Case 7
Chihaya dengan putus asa berdoa dan berharap ia mendapat kesempatan untuk pergi dari sana tanpa diketahui oleh mereka. Keita pasti mencari dan menunggunya saat ini, Chihaya tidak boleh menjadi lemah sekarang. Demi Keita, Chihaya mengumpulkan tekad dan keberanian. Ia harus meloloskan diri dan meminta bantuan pada regu penyelamat.
Chung Ryeol dan pria misterius itu sama-sama kuat secara fisik, mereka imbang. Berusaha mengunci pergerakan lawan dengan saling menangkap baju dan tangan satu sama lain. Beradu pandang amat dekat hingga selisih jarak tersisa hanya 30 cm di antara keduanya.
“Tempat ini sudah dikepung, hanya masalah waktu komplotanmu tertangkap dan ditundukkan.” Gertak Chung Ryeol.
“Aku tahu itu b******k!” Pria itu melepas cengraman tangannya dengan bantingan ke samping, lalu menendang Chung Ryeol dengan keras hingga terdorongnya mundur. “Kau yang memanggil mereka, rekan-rekan tim sialanmu itu!” Keduanya sama-sama kehabisan napas dan energi. “Hahaha! Dan kau salah besar, komplotanku kau bulang? Mereka hanya sampah tidak berguna!” Pria itu memungut pistol yang semula terabaikan di lantai deck kapal. Chung Ryeol menyadari pergerakan itu dan dengan mengerahkan tenaga yang tersisa ia segara menghindar. Sayangnya peluru panas tetap mencederai tangan Chung Ryeol, yang semula bidikan moncong senjata itu mengarah pada bagian jantungnya. Darah segar mengalir dari luka tembakan, Chung Ryeol masih bisa menahan sensasi peluru panas dan rasa sakit yang menembus tubuhnya.
Pada saat itu Chihaya mengambil kesempatan untuk lari pergi menjauh dari sana. Semula tujuannya adalah untuk mencapai deck bawah kapal dan meminta pertolongan. Chihaya sama sekali tidak akan mengira bahwa Chung Ryeol sempat melihat sosoknya saat melarikan diri. Dan Chung Ryeol sangat hafal dengan ciri-ciri Chihaya karena sosok itu yang sepanjang waktu menjadi salah satu alasan Chung Ryeol menyisir seluruh bagian kapal. Tapi sosok pria di hadapan Chung Ryeol saat ini juga merupakan alasan penting lainnya. Ia harus mencari tahu pihak dari mana pria ini berasal atau pun identitasnya.
“Pertunjukkan berakhir. Saatnya untuk pergi.” Gumam pria itu menarik pelatuk senjata, bersiap melepas anak peluru berikutnya. Kali ini ia pastikan tidak akan meleset dari sasaran. Namun berapa kali pun dicoba, tidak ada yang terjadi. Amunisi senjata itu telah habis, tidak heran karena memang mereka telah menggunakan semua peluruh diawal. “Sial!!” Dibantingnya senjata itu kesal.
Chung Ryeol terkekeh sinis. Senjata yang dipungut pria itu adalah senjata milik Chung Ryeol dan tentu saja ia sangat hafal berapa anak peluru yang terisi dan sudah ditembakkan. “Kau tidak bisa lari!” Saat ini kapal pasti telah berhasil dikuasai oleh personil pasukan yang dikerahkan oleh atasannya sebagai bala bantuan.
“Ada banyak cara untuk melenyapkanmu dipertemuan kita selanjutnya. Dan ada banyak cara untuk pergi dari sini.” Pria itu memanjat palang pembatas kapal, lalu tanpa ragu melompat terjun ke air.
Chung Ryeol tidak menduga lawan begitu bertekad kabur sampai memilih cara seperti itu. Chung Ryeol mencari jejak pria tadi yang melompat, tapi tidak dapat ditemukan. Di permukaan air hanya ada sisa buih air laut bekas tanda sesuatu yang besar dan bobot berat jatuh di sana. Dengan tangan terluka sangat beresiko bila Chung Ryeol mengejarnya. Pada titik itu ia kehilangan jejak musuh. Sementara peringatan deru sirene sejak terjadi ledakan besar masih terus terdengar. Chung Ryeol dapat melihat personil pasukan lain sudah memulai langkah evakuasi. Ah masih ada satu hal lagi tersisa, menangkap saksi mata. Lalu salinan dokumen yang hilang, untuk saat ini setidaknya Chung Ryeol bisa memastikan dokumen itu tidak jatuh ke tangan musuh.
“Aku ingin kau pastikan untuk mengamankan seorang wanita dengan ciri-ciri...” Chung Ryeol deskripsikan sosok Chihaya sedetail mungkin, terutama poin penting yang bisa mengenali dan membedakannya dengan mudah dari penumpang lain. Gadis Asia memiliki rambut lurus hitam panjang. “Gunakan cara apa pun bila diperlukan!” Perintah Chung Ryeol pada rekan evakuasi lewat sambungan komunikasi mereka.
***
Seluruh penumpang yang semula ditawan berhamburan panik melihat gumpalan awan hitam naik semakin tinggi yang berasal dari lambung kapal, menandakan keberadaan api di sana. Mereka saling dorong dan berdesakan untuk turun ke deck lantai terbawah. Suara sirene peringatan darurat masih terus tersiar ke seluruh penjuru kapal, mengisi di tengah ketakutan dan huru-hara penumpang berlari menyelamatkan diri sendiri. Kecurigaan penumpang pada suara ledakan keras dan guncangan hebat yang terjadi sebelumnya kini jelas menandakan bukan hanya aksi teror dan p**********n yang sedang terjadi. Apalagi terdengar suara instruksi untuk segera evakuasi membuat kepanikan semakin membesar.
“Satu persatu... Tolong ikuti intruksi petugas!” Teriakan yang sama terus berulang dari lisan regu penyelamat yang tengah memimpin jalannya evakuasi penumpan kapal. “Saudara-saudara sekalian jangan panik! Tolong jangan panik!” Dengan suara keras dan tetap menggunakan nada tenang saat bicara pada kerumunan penumpang. “Tetap tenang, jangan saling dorong! Tolong sekali lagi ikuti intruksi petugas!”
Chihaya adalah salah satu dari mereka yang sudah berada di deck bawah kapal sejak tadi. Dalam kerumunan itu Chihaya tidak perduli pada baris antrian evakuasi. Ia hanya tanpa sadar terbawa arus karena dorongan dari orang yang berada di belakangnya, semakin maju mendekat untuk giliran naik ke perahu penyelamat. Pandangan mata Chihaya terus sibuk mencari di antara kerumunan orang sosok adik laki-lakinya yang keberadaan hingga kini belum diketahui. Chihaya sudah mencari ke segala penjuru pandangan matanya tapi kehadiran Keita tidak terlihat sama sekali.
“Berikutnya, silahkan naik.” Perintah petugas pada dua orang baris antrian di depan Chihaya.
“Pemisi! Pak, permisi!” Teriak Chihaya memanggil petugas evakuasi. “Adikku masih belum naik perahu penyelamat, adikku masih berada di atas kapal.” Ucapnya panik, Chihaya takut harus naik ke atas perahu penyelamat tanpa bersama adiknya. Lebih menakutkan lagi karena Chihaya belum mengetahui keberadaan Keita saat ini. “Seseorang tolonglah... Aku harus mencari keberadaannya, aku tidak bisa ikut pergi! Aku harus mencarinya!” Teriakan panik Chihaya tak kunjung berhenti di tengah situasi eksekusi penyelamatan penumpang kapal. Lirih suara Chihaya terdengar hampir menangis, tatapan matanya nanar meminta pertolongan siapa pun yang mendengar.
“Nona tolong tenang dulu! Sekarang ini dalam situasi darurat!” Seorang petugas yang lain datang merapat menenangkan Chihaya. “Rekan kami yang lain akan memastikan semua penumpang selamat dan diangkut dengan perahu penyelamat lain. Percayalah!” Petugas itu menangkap sebelah bahu Chihaya. “Saat ini yang terbaik nona lekas naik ke perahu. Penumpang lain menunggu untuk naik juga.” Paksanya dengan kekuatan fisik mendesak Chihaya untuk naik ke atas kapal.
“Tidak! Aku akan tetap tinggal, aku akan naik bersama adikku!” Tegas Chihaya menolak.
“Tolonglah mengerti nona! Keselamatan semua orang adalah perioritas kami tanpa terkecuali satu orang pun.”
“T-Tapi...” Chihaya merasa tidak enak pada penumpang lain yang berbaris dalam antrian, meski masih panik dan cemas dengan keberadaan adiknya. “K-Kalau begitu saya akan naik perahu yang berikutnya. Ijinkan saya untuk tetap tinggal, kumohon!”
“Nona tolonglah, tidak ada waktu lagi. Tolong jangan mempersulit dan menghalangi tugas kami.” Ucap petugas lain di tepian kapal seraya membantu Chihaya untuk naik ke sekoci penyelamat. Wajah Chihaya memelas pengertian dan belas kasih petugas, namun itu tidak berhasil. Semakin ia memohon, semakin Chihaya terdesak oleh waktu. “Nona harus percaya, adik anda akan baik-baik saja. Bisa saja adik nona sudah naik perahu penyelamat lain lebih dulu, anda harus yakin. Sampai bertemu di daratan!” Kata terakhir petugas pada Chihaya yang telah berada aman di atas sekoci. Berharap dengan bekal perkataan itu Chihaya bisa merasa sedikit tenang.
Saat perahu penyelamat Chihaya bergerak semakin menjauh, baru dapat terlihat seberapa serius kapal yang mereka tumpangi mulai tenggelam perlahan seolah ditelan lautan. Melihat pemandangan itu semakin suram dan pucat wajah Chihaya, terbayang nasip Keita yang mana ia yakini masih berada di atas kapal. Chihaya mulai menangis seraya tidak henti berharap, berdoa keselamatan untuk adik satu-satunya. Menyalahkan diri karena tidak melindungi Keita, meninggalkannya seorang diri. Baik itu sekarang atau pun saat di deck utama kapal, semua adalah kesalahan Chihaya. Semua yang terjadi dan Chihaya lalui hari ini terasa bagai neraka dan mimpi buruk, ya Chihaya sungguh berharap ini semua hanya sekedar mimpi buruk.
***unsolved