1

2251 Words
“Maretha Dwi Sartika!!” Pak Hanafi-guru Fisikaku yang sangat galak itu lagi-lagi mendatangi bangkuku. Dengan kasarnya dia membuka headphone yang aku kenakan. “Bapak kan sudah bilang, dilarang pakai headphone selama pelajaran. Kamu mengerti?” Pak Hanafi kembali mengeraskan suaranya. Rasanya telingaku hampir budeg karenanya. “Pak, saya dengar kok apa yang bapak terangkan. Saya perlu headphone ini, Pak!” aku mencoba bersikap sopan pada pak Hanafi. Pak Hanafi tampak geram, kumisnya yang bak kumis ikan lele itu bergerak naik-turun membuatku nyaris tertawa. “Sungguh? Coba kamu jelaskan apa yang baru saja saya terangkan!” Pak Hanafi menantangku. Sepertinya dia tidak percaya. Aku hanya memandang bosan ke guru Fisikaku yang rambutnya botak setengah itu. Sepertinya hidupnya sangat sengsara, keriput di matanya selalu bertambah setiap hari. “Ayo, cepat terangkan!” ujar pak Hanafi tidak sabaran. “Momentum juga dinamakan jumlah gerak yang besarnya berbanding lurus dengan massa dan kecepatan benda. Suatu benda yang bermassa m bekerja gaya F yang konstan, maka setelah waktu Dt benda tersebut bergerak dengan kecepatan.” “Perlu saya lanjutkan, Pak?” tanyaku sambil senyum, menyindir pak Hanafi yang mulai kehilangan kata-kata. “Ya sudah, saya ijinkan! Kali ini saja, lho! Kali ini saja!” kata pak Hanafi lalu mulai maju ke depan kelas untuk melanjutkan menerangkan materi. Aku menghela napas dan memasang kembali headphone-ku. Sebenarnya, aku melakukan ini bukan untuk style atau ingin tampak keren. Ini karena suara-suara putus asa dari banyak orang yang bisa aku dengar meski jaraknya berpuluh-puluh KM. Hal itu membuat hidupku jadi terganggu dan kacau. Karena itulah dari awal, aku sudah memutuskan untuk hanya membantu satu orang tiap hari. Yang penting, aku dapat melaksanakan tugasku dan menghindari kematian. Oleh karena itu, aku sangat membutuhkan headphone ini. Bel istirahat berbunyi, aku segera melangkahkan kakiku keluar kelas. “Tika!” Panggilan itu membuatku menoleh. Seorang cowok mendekatiku dengan berlari kecil. Rambutnya agak panjang, sengaja ia ikat dengan karet bagian depannya sehingga jadi tampak lucu sekali. “Adam.” “Mau ke kantin bareng?” ajaknya sambil senyum. “Ditraktir kan?” kataku balik nanya. “Ok.” katanya menyanggupi. Kami pun mulai jalan menuju kantin. Adam Trisakti Alamsyah adalah sahabatku sejak kecil. Meski rada tengil, dia sahabat yang baik. Wajah ganteng, tajir tapi sayang playboy. Pacarnya bertebaran dimana-mana, nyaris hampir di semua SMA di kotaku ada pacarnya Adam. Anehnya, dia tidak pernah ketahuan. Adam membawa dua mangkok bakso dan duduk di sampingku. “Tik, uangku mepet. Minumnya beli sendiri ya!” katanya sambil nyengir. Aku hanya mengangguk pasrah. “Uangmu kemana? Katanya cowok tajir?” sindirku. “Biasa, cewekku kebanyakan jadi uang cepet habis. Belum lagi aku harus memodifikasi sepeda motorku.” kata Adam santai. Tidak ada tanda-tanda dia malu karena udah bongkar aib sendiri. “Ngomong-ngomong, tadi malam kamu kemana?” tanyanya penasaran. “Ada urusan,” jawabku singkat. Adam hanya mengangguk-nganggukan kepalanya, enggan bertanya lagi. Dia hanya fokus makan bakso di depannya. Sebenarnya tadi malam, aku sedang belajar bareng Adam. Meski tengil, sahabatku ini-meski ogah aku akui, sangat pandai di beberapa mata pelajaran eksak seperti matematika, fisika, biologi dan kimia. Bisa dibilang dikategorikan genius karena aku nyaris tidak pernah melihatnya belajar kecuali aku ajak. Namun, aku kembali harus melaksanakan ‘tugas’ku. Panggilan itu berasal dari seorang nenek yang tinggal di rumah paling ujung dari perumahan dekat rumahku. Nenek itu sudah menginjak usia senja dan memang sudah tiba waktunya untuk tutup usia. Ketika aku mendatanginya di detik terakhirnya, nenek itu mengajukan permintaan yang mengejutkan. Dia hanya ingin aku menggantikannya untuk merawat kucingnya. Itu adalah permintaan paling mudah selama setahun aku jadi helper. “Eh, si cupu lewat!” Tiba-tiba Adam mencemo’oh seseorang. Aku melihat cowok yang dia cemo’oh. Seorang cowok dengan kacamata tebal, badan tinggi dan kurus, wajahnya lumayan tampan meski dia cupu parah. “Cupu, cupu!” Adam mulai jail. Cowok itu tidak merespon. Dia terus saja berjalan seperti robot, lurus saja. Kesan pertamaku ketika melihatnya, kematian. Aku memiliki firasat kalau akan terlibat dengannya. *** Aku melangkahkan kakiku dengan ragu-ragu menuju rerumputan lebat yang terletak di bawah jembatan. Suara gemericik air sungai yang juga mengalir di bawah jembatan itu membuat suasana malam ini semakin seram. Sejam lalu, aku mendapat telpon dari Adam. Karena sedang mandi, aku tidak menjawab telpon darinya. Aku sudah mencoba untuk menghubunginya, tapi handphone-nya tiba-tiba tidak aktif. Jadi aku putuskan untuk menemuinya langsung. Berdasarkan lokasi terakhir yang dia share, dia berada di kafe dekat sini. Ketika aku mendatanginya, Adam sudah tidak ada. Aku malah mendengar suara minta tolong. Anehnya, aku tidak bisa menggunakan kemampuan reader (melihat kebaikan dan keburukan orang yang akan aku tolong)-ku padanya. Ketika aku mencoba membacanya, kosong. Tidak ada yang terlihat, jadi aku memutuskan untuk mendatanginya. Aku berjalan makin mendekati sesosok tubuh yang terbaring telentang itu. Pisau belati menancap di sekitar jantungnya, satu cm melenceng dari jantungnya. Seandainya tidak meleset, tikaman itu akan langsung membunuhnya. Aku berjongkok di dekatnya. “Tolong,” dia kembali berbisih lirih. Sepertinya dia menyadari keberadaanku. Suaranya yang lirih tak terdengar karena tertelan oleh suara air dan suara angin malam. Aku menyeka rambut yang menutupi wajah cowok itu. Deg! Dia cowok yang di kantin. Si cupu. “Kamu Shinigami (malaikat maut)?” tanyanya ketika melihatku. Aku menghela napas berat. Pertanyaan seperti itu selalu saja meluncur dari setiap klien yang aku datangi. Seputus asa itukah dia? “Aku berharap bisa jadi Shinigami sayangnya aku hanya seorang helper,” jawabku. “Jadi, apa permintaan terakhirmu?” tanyaku to the point. Cowok itu menghembuskan napas pelan, seolah mencoba mempertahankan sisa-sisa hidupnya yang mulai meredup. “Apa kamu akan mengabulkan apapun permintaanku?” Aku mengangguk. “Kamu tidak bisa hidup lagi. Aku hanya bisa menyembuhkan orang yang memang belum waktunya mati.” Aku mempertegas padanya. Aku takut dia akan memintaku untuk memperpanjang hidupnya.  “Selain itu, meski kamu selamat. Setelah aku kabulkan permintaanmu, kamu tetap akan mati.” Aku tidak memiliki kemampuan untuk mencegah kematian seseorang yang sudah ditakdirkan untuk mati.  Ada tanda hitam di keningnya, itu artinya ini memang sudah waktunya dia mati. Jadi, aku tidak bisa mencegah kematiannya. Aku hanya bisa menundanya hingga permohonannya aku kabulkan. Itupun maksimal, hanya 7 hari. “Kalau begitu, aku ingin mati setelah menemukan pembunuhku!” Aku membeku. Sepertinya akan butuh banyak waktu untuk mewujudkan permohonannya. Tanda di keningnya memudar setelah aku menyanggupi permintaaanya. Muncul 7 tanda bintang di telapak tangan kanannya. Cowok itu kembali hidup seolah tidak terjadi apapun padanya. “Kita punya waktu 7 hari untuk menemukan pembunuhmu. Jika kita gagal, kita berdua akan mati.” *** Aku melangkah pelan menyusuri koridor sekolah dengan seorang cowok berjalan di sampingku. Aku menggeser letak headphone-ku dan memandang lurus ke depan, mengacuhkan berbagai pasang mata yang menatap aneh ke arahku. Cowok itu berhenti membuatku seketika menghentikan langkahku. Aku menoleh ke arahnya yang ternyata sudah tiba di kelasnya. “XI IPA-2,” kataku lirih, membaca papan nama kelas yang terletak di atas pintu. Aku mengarahkan pandanganku ke cowok berkacamata yang sedang berdiri di depanku. “Satrio Dewantara,” kataku membaca nametag di seragamnya. Cowok berkacamata itu tersenyum. “Panggil saja Rio. Jangan ragu begitu, Tika!” pintanya. Aku hanya mengangguk lalu tersenyum kecil. “Kita akan bicara lagi nanti,” ujarku pada cowok itu lalu melangkahkan kakiku lagi menuju kelasku. Aku pergi meninggalkan cowok berkacamata yang kini bukan lagi berstatus sebagai si cupu tetapi sebagai klienku. “Tik! Tika!” Adam berteriak memanggilku. Aku menoleh kearahnya. Dengan napas terengah sahabatku itu langsung menyerangku dengan banyak pertanyaan yang membuat kepalaku puyeng. “Aku dengar kamu berangkat bareng si cupu ya? Kamu bahkan juga boncengan dengannya naik sepeda motor. Apa benar rumor kamu pacaran dengannya? Hot-nya lagi, kemarin malam juga temanku memergokimu berduaan dengannya, berjalan menyusuri sungai dan.” Aku mencengkram kedua pundak Adam. “Siapa? Siapa temanmu yang melihatku dan si cupu di sungai? Siapa?” tanyaku dengan serius. “Tik, lepasin! Sakit!” rintih Adam. Aku tersadar dan melepas cengkraman tanganku yang terlalu keras menekan bahunya. Adam langsung menghela napas lega ketika aku melepaskan cengramanku, sahabatku itu tampak kebingungan dengan sikapku yang berubah mendadak. “Siapa nama temanmu?” tanyaku sekali lagi. “Dion, dia temen di geng balapku. Kenapa? Kamu takut dia menyebar gosip kalau kamu pacaran dengan si cupu?” tanya Adam. Aku menggeleng pelan. “Boleh aku meminta kontaknya? Aku ingin bertemu dengannya,” kataku dengan memasang muka serius sekaligus senang. Mungkin saja ini bisa menjadi petunjuk siapa pembunuh si cupu. “Hah? Kamu mau jadi playgirl? Jangan, Tik! Cukup aku aja yang terkenal sebagai playboy.” kata Adam salah paham. Aku menatap kesal ke arah Adam. “Aku tidak bermaksud memacarinya. Hanya saja ada yang ingin aku tanyakan padanya!” sanggahku mematahkan dugaan Adam yang tak berdasar itu. “Oo.”Adam membeo. “Eh, ngomong-ngomong semalam kamu kemana?” tanyaku penasaran. “Kamu yang kemana, aku nungguin kamu sampai berjamur tetapi kamu tidak ada,” jawab Adam balik nanya. “Lho? Aku datang, kok tetapi kamu tidak ada,” elakku. Adam mengernyitkan kening. “Aku tidak kemana-mana,” ujar Adam bingung. Aku terdiam. Apa iya Adam semalam ada di kafe? Kalau iya, kenapa aku tidak bertemu dengannya? Apa mungkin sahabatku ini berbohong? “Tik, kamu serius pacaran dengan si cupu?” tanya Adam. Aku terdiam sebentar lalu mengangguk lemah. “Hah? Kenapa? Sejak kapan?” tanya Adam kaget. “Sejak semalam,” jawabku. Aku pun berjalan lagi, melanjutkan langkah kakiku yang sempat terhenti. Adam terus mengejarku, sahabatku itu sangat penasaran sehingga tidak bisa lagi mengendalikan kekepoannya. “Tik, bagaimana bisa kamu pacaran dengannya? Bukannya baru kemarin kamu melihatnya? Kamu tahu kan kalau.” Aku berbalik mendadak, membuat Adam kaget dan menghentikan ucapannya seketika. “Tenang saja, aku pacaran dengannya paling lama 7 hari, Dam!” ujarku lalu masuk ke kelasku. Adam mengernyitkan kening tapi sahabatku itu enggan bertanya lagi. Bel masuk sudah berbunyi, dia pun segera kembali ke kelasnya. Aku duduk di kursiku dengan pikiran yang bercabang-cabang tanpa arah. Aku harus menemukan Dion, siapa tahu dia bisa menjadi petunjuk pertama dalam kasus ini. Bagaimanapun aku harus mengumpulkan banyak informasi untuk menemukan beberapa kemungkinan yang memiliki peluang yang tinggi sehingga aku akan semakin mendekat ke pelaku sebenarnya. *** Bel istirahat berbunyi dengan nyaring, aku pun keluar kelas ketika seorang teman memberitahuku bahwa Rio-si cowok cupu sudah di depan kelasku. Aku melepaskan headphone-ku dan menghampirinya. “Kita ke kantin saja!” ajakku lalu berjalan menuju kantin tanpa menunggu persetujuan Rio. Rio hanya mengiyakan dengan ikut berjalan di sampingku. Kami menuju kantin dan Rio segera membelikanku semangkok bakso serta sebotol minuman tanpa diminta. Setelah itu, cowok berkacamata itu duduk di sebelahku. “Jadi, bagaimana kamu hidup selama ini?” tanyaku tanpa berbasa-basi. “Aku menjalankan hidupku dengan sewajarnya,” jawab Rio datar. “Kamu punya teman?” tanyaku lagi. Rio hanya terdiam, berpikir sejenak. Tak lama kemudian cowok kacamata itu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada.” “Kalau musuh?” tanyaku lagi. Rio langsung menggelengkan kepalanya. “Pacar?” tanyaku sekali lagi. Rio mengangguk. “Siapa?’ tanyaku. “Kamu,” jawabnya yang membuatku seketika berwajah datar. “Aku serius,” “Aku juga,” kata Rio. “Lantas apa hubungannya semua itu dengan siapa pembunuhku?” tanya Rio heran. Aku tersenyum geli mendengar pernyataannya. “Untuk menemukan pembunuhmu, kita harus menyelidiki latar belakang orang-orang yang dekat denganmu, orang-orang yang membencimu dan juga orang-orang yang memungkinkan untuk memiliki motif untuk membunuhmu. Dengan begitu, kita bisa menemukan pelakunya.” jawabku menjelaskan panjang-lebar. Rio mengangguk-ngangguk sebagai tanda dia mengerti dari apa yang baru saja aku katakan. “Kalau mengenai motif orang yang kemungkinan membunuhku, ada beberapa orang yang aku curigai,” kata Rio membuatku seketika menoleh dengan antusias ke arahnya. “Bilang, dong dari tadi. Siapa saja mereka?” tanyaku sembari mengeluarkan note dan bulpen. “Dicatat?” tanyanya heran sambil menunjuk note-ku. Aku mengangguk mengiyakan. “Yang pertama, Ibu tiriku. Sejak ayahku meninggal, dia yang menguasai harta ayahku selama aku masih belum 17 tahun. Karena sebentar lagi aku berusia 17 tahun, kemungkinan dia akan membunuhku untuk menguasai semua harta ayahku.” Rio mulai mengutarakan pendapatnya mengenai orang-orang yang dia duga sebagai tersangka. “Yang kedua, mantan sahabatku, Dion.” Mendengar nama Dion disebut, aku spontan menoleh ke arah Rio. “Dion adalah mantan sahabatmu? Kamu bilang tidak punya musuh, kenapa ada mantan sahabat?” tanyaku sedikit aneh, rasanya ada ketidaksingkronan di antara jawaban dan perkataannya. “Dion itu mantan sahabatku, makanya dia bukan musuh atau temanku lagi!” kata Rio menjelaskan. Aku hanya mengangguk dan memintanya melanjutkan analisisnya mengenai kemungkinan pelaku dari kasus pembunuhannya sendiri. “Yang ketiga, mantan pacarku, Erika.” Aku tanpa sadar tertawa setelah mendengar pernyataan Rio membuat Rio melihatku dengan tatapan bingung. “Kenapa kamu ketawa?” tanyanya. Aku hanya menggeleng dan mencoba meredakan tawaku.             “Tidak apa-apa,” jawabku. “Kalau begitu, kapan kita bisa ke rumahmu?” tanyaku. Rio menatapku dengan ekspresi kaget. “Kamu mau langsung ke rumahku dan menyelidiki ibuku?” tanyanya. Aku mengangguk pasti. “Kita akan ke rumahmu pulang sekolah nanti. Tenang saja, aku bisa berakting sebagai pacar yang baik,” jawabku penuh percaya diri. “Kamu yakin? Ibu tiriku sungguh menakutkan.” Rio tampak ragu. “Tenang saja, kematian lebih menakutkan dari ibumu.” jawabku tegas membuat Rio kembali mengingat tentang kematiannya. “Tika!” Adam nongol, dia langsung duduk di sampingku. “Tik, kamu beneran pacaran dengannya?” tanya Adam lagi, masih tidak percaya. Aku mengangguk. “Kenapa sih? Padahal kamu tahu kalau Aku nggak akur dengannya. Aku bahkan selalu mengatainya cupu.” Adam kembali berulah. Mendengar pernyataannya, aku jadi teringat sesuatu. “Adam, kamu membunuh Rio?” tanyaku tanpa ragu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD