2

2630 Words
“Adam, kamu membunuh Rio?” tanyaku tanpa ragu. Adam dan Rio kaget mendengar pernyataanku. Mereka berdua saling memandang lalu mengarahkan pandangannya ke arahku. “Tik, kamu mengigau? Jika aku membunuhnya, Rio tidak mungkin di sini hari ini,” bantah Adam tegas. Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Kalau niatmu untuk membunuhnya ada?” tanyaku lagi. Adam menjitak ringan kepalaku. “Yang harusnya punya motif membunuh itu si Rio. ‘Kan aku yang selalu mengejeknya, harusnya dia yang menaruh dendam dan berniat membunuhku. Otakmu sedang konslet?” dengus Adam kesal, tidak terima dituduh. Aku hanya menggaruk-garuk pelipisku. “Sorry, aku hanya bercanda. Jangan marah begitu!” ujarku. Adam menyipitkan matanya. “Lagipula, emangnya si cupu kenapa? Ada seseorang yang ingin membunuhnya?” tanya Adam penasaran. Aku hanya menggeleng pelan. “Tidak, aku hanya bercanda. Lupakan saja pertanyaanku barusan.” Adam mengernyitkan keningnya. “Kalau kamu, Cupu. Kamu punya niatan untuk membunuhku?” tanya Adam pada Rio. Rio menggelengkan kepalanya. “Tidak ada,” jawabnya singkat. “Sungguh? Padahal aku sering mengejek dan mengolok-olokmu,” kata Adam merasa heran. “Ada yang lebih jauh ingin aku bunuh dibandingkan kamu,” jawab Rio membuat Adam langsung merinding. “Serem! Untung saja kamu sudah pacaran dengan Tika, jadi aku aman!” ujar Adam lega. “Apa hubungannya denganku?” tanyaku heran, tidak terima dikaitkan dalam masalah di antara mereka berdua. Adam hanya nyengir memamerkan deretan giginya yang putih. “Aku mesen makan dulu, laper!” kata Adam acuh. Dia mengabaikan pertanyaanku lalu pergi. Aku memfokuskan lagi pandanganku ke arah Rio, membahas kembali obrolan kami yang sempat tertunda. “Jadi, kita akan ke rumahku pulang sekolah?” tanya Rio memastikan sekali kali. Aku mengangguk. “Iya, aku harus melihat sendiri sikapnya padamu. Dengan begitu, aku bisa mengambil kesimpulan, dia pembunuhmu atau bukan.” jawabku. Rio hanya mengangguk-ngangguk. “Kalau gitu, tunggu aku di pintu gerbang pulang sekolah nanti. Aku harus mengambil sepeda motorku dulu di parkiran.” katanya. “Ok. Kalau gitu aku makan dulu. Baksonya kalau dingin tidak enak.” kataku sambil menunjuk bakso di depanku. Rio mengangguk. “Oh iya, silahkan!” katanya mempersilahkan. Aku mengambil sendok dan mulai menyantap baksoku. Rio hanya duduk menemaniku, sepertinya dia tidak lapar. Tak lama kemudian bel berbunyi sebagai tanda waktu istirahat telah selesai. Aku berdiri dari dudukku. “Sampai nanti! Thanks buat baksonya.” kataku lalu berjalan pergi meninggalkan Rio yang hanya diam menatapku dengan tatapan yang tidak mampu aku terka artinya. *** Bel pulang sekolah berdering, aku masih stay di bangkuku. Adam yang iseng datang berkunjung ke kelasku. “Tik, pulang bareng, yuk!” ajak Adam. Aku menggelengkan kepalaku untuk menolak ajakannya. “Lho? Tumben. Kenapa?” tanya Adam heran. “Aku bareng Rio.” jawabku. Adam manyun. “Gini nih kalau sahabat udah punya pacar. Tidak bisa lagi diajak pulang bareng!” Keluh Adam. “Heh, pacarmu lebih banyak!” sanggahku. Adam nyengir. “Yaudah, deh. Aku jemput salah satu pacarku aja. Hati-hati pulangnya ya.” ujar Adam sambil keluar kelas sembari melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangan Adam. Setelah itu aku mengambil tas sekolahku dan keluar kelas, menuju pintu gerbang untuk menemui Rio yang saat ini menjadi klienku. Aku harus bisa secepatnya mengabulkan permohonannya karena aku tidak bisa menerima klien lain sebelum aku mengirimnya ke akhirat. “Tik, sorry lama ya.” kata Rio. Cowok itu menghampiriku dengan sudah berada di atas sepeda motornya. Aku hanya mengangguk malas, aku sudah kering karena lama nungguin dia. “Ayo naik!” suruh Rio. Aku mengangguk pelan lalu naik ke sepeda motornya. Rio pun mulai melajukan sepeda motornya menuju rumahnya. Setelah perjalanan kira-kira dua puluh menit, Rio membelokkan sepeda motornya ke sebuah rumah yang cukup megah. Dia mematikan mesin sepeda motornya setelah memarkirkan sepeda motornya. Aku pun turun dari sepeda motornya. “Ini rumahku. Ayo masuk!” ajak Rio sambil masuk ke dalam rumah. Aku masuk ke dalam rumah Rio. Aku berjalan di samping Rio. “Kamarku di atas! Ayo kesana!” ajak Rio lagi. Aku hanya mengangguk sambil mengikutinya. Ketika kami akan menaiki tangga untuk ke lantai atas, aku melihat seorang wanita paruh baya dengan pakaian sedikit terbuka turun dari lantai atas. Wanita itu tampak kaget melihatku. “Rio anakku, sudah pulang? Ini siapa?” tanyanya ramah. Aku mengernyitkan kening. Sepertinya wanita ini adalah ibu tiri yang Rio bicarakan. Wanita itu mencoba merangkul Rio tapi cowok cupu itu menghindar. “Jangan pegang-pegang!” tolak Rio. Wanita itu tampak kecewa, dia menggigit bibir bawahnya. Sepertinya wanita itu kesal. “Ah, saya ibunya Rio. Kamu siapa?” tanyanya ramah padaku. “Saya Tika, pacarnya Rio.” jawabku. Wanita itu tiba-tiba mendecih pelan. Aku mengernyitkan kening, melihatnya dengan bingung. “Oh, pacarnya. Ini sungguh mengejutkan, Rio tidak pernah cerita kalau dia sudah punya pacar.” kata wanita itu mencoba menjelaskan, mungkin dia sadar kalau aku mendengar decihan-nya. “Tika, jangan sungkan ya. Anggap saja rumah sendiri. Kalau perlu bantuan bilang saja pada tante.” katanya menimpali. Aku tersenyum mendengar kata-kata dari wanita itu. Berdasarkan dari ekspresi wajahnya, aku tahu wanita itu sedang bersandiwara. “Kalau begitu, maukah tante mengabulkan permintaan sederhanaku?” tanyaku. Wanita itu tertegun. “Apa itu?” tanyanya sedikit ragu, sepertinya dia sedikit merasa tidak nyaman. “Boleh saya memegang tangan tante sebentar?” tanyaku sambil mengulurkan tanganku. Wanita itu tampak bingung, heran dan curiga dengan apa yang aku lakukan. “Saya tidak akan melakukan apapun yang berbahaya, tante. Saya hanya ingin tahu seberapa halus tangan tante, karena Rio bilang tangan anda sangat halus.” kataku mencoba meyakinkannya. Dengan ragu-ragu wanita itu mengulurkan tangannya untuk menerima uluran tanganku. Aku menangkap tangannya dan sedikit mengelus tangannya yang ternyata sangat kasar. Setelah 30 detik, aku melepaskan tangan wanita itu. “Terimakasih tante. Tangan tante ternyata tidak lebih halus dari tanganku.” sindirku. Wanita itu marah, dia menarik kasar tangannya dari genggamanku. “Dasar, anak tidak tahu sopan santun!” dengusnya kesal. Dia pun pergi dengan ngedumel sepanjang jalan. Aku melirik Rio sambil senyum, cowok itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kami pun melanjutkan perjalanan sehingga kami tiba di kamar Rio yang ada di lantai dua. Rio mengeluarkan kunci untuk membuka gembok yang mengunci rapat kamarnya. Setelah itu, cowok itu masuk. Aku pun menyusul masuk ke dalam. “Itu ibu tirimu?” tanyaku sembari duduk di kasurnya. Rio meletakkan tas ranselnya di meja belajarnya lalu duduk di kursi dekat meja belajarnya. “Iya. Bagaimana menurutmu?” katanya balik nanya. “Bukan dia pelakunya. Dia bahkan tidak ada niatan sama sekali untuk membunuhmu.” jawabku santai. Rio menghela napas. “Bagaimana kamu tahu?” tanyanya bingung. “Aku helper! Aku bisa membaca pikiran orang lain.” jawabku. Rio kembali menghela napas. “Kalau begitu, kita ke tersangka berikutnya.” usul Rio. Aku mengangguk. “Tersangka kedua kita adalah mantan sahabatmu, Dion. Benar’kan?” tanyaku memastikan. Rio mengangguk mengiyakan. “Tapi aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku tidak tahu dia dimana.” jawab Rio sedikit agak kecewa. “Tenang, kita bisa mengandalkan Adam.” kataku. Rio menatapku dengan wajah nggak percaya. “Adam mengenal Dion?” tanya Rio. “Jaringan pertemanan Adam luas. Dia mengenal Dion, kok!” jawabku meyakinkan. “Kapan kita akan menemuinya?” tanya Rio lagi. “Santai. Aku butuh waktu untuk mengatur itu. Kemungkinan kita bisa menemuinya besok.” jawabku. “Kalau begitu, boleh aku menyentuh tanganmu?” tanyaku sambil berjalan mendekati Rio. Rio mengulurkan tangannya lalu aku memegangnya cukup lama. “Bagaimana?” tanya Rio. “Aku rasa ini waktunya aku pulang!” jawabku lalu keluar dari kamarnya. “Oi, Tik!” panggil Rio. Aku acuh, berjalan pergi meninggalkan rumahnya dengan perasaan bimbang. Ini aneh. Aku tidak bisa membaca apapun tentang Rio padahal aku bisa membaca masa lalu dari ibu tirinya. Normalnya, aku hanya bisa membaca masa lalu dan isi pikiran klienku, tapi kasus kali ini berbalik. Apa yang sebenarnya terjadi? *** Aku, Adam dan Rio sudah berada di kantin. Kemarin aku sudah sedikit membahas mengenai niatku untuk menemui Dion pada Adam melalui telpon. Sekarang, kami sedang membahas mengenai detailnya. “Jadi, untuk apa kamu mau bertemu dengan Dion?” tanya Adam. Aku tersenyum lalu menunjuk ke arah Rio. “Oh, yang mau ketemu si cupu?” Adam mengarahkan pandangannya pada Rio. “Untuk apa kamu bertemu dengannya?” tanya Adam pada Rio. Rio memandangku meminta bantuan untuk menjawab pertanyaan dari Adam. “Mereka dulu mantan sahabat. Rio ingin memperbaiki hubungannya dengan Dion.” jawabku, menggantikan Rio untuk menjawab pertanyaan dari Adam. “Aku tidak tanya padamu tapi padanya!” Adam protes. Aku tersenyum kecil. “Sama saja, aku ini kan pacarnya.” pungkasku. Adam terdiam. Dia menghela napas panjang, jika dia bersikap demikian, itu artinya dia sudah mengalah dan tidak akan bertanya lagi. “Baiklah, aku akan mengatur rencana agar kalian bisa menemuinya. Namun perlu aku peringatkan agar kalian berhati-hati. Dia adalah tipe orang yang temperamental.” Adam mengingatkan. Aku dan Rio mengangguk bersamaan. “Terimakasih, Dam.” ujar Rio pada Adam. Adam bergidik ngeri mendengar ucapan terimakasih dari Rio. “Kamu tidak usah berterimakasih padaku. Aku merasa aneh.” ucap Aneh yang kemudian disambut tawa Rio. “Diam kau, Cupu!” dengus Adam kesal. Rio tidak peduli, cowok berkacamata itu terus tertawa. “Jadi kapan kamu akan mempertemukan kami, Dam?” tanyaku merdekan suasana. Adam menoleh ke arahku dengan wajah bingung. “Apa kalian harus menemuinya dengan segera? Kamu seperti seseorang yang takut kehabisan waktu. Santailah!” jawab Adam. Aku menjitak ringan kepala sahabatku itu. “Aku memang tidak punya banyak waktu.” ujarku. “Memangnya kamu mau kemana? Mati?” tanya Adam setengah bergurau. “Iya.” jawabku membuat Adam menatapku tajam, bingung. “Kamu serius?’ tanya Adam, masih tidak tahu apakah jawaban suatu gurauan atau bukan. Aku tertawa. “Aku bercanda, tetapi aku benar-benar harus menemuinya.” sanggahku. Adam menarik napas lega. “Kamu membuatku nyaris kena serangan jantung, Tik!” protesnya. Aku tersenyum. “Jadi?” tanyaku lagi. “Baiklah, sore nanti aku akan mengundang Dion ke rumahku. Kalian berdua datanglah ke rumahku setelah aku mengirimkan pesan. Anggap saja itu hanya sebuah kebetulan.” Adam memberikan ide cemerlang, aku rasa otaknya benar-benar pintar bukan sekedar bualan. Aku mengangguk setuju, demikian pula Rio. “Kalau begitu, kamu harus traktir aku cupu,” tuntut Adam. Rio mengenyitkan keningnya. “Kenapa?”tanyanya bingung. “Karena aku sudah bersedia membantumu,” jawab Adam. Rio mengangguk mengiyakan. “Baiklah, kamu mau pesan apa?” tanya Rio menawarkan. “Mie ayam dua mangkok dan tiga gelas es jeruk.” jawab Adam. Rio berdiri dari bangku dan mulai berjalan memesan apa yang Adam inginkan. “Kau keterlaluan, Dam!” ujarku setelah Rio pergi. Adam manyun. “Memangnya aku kenapa?” tanya Adam pura-puta tidak mengerti. “Orang minta traktir itu ya jaim dikitlah. Kamu malah ngelunjak!” jawabku sewot. Adam menjulurkan lidahnya untuk mengejekku. “Bodo!” cibirnya. Aku cemberut, kesal dan BT dengan tingkah sahabatku yang memang menyebalkan itu. “Ini!” ujar Rio. Cowok itu kembali dengan membawa dua mangkok mie ayam. Setelah meletakkan mie ayam di meja depan Adam, dia kembali pergi untuk mengambil tiga gelas es jeruk pesanan Adam. Adam berbinar-binar melihat dua mangkok mie ayam yang sudah ada di depannya. Dia bersiap untuk menyantap makanannya. Aku hanya menggeleng kepala dan berdiri, hendak pergi untuk membantu Rio membawa tiga gelas es jeruk. “Mau kemana, Tik?” tanya Adam heran ketika melihatku mulai berjalan pergi. “Nyusul Rio.” jawabku sekenanya. Aku sedikit berlari menghampiri Rio yang masih menunggu tiga gelas es jeruk selesai disiapkan. “Hei.” sapaku. Rio menoleh dan tersenyum. Jika diperhatikan cowok cupu ini lumayan tampan. “Kamu kenapa kesini?” tanyanya. “Membantumu.” jawabku. Rio tersenyum. “Makasih.” ujarnya sedikit malu-malu. “Santailah, bagaimanapun kamu adalah klienku.” kataku. Rio mengangguk-nganggukkan kepalanya. Cowok itu menatap tanda bintang di tangannya. “Tinggal 6 hari lagi,” bisiknya lirih. Aku menghela napas berat. “Ya, waktu kita semakin sempit. Aku berharap segera bisa menemukan.” “Tik!” Panggilan itu membuatku menoleh. Si Adam menyusul kami. “Ngapain kesini?” tanyaku. Adam nyengir setan. “Bantuin kamu!” jawabnya. “Ini es jeruknya,” ujar Bu Ningsih, penjual mie ayam di kantin sekolahku. “Makasih, Bu!” ujar Rio. Rio mengambil dua gelas es jeruk sedangkan aku mengambil satu. Kami pun menuju tempat duduk kami tadi. Adam yang mengaku mau membantu malah hanya berjalan santai dengan tangan kosong. Dasar cowok tidak peka. Kami sudah duduk kembali. Adam sedang asyik makan sedangkan aku dan Rio hanya terdiam, kami tidak bisa melanjutkan permbicaraan kami karena ada Adam. Rahasiaku tidak boleh terbongkar, akan sangat merugikan jika ada yang tahu kalau aku seorang helper. Setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Rio dan kami berhasil menemukan siapa pembunuhnya, cowok kacamata ini akan mati sedangkan aku hidup. Sebaliknya, jika kami gagal, kami akan mati bersama walau kematian kami hanya berjeda satu hari. “Aku sudah mengirimkan pesan pada Dion, dia bersedia untuk datang.” Adam memberikan kabar gembira. Aku tersenyum bahagia mendengar apa yang Adam katakan. “Sungguh?” tanyaku memastikan. Adam mengangguk. “Ya, sementara kalian pacaran di sana tadi, aku melakukan negosiasi dengan Dion.” jawab Adam menegaskan. “Kamu memang sahabat terbaikku, Dam.” pujiku. Adam menyipitkan matanya, memandangku sinis. “Kamu berkata begitu karena aku bersedia membantu pacarmu, bukan?” tuduh Adam. Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak, itu karena kamu sudah membantu kami berdua,” bantahku. “Ya sudahlah, pokoknya aku tunggu kalian nanti sore di rumahku. Ingat, masuk setelah aku memberi aba-aba. Aku tidak ingin Dion marah padaku.” Adam mengingatkan kami sekali lagi. Aku dan Rio sekali lagi mengangguk sebagai tanda bahwa kami paham. Akhirnya, kami akan menuju ke tersangka kedua kami. Semoga, akan ada petunjuk yang bisa kami dapatkan hari ini. Aku tidak mau ada yang mati di antara kami berdua, baik aku atau Rio. *** Sudah sekitar satu jam, aku dan Rio standby di dekat rumah Adam tetapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Dion. Mantan sahabat Rio itu belum juga menunjukkan batang hidungnya. Kakiku mulai merasa pegal dan kesemutan karena terlalu lama berdiri dan duduk. Rio juga hanya bersandar lemah ke tembok dengan wajah yang sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. “Kita beli minum dulu saja,” usulku. Rio menatapku dengan wajah cerah seolah dia sudah menungguku untuk mengatakan usulan itu. “Baiklah, mari kita pergi!” ajaknya dengan semangat. Kami berjalan berdampingan menuju warung terdekat. Dengan terburu, cowok cupu itu membeli dua teh botol. Dia memberikan salah satunya padaku, aku pun dengan senang hati menerimanya. “Thanks.” “You’re welcome.” Kami pun diam, asyik menyegarkan tenggorokan masing-masing yang sudah gersang. “Kamu tidak menghubungi Adam saja?” tanya Rio membuka obrolan. Aku menyeka teh yang tertinggal di bibirku. “Aku sudah mengirimkan pesan wa padanya sejak tadi tapi Adam belum memberikan jawaban. Dia bahkan tidak baca pesanku.” jawabku. Rio memperbaiki letak kacamatanya. “Apa mungkin dia berbohong?” tanyanya. Aku menggeleng tegas. “Aku sudah mengenalnya sejak kecil, aku yakin dia tidak seberani itu untuk membohongiku.” bantahku tegas. Rio terdiam, sepertinya dia tidak ingin berdebat denganku. “Sorry.” ujarnya merasa sedikit tidak enak. “Lupakan saja.” pintaku, aku tidak ingin terlibat percakapan canggung dengan si cupu. Tiba-tiba sebuah pesan wa mendarat di handphoneku. Aku membuka pesan itu dari Adam. Brak. Handphone-ku terjatuh. Rio spontan mengambilkan handphoneku dan memberikannya padaku. “Ada apa?” tanyanya heran melihatku yang sudah pucat pasi. Aku menoleh ke arah Rio dengan perasaan linglung dan bingung yang bercampur menjadi satu. “Ada apa?” tanya Rio sekali lagi. “Dion,” jawabku lirih. “Mati.” kataku melanjutkan. Kami saling memandang dengan perasaan yang entah bagaimana bentuknya. Ini sungguh aneh. Kemarin, aku tidak bisa membaca masalalu Rio. Sekarang, tersangka kedua kami mati, itu artinya kesempatan kami untuk bisa mengetahui petunjuk mengenai siapa pembunuh Rio sebenarnya menjadi mengecil. Actually, what happening right now?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD