Chapt 12. Intense Approach

2015 Words
“Morning.” Sapanya dengan suara serak. Deg!             Tiba-tiba detak jantungnya berdegup kencang. Kedua matanya mengerjap perlahan. Bayang-bayang kulit berada tepat di hadapannya. Aroma ini sungguh menenangkan pikirannya. Tapi dia sedikit mengingat suara tadi. Keningnya sedikit berkernyit. Kepalanya langsung terdongak ke atas.             Enardo juga ikut membuka matanya, dan melirik ke bawah. “Tidurmu nyenyak sekali, Nona.” Gumamnya pelan kembali menjatuhkan kepalanya disana.             Aishe langsung menegakkan tubuhnya, dan sedikit mundur ke belakang. Dia menarik selimut untuk menutupi bagian dadanya yang terbuka. “Eumhh … ma … maaf, Tuan. Saya telat bangun.” Gumamnya pelan merundukkan pandangannya ke bawah.             Enardo menatapnya dalam diam. Melihat ekspres Aishe yang berbeda saat dia damai dalam tidurnya.             Aishe, hidung menangkap aroma yang tiba-tiba membuat perutnya berbunyi.             Dan tentu saja Enardo mendengarnya. Dia langsung menegakkan tubuhnya. “Kau bahkan tidak perhatian terhadap cacing di perutmu.” Ucapnya lalu turun dari ranjang dan berjalan menuju sofa kecil yang ada disana. Dia mendaratkan bokongnya, dan sedikit melirik ke belakang.             Aishe membelalakkan kedua matanya melihat hidangan sarapan sudah tersedia disana. Dengan tergesa-gesa dia langsung turun dari ranjang. “Siapa yang menyiapkan ini ?” Dia menatap semua hidangan lengkap di troli makanan. Kedua tangannya mulai menggulung rambutnya ke atas, tanpa penjepit apapun.             Enardo menepuk tangan kirinya di sofa. “Duduk disini. Yang jelas di mansion ini tidak ada jin Aladdin.” Balasnya bernada cuek. Dia menurunkan stroli agar sejajar dengan tubuh mereka yang duduk di sofa. Setelah itu dia langsung mengambil peralatan makannya.             Aishe mengerucutkan bibirnya. Dan langsung duduk di sofa itu. Tapi dia teringat sesuatu, dan kembali beranjak dari duduknya. “Eumh, Tuan. Saya akan makan di dapur saja, bersama dengan yang lain.” Dia hendak berjalan mundur ke belakang. Dia segan jika harus makan bersama dengan Tuannya.             Enardo sedikit melirik ke kiri. “Aishe ?” Gumamnya pelan seraya menghentikan gerakan wanita berambut emas itu.             Ragu, namun Aishe langsung duduk kembali. Dia sedikit membuat jarak dengan Tuannya.             Enardo paham, tapi dia berpura-pura bodoh. “Aku tidak berselera dengan tubuhmu …” “Makanan ini jauh lebih lezat.” Ucapnya, mulai menyuap makanan yang ada di garpunya.             Aishe hanya diam dengan ekspresi wajah kesal. Dia masih diam saja. Hingga Enardo kembali meliriknya sekilas. “Apa perlu aku menyuapimu ?” Sindir Enardo saat melihat Aishe diam saja dan tidak mau ikut sarapan dengannya.             Aishe meliriknya. Gerakannya ragu, tapi tangan kanannya menjangkau pisau dan garpu yang ada disana.             Enardo yang masih mengunyah. Dia meletakkan pisau dan garpunya. Lalu mengambil pisau dan garpu untuk Aishe. “Pisau dan garpu ini tidak akan membunuhmu, Aishe. Kecuali aku.” Gumamnya pelan. Memberikan dua benda itu untuk Aishe. Glek!             Aishe meliriknya dengan kedua mata terbelalak sempurna. Tentu saja dia terkejut mendengar kalimat Tuannya barusan. “Tu … Tuan serius ?” Tanyanya dengan gugup.             Lagi-lagi Enardo harus menghela kasar nafasnya. Dia mengambil satu piring omelette disana. Dan mengambil satu daging sapi panggang. “Ya.” Jawabnya bernada dingin. Dia mulai memotong omelette dan daging milik Aishe. Dia tidak menghiraukan ekspresi Aishe yang sudah ada dalam bayangannya.             Aishe, seketika kedua tangannya melemas. “Jangan Tuan. Aku mohon …” Gumamnya pelan. Pandangannya semakin tertunduk ke bawah.             Selesai memotongnya, Enardo meletakkan piring itu di stroli makanan yang berada di hadapan Aishe. “Makan ini.” Ucapnya. Dia langsung beralih pada makanannya.             Aishe meliriknya lagi. “Eumh, Tu … Tuan ?” Dia ingin berucap lagi, namun disela cepat oleh Tuannya. “Kau ingin aku bunuh di ranjang, atau disini ?” Ucap Enardo sembari mengunyah makanannya.             Aishe mengernyitkan keningnya. Dia masih enggan memakan sarapannya.             Enardo menghentikan gerakan kedua tangannya. “Makan, Aishe! Jangan buat nafsu makanku hilang!” Ketusnya menatap lurus ke depan.             Aishe langsung menganggukkan kepalanya. “Aahh … i … iya, Tuan.” Jawabnya gugup. Dia langsung memakan makanannya.             Enardo melirik gerakan kedua tangannya. Dia sedikit tersenyum tipis, melihat wanita berambut emas itu mulai memakan sarapannya. “Saus itu, favoritku.” Ucapnya sambil mengunyah.             Aishe melirik saus yang ditunjuk oleh Tuannya. “Warnya berbeda, Tuan.” Jawab Aishe dengan mulut penuh makanan.             Enardo meliriknya sekilas. “Yah. Saus itu favoritku sejak kecil …” “Apa itu resep dari Ibu Tuan ?”             Mendengar pertanyaan Aishe, dia sedikit melambatkan gerakan kedua tangannya.             Aishe meliriknya sekilas, tanpa perasaan apapun.             Enardo, dia mengendikkan kedua bahunya ke atas. “Yah. Resep sausnya, hanya Pak Karan yang bisa membuatnya.” Jawabnya lagi.             Aishe sedikit tersenyum tipis. Tiba-tiba saja dia teringat dengan almarhum orang tuanya. “Almarhum Ibu juga punya resep makanan yang aku suka. Nasi goreng dan teh buatannya, sangat nikmat sekali.” Nadanya begitu lirih. Namun dia terus menikmati sarapannya.             Enardo sedikit meliriknya. “Teh yang kau buatkan untukku ?” Tanyanya hendak mengalihkan perasaan Aishe saat ini.  Tapi sialnya, dia sedikit menangkap belahan d**a Aishe yang tiba-tiba membuat syahwatnya bergerak. ‘Apa-apaan ini!’ Bathinnya mengumpat kesal. Sungguh dia tidak menyukai keadaan Aishe yang seperti ini.             Mendengar pertanyaan Tuannya, Aishe menganggukkan kepalanya. “Iya, Tuan … Itu resep dari Ibuku.” Jawabnya lagi. Dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Dan sekarang sampai seterusnya, aku tidak akan lagi merasakan makanan atau minuman buatannya lagi.” Dia sedikit tertawa pelan.             Enardo hanya menganggukkan kepalanya saja. “Kau terbiasa berpakaian seperti ini saat tidur ? Atau saat diluar, kau juga seperti ini ?” Tanya Enardo mengalihkan pembicaraan. Dia sedikit mencolek saus favoritnya dengan daging yang ada di garpunya.             Aishe kembali tertawa pelan. “Iya, Tuan. Saat tidur, aku memang selalu seperti ini. Karena aku tidak betah memakai piyama saat tidur. Rasanya tidak bebas.” Jawabnya dengan nada sedikit riang. Dan direspon anggukkan kepala oleh Enardo. Tapi dia masih melanjutkan kalimatnya. “Tuan juga ?” “Apa Tuan seperti ini saat tidur ?” Tanya Aishe tanpa melihat Enardo.             Tiba-tiba saja dia menyeringai. “Ya … selalu seperti ini. Jika tidak terpancing.” Jawabnya sedikit ambigu. Aishe meliriknya dengan wajah bingung. Enardo tidak mau membalasnya lagi. Entah kenapa, dia merasa sarapan pagi ini sangat nikmat sekali.             Aishe meliriknya sekilas. “Nafsu makan Tuan sangat kuat ya ternyata.” Ucap Aishe sedikit tertawa geli. Sebab Tuannya sangat lahap sekali.             Enardo mengendikkan kedua bahunya ke atas. “Semua nafsuku kuat.” Jawabnya singkat.             Aishe meliriknya, keningnya berkerut. “Semua nafsu ?” Tanya Aishe seakan tidak membutuhkan jawaban.             Dia sudah menghabiskan makanan di piringnya. Dan tidak berniat menyentuh makanan lain yang ada disana. Dia mengambil satu gelas jus miliknya, dan langsung meneguknya sampai habis.             Aishe diam melihatnya, sembari mengunyah makanannya.             Enardo memilih diam. Selesai dari acara sarapannya, dia langsung berdiri. Dan melangkahkan kakinya menuju meja kerjanya yang ada disana untuk memeriksa ponselnya. “Aku mau mandi.” Ucapnya seraya memberitahu Aishe.             Aishe melihat gerakan Enardo, namun masih tetap melanjutkan sarapannya.             Enardo kembali melanjutkan kalimatnya. “Kau tidak perlu memakai pakaian maid lagi. Dan bisa memakai pakaian bebas.” Dia kembali memberi perintah. “Kenapa begitu, Tuan ?” Tanya Aishe begitu polos, menyuap makanan terakhirnya.             Selesai mengotak-atik ponselnya, dia berbalik badan dan kembali melangkahkan kakinya hendak pergi menuju kamar mandi. “Karena kau bekerja untukku. Bukan untuk mansion ini.” Jawabnya santai.             Aishe melihat Tuannya mulai menghilang dari balik tembok pembatas. Namun sejak tadi, pandangannya tak luput dari lekukan tubuh seksi penuh bulu-bulu halus disana. Serta sesuatu yang besar, bahkan dia melihatnya dengan jelas. Benda itu hampir terlihat ke atas, dari balik celana dalam ketat itu.             Dia langsung melepas pandangannya. Dan segera meneguk jus miliknya. ‘Hentikan pikiran kotormu, Aishe!’ Bathinnya kesal terhadap pikirannya saat ini. Dia pikir, lebih baik jika dia segera bergegas mandi. Sebelum Tuannya selesai mandi, dia sudah harus selesai berdandan. Dan ini adalah hari pertamanya melakukan tugasnya. Selagi Tuannya berada di mansion, pikirnya. … Kamar mandi.,             Guyuran air jatuh dari atas. Kedua tangannya masih bertopang pada dinding bermotif, berlapis keramik. Dia masih merundukkan kepalanya ke bawah.             Telinganya sedikit mendengar sesuatu dari sisi kamar mandinya. Dia segera mengecilkan volume air.             Senyuman tipis tercetak di kedua sudut bibirnya. Dia tahu kalau Aishe pasti tengah mandi. Ingin rasanya dia mengerjai Aishe sekarang. Masuk ke kamar mandinya melalui dinding rahasia mereka.             Dia menggelengkan pelan kepalanya. Mengingat Aishe belum terbiasa dengannya. Dia pikir, dia harus membuat Aishe terbiasa dengan mansion ini. Agar wanita itu tidak terkejut saat dirinya tiba-tiba membuka pintu dinding mereka yang ternyata saling terhubung satu sama lain.             Enardo, dia pikir dia harus sedikit melambatkan waktu mandinya. Sembari menunggu Aishe selesai. Karena dia tahu, Aishe pasti akan terburu-buru karena mau melakukan pekerjaannya. … Walk in closet.,             Enardo tidak biasa berbuat apa-apa saat wanita bergaun putih di hadapannya mulai merapikan dasinya. Tapi dia cukup memujinya pintar, sebab dia lihai memasang dasi dengan rapi. Setelan yang diberikan Aishe juga lumayan bagus, pikirnya.             Mereka duduk saling berhadapan. Dan Aishe menutup kegiatannya dengan mengancing jas hitam kebiruan Tuannya. “Selesai!” Ucapnya semangat. Dia lalu beranjak dari duduknya. Dan berjalan mendekati meja rias milik Tuannya yang ada di sudut sana.             Enardo mengernyitkan keningnya. ‘Apa lagi yang mau dia lakukan ?’ Bathinnya seraya bertanya-tanya. Tapi dia masih diam duduk di kursinya, menghadap cermin besar disana.             Dia tidak habis pikir, ruangan pakaiannya sudah berubah sejak terakhir dia lihat. Sebab sudah ada meja rias terbuka dengan segala barang-barang yang sebenarnya tidak dia butuhkan.             Kehadiran Aishe merubah kamar pribadinya, pikirnya lagi.             Aishe kembali mendekati Tuannya. “Tuan … maaf ya. Saya mau merapikan rambut Anda dulu.” Ucapnya hendak memberikan vitamin di rambut Enardo.             Dia sedikit menghindar dan mencekal kedua tangan Aishe. “Mau kau apakan kepalaku ?” Tanya Enardo dengan kening berkernyit.             Aishe tersenyu manis. “Tuan, ini hanya vitamin rambut. Seperti minyak rambut pria pada umumnya. Tapi ini sangat bagus untuk rambut Anda, Tuan.” Jawabnya polos.             Enardo melepaskan cekalan tangannya. Dan membiarkan Aishe menyentuh kepalanya. ‘Apa-apaan ini! Berani sekali dia menyentuh kepalaku!’ ‘Apa dia belum pernah merasakan peluruh menancap di jantungnya ?!’ Bathinnya mengumpat kesal. Rahangnya sudah mengeras. Dia berusaha mengatur nafasnya saat ini.             Tidak hanya itu, sialnya aroma tubuh Aishe sangat menyengat di indera penciumannya. Pakaian tipis sebatas paha yang dia pakai sungguh menggoda imannya, lagi dan lagi.             Hempasan wangi Lily dari rambut panjangnya, sungguh membuat dirinya hampir lupa diri kalau wanita yang ada di hadapannya bukan seorang jalang. Ubun-ubunnya mulai panas. “Apa masih lama ?” Tanyanya santai.             Aishe masih terus menyisir rambut Tuannya dengan kedua jemarinya. “Sebentar lagi selesai, Tuan.” Jawabnya, tanpa sadar bahwa bagian dadanya berada tepat di wajah Enardo.             Kedua matanya masih terpejam, selama d**a mungil itu berada di hadapannya. ‘Kau harus waspada, Enar! Masih banyak jalang di luaran sana, okay!’ Dia berusaha menyemangati dirinya sendiri. “Selesai!” Aishe mundur ke belakang. “Hahh!” Dia bernafas lega. Sebab dirinya kurang bernafas sejak tadi. “Kenapa, Tuan ?” Tanya Aishe mengambil sisir yang ada di dekatnya, di meja rias itu.             Enardo hanya diam saja, tidak mau merespon dalam bentuk apapun.             Aishe kembali menyentuh rambut Tuannya. Dan menyisirnya rapi. “Saya tidak tahu bagaimana selera rambut Anda, Tuan.” Ucapnya sembari mencari gaya rambut yang cocok untuk Tuannya. “Selera rambutku hanya kau!” Gumamnya sepelan mungkin. “Apa, Tuan ? Bagaimana, Tuan ? Saya tidak dengar ?” Tanya Aishe serius masih menata rambut hitam sedikit berwarna itu.             Enardo hanya diam saja, sampai Aishe selesai menata rambutnya. Entah lah, dia tidak mau banyak bicara. “Selesai, Tuan. Coba Anda lihat. Jika kurang suka, Anda bisa mengganti sesuai keinginan, Tuan.” Jawab Aishe mempersilahkan Enardo untuk berkaca diri disana.             Enardo mulai menghadap cermin disana. Masih duduk di kursinya, dia melihat-lihat rambutnya, sedikit menyentuhnya. ‘Ternyata aku tampan juga.’ Bathinnya bergumam dalam hati. “Kau naik jabatan menjadi penata rambutku mulai hari ini.” Gumam Enardo lalu berdiri.             Aishe tersenyum puas. “Syukurlah jika Anda puas, Tuan.” Balas Aishe, dia berbalik badan dan hendak membereskan barang-barang yang ada di meja rias. Namun kedua tangannya tercekal, hingga sisir yang dia pegang terjatuh ke lantai.             Enardo membalik tubuh mungil itu. “Hhmmppphhtt…”             Dia menahan tubuhnya, terjebak di meja rias. Nafasnya memburu. Lidahnya terus bermain di dalam sana. Sangat lembut, dia menghisap bibir manis berlapis Cherry. Desahan tipis yang keluar dari sana, membuatnya gila. “Eeuungghhh …  hhmmpphhhtt…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD