuhnya masuk. Dia kembali meraba laci itu, mengambil telepon tanpa kabel. Dia menghubungi nomor dapur. “…” “Siapkan sarapan, bawa ke kamar saya …” “…” “Saya tidak tahu sarapan kesukaan Aishe, Pak …” “…” “Ya, karena dia di kamar saya …” “…” “Terserah …” “…” “Ya …” “…” Tutt…  Tutt… Tutt…             Dia memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Dan kembali meletakkan remote control ruangan serta telepon tanpa kabel itu ke dalam laci bawah ranjang.             Tubuhnya masih merasa malas beranjak dari baringannya. Ingin sekali dia berolahraga. Tapi jika dia bergerak, maka wanita berambut emas ini pasti ikut terbangun, pikirnya.             Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Tapi dia ingin sekali melihat kebiasaan bangun tidur wanita ini.             Saat ini, jarum jam menunjukkan pukul 06.45 waktu New York. Dan wanita yang akrab disapa Aishe, dia masih sangat nyenyak sekali.             Dia kembali tersenyum tipis. Dan sedikit memundurkan tubuhnya, agar lengan kanan Aishe tidak terlalu terjepit oleh tubuhnya.             Tangan kirinya kembali menyusup di bawah bantal mereka. Tubuhnya kembali miring ke kiri, tangan kanannya kembali memeluk Aishe.             Hidungnya kembali dimanjakan dengan aroma Lily dari rambut Aishe. Aroma yang dia tahu sangat disukai oleh Aishe.             Tidak terganggu jika rambut itu menghalangi wajahnya. Dia justru semakin menyusupkan wajahnya di puncak kepala Aishe. Kedua kakinya semakin menggesek-gesek dibawah sana.             Bukan nafsu, dia justru geram. Dia seperti tengah memeluk boneka hidup saat ini. Dan sialnya, setiap gerak-gerik boneka hidup ini selalu mampu merangsang libidonya hingga dia berkali-kali hampir lepas kendali.             Dia bersyukur, selama beberapa minggu dia tidak berada di mansion. Jika tidak, dia tidak tahu bagaimana nasib Aishe di tangannya.             Mengingat selama beberapa minggu terakhir, dia dihadapkan dengan berbagai macam masalah menguras otak. Dan biasanya, jika sudah begitu dia akan melampiaskannya dengan cara bercinta kasar. … 10 menit kemudian.,             Dia masih terjaga dalam pejaman kedua matanya. Namun telinganya masih menangkap suara dengan jelas.             Hentakan kaki dan stroli yang sepertinya baru saja masuk ke kamarnya. “Selamat pagi, Tuan Enar …” Sapa seorang pria yang merupakan Kepala Pelayan di mansion ini. Dia tentu mengenali suara itu. Tapi dia hanya diam saja, dan tidak berniat membalasnya. Posisinya masih terlalu nyaman untuk dialihkan dengan suara mereka yang datang ke kamarnya.             Kepala Pelayan, dan 2 orang maid wanita berjalan menuju kamar utama. Dan pria berusia senja itu, dia membuka suaranya. “Tuan, sarapan sudah siap … dimana semua ini akan saya hidangkan ?” Tanya Karan melihat Tuannya tengah tertidur nyenyak.             Keningnya berkerut saat melihat pria bertubuh polos itu memeluk seorang wanita. Terlihat jelas, sebab selimut hanya menutupi setengah tubuh mereka. Dia pikir, mungkinkah itu Aishe. “Letak saja disana.” Jawabnya bernada malas.             Dua maid itu saling melirik satu sama lain. Mereka melihat warna rambut panjang wanita yang tengah dipeluk oleh Tuan mereka. Apa benar itu Aishe, pikir mereka.             Mendengar jawaban Tuan Besarnya, Karan menganggukkan kepalanya. “Baik, Tuan.” Jawab Karan. Dia langsung mengarahkan mereka untuk menyusun semua makanan tepat di sofa kecil depan ranjang. “Mehra, letak disini saja.” Karan menarik stroli itu sedikit berjarak dari sofa. “Ah, maaf. Baik, Pak.” Jawab Mehra sedikit melirik ke arah ranjang. “Pelan-pelan.” Pinta Karan lagi. “Baik, Pak.” Jawan salah satu maid. Dia juga ikut melirik ke arah yang sama.             Karan memperhatikan objek pandangan mereka. “Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan lagi, Tuan ?” Tanya Karan tanpa melirik ke arah ranjang.             Enardo sempat diam selama beberapa detik. Dan dia kembali membuka suaranya. “Buka semua hidangannya.” Ucapnya lagi.             Karan menganggukkan kepalanya. “Baik, Tuan.” Jawab Karan.             Dua maid itu paham dan langsung membuka semua tudung saji. Namun mereka masih saling melirik satu sama lain. “Ada lagi, Tuan ?” Tanya Karan lagi. “Tidak.” Jawabnya singkat.             Karan menyuruh dua maid itu untuk segera pergi dari sana. “Baik, Tuan. Kami permisi.” Ucapnya sedikit menunduk hormat. “Hmm …” Enardo hanya menjawabnya dengan deheman tipis. Dan semakin memeluk Aishe. Membiarkan selimut menutupi tubuh mereka hanya sebatas pinggang.             Mereka lalu keluar dari sana. Namun Mehra, kedua matanya sedikit melirik ke arah ranjang. Tempat dimana Aishe masih memeluk Tuan Besar mereka dengan leluasa.             Tubuh seksi Tuannya, benarkah Tuannya dalam keadaan telanjang, pikirnya seraya bertanya-tanya. Apakah mereka benar-benar bercinta. Sungguh pikirannya sudah berbagai macam saat ini.             Pandangan matanya tidak terbaca. Dia tidak sadar, saat Kepala Pelayan menepuk pundaknya.             Dia langsung melihat Pak Karan dan sedikit menganggukkan kepalanya dalam senyuman tipis. Dia langsung menatap lurus ke depan. Dan menyeimbangi langkah temannya yang juga berprofesi sebagai maid. … Dapur.,             Mehra masih melamun sembari menyapu piring dengan kain kering. Pandangan matanya kosong.             Dan salah satu maid, memanggilnya dengan nada sedikit tinggi. “Mehra … kau sudah membereskan bagian meja makan ?” Tanya maid itu padanya.             Mehra sedikit terkejut. Dan langsung menggelengkan pelan kepalanya. “Tidak. Tuan Enar tidak sarapan di meja makan. Kami sudah mengirim sarapannya ke kamar.” Jawabnya bernada malas.             Maid itu sedikit mengernyitkan keningnya. Dia langsung merapikan posisi gelas-gelas kristal yang ada disana. “Oh begitu. Tapi aku mengira, dia akan turun ke bawah. Sudah lama sekali aku tidak melihat wajahnya yang tampan.” Ucapnya sedikit tertawa geli.             Beberapa maid lain yang berada disana, mereka juga ikut membenarkan apa yang baru saja dikatakan olehnya. Namun berbeda dengan Mehra yang hanya diam menanggapinya.             Dia masih terus melakukan kegiatannya. Telinganya masih bagus menangkap pembicaraan mereka disana. “Tapi tadi aku melihat Aishe tidur seranjang dengan Tuan …” “Oh ya ?” “Yang benar ?” “Apa kau tidak salah lihat ?” “Aishe yang polos begitu ?”             Mehra mendengus kesal. “Iya! Aku bersumpah! Bahkan dia tidur memeluk Tuan Enardo! Dia memeluk tubuh Tuan Enardo tanpa sehelai benangpun!” “Astaga …” “Apa yang mereka lakukan pagi ini ?” “Hey! Bukan pagi ini! Lebih tepatnya, apa yang mereka lakukan tadi malam!” “Tunggu! Tuan Enardo pulang jam dini hari, bukan ? Aku pikir Aishe sudah tidur!” “Kalian tidak tahu apa-apa! Mata kepalaku melihatnya sendiri tadi! Bahkan Tuan Enardo tidur memeluknya! Aku bersumpah, aku tidak salah lihat!”             Mehra berbalik badan, dan langsung membuka suaranya. “Apa kalian tidak punya pekerjaan lain ? Nanti jika Tuan Enardo mendengarnya, kita tidak akan selamat!” Ketusnya sedikit bernada kesal.             Mereka semua saling melirik satu sama lain. “Ada apa dengannya ?” “Hey, Mehra ? Kau ini kenapa ?” “Iya, kau lagi datang bulan ?” “Kami hanya penasaran Mehra. Kau beruntung tadi sempat melihatnya …”             Kepala Pelayan mendengar suara berisik dari arah ruangan perlengkapan dapur. Dia menggelengkan pelan kepalanya. “Aku pikir, pekerjaan kalian masih banyak.” Ucapnya seraya melerai mereka semua.             Mereka langsung menganggukkan kepalanya. Dan bubar dari sana. Tersisa hanya beberapa maid saja yang merapikan dapur khusus itu.             Yah, Karan melihat mereka. Namun pandangannya tidak terlepas dari sikap Mehra yang tidak seperti biasanya.             Dia berjalan mendekati lemari khusus pembukuan dapur. Dan membuka satu laci dari sana. “Kau baik-baik saja, Mehra ?” Tanya Karan tanpa melihatnya.             Mehra melirik Karan sekilas. “Ah, saya ?” “Tentu saya baik-baik saja, Pak. Apa ada yang harus saya kerjakan, Pak ?” Tanya Mehra masih melakukan kegiatannya.             Karan menggelengkan pelan kepalanya. “Tidak ada. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu.” Ucapnya lagi memutuskan pembicaraan mereka.             Mehra menganggukkan kepalanya. “Baik, Pak.” Balasnya singkat. … Kamar Enardo., Beberapa menit kemudian.,             Dia terus menggesek-gesek lembut kaki jenjangnya di bawah sana. Hingga wajah cantik alami itu semakin menyusup pada ketiaknya.             Kuluman senyum sedikit tercetak di wajahnya. Namun kedua matanya masih terpejam. “Morning.” Sapanya dengan suara serak. Deg!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD